"Persetan!"
Manape terbang dari rumahnya. Tangisan Cipluk tak membuat ibanya gugur. Bahkan teriakan sang istri yang menyayat dari kamar, dianggapnya angin lalu. Di otak Manape hanya ada kemenangan berjudi. Kelak, jangankan membayar hutang ke pak rt, berfoya-foya pun dia bisa.Â
Atau membeli sepeda motor Hasim, bila Hasim bersedia menggadaikannya di meja judi. Memiliki sepeda motor banyak faedahnya. Perempuan-perempuan penggatal bakalan melirik. Lagipula Manape bisa mengusahakannya untuk diojegkan.
Mimpi Manape pun tersampaikan. Kebetulan perjudian diramaikan orang-orang baru. Kebetulan pula kartu-kartu Manape bagus. Berlembar uang masuk ke dalam buntelan kainnya. Manape bernasib mujur.
Namun, seberapa banyak pun uang yang telah diperoleh, Manape tetap bernafsu memirit kartu. Beberapa penjudi mengaku kalah, lalu pulang. Entah kenapa datang pula musuh baru. Apalagi entah datang darimana, perempuan-perempuan bersolek menor, tiba-tiba meramaikan ruangan.Â
Tentu sebagai jawara judi saat ini, Manape menjadi incaran perempuan-perempuan itu. Maka ada yang bergayut di bahunya, bahkan seorang duduk  di atas dengkulnya.Â
Nyai Mali yang barusan tiba, pun sedemikian baiknya kepada Manape. Padahal biasanya dia ketus. Pasti dia berharap percikan atas kemenangan Manape.
Tempat berjudian itu menjadi berkah bagi Manape. Hampir tiga hari-tiga malam dia di situ. Tak pulang-pulang. Kalau setan judi sudah masuk, memang semua alpa.Â
Tak ingat keluarga sedang kesusahan. Maka, ketika sekali Cipluk datang menyuruh pulang karena sang istri bertambah parah sakitnya, Manape hanya melempar Cipluk  dengan dua lembar seratusan ribu.
"Hahaha! Aku kaya!" Akhirnya pertaruhan di meja judi usai. Berkali-kali menang, berulangkali kalah, kemudian menang lagi, membuat buntelan kain Manape bunting uang. Jangankan berfoya-foya, memberi uang berobat istrinya, pun berlebih. Besok sore dia hendak berjudi lagi. Dia tetap memimpikan sepeda motor Hasim.
Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5cb375793ba7f75a06480f82/drama-menjelang-pilpres-dan-pileg