Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Hidup Tergadai di Meja Judi

14 April 2019   07:23 Diperbarui: 16 April 2019   14:00 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia mulai curiga sengaja dikalahkan. Dia sedikit sadar bahwa dia telah disekongkoli oleh Hasim, Malih, Uteh, termasuk Nyai Mali yang sedari tadi tetap nyengir kuda. 

"Siapa yang bermain curang?" Hasim membanting kartu. Beberapa lembar kulit kacang, menghambur. Gelas di meja berisi bir, bergetar. Malih, Uteh dan Nyai Mali, menatap Manape seakan menyudut sekaligus menyalahkan. Brengsek! 

Bertambah yakin Manape mereka musuh-musuh yang sekongkol. Bisa-bisa celana dalamnya tergadai. Tapi dasar otak bebal-judi, Manape tetap melanjutkan permainan. Usul Hasim mengusaikan pekerjaan bejad itu, pun ditolak mentah-mentah oleh Manape.

"Enak saja! Aku kalah telak, kalian mau permainan usai. Tidak! Aku mau uangku kembali. Main lagi!" geram Manape.

"Katamu, kami bermain curang?!" Malih menyindir.

"Persetan! Kocok kartunya!"

Akhirnya Manape benar-benar kehilangan celana dalamnya. Dia tak memiliki apapun untuk dijadikan taruhan di meja judi. Terpaksalah permainan usai. Hasim yang pura-pura kasihan, menghibahkan sarung bertungau, bolong-bolong dan bau pesing. Tak apalah! Daripada pulang telanjang serupa orang gila.

Manape berjanji akan membalas kekalahannya. Dia akan membawa taruhan yang banyak, sehingga dia bisa membalikkan kekalahan itu kepad Hasim, Malih dan Uteh. Termasuk si brengsek Nyai Mali.

* * *

Kepala Manape berkerinyut. Kopi yang dihidangkan Cipluk, hambar. Manisnya memang tak ketulungan, tapi kopinya terang serupa shubuh yang remang-remang. Dasar, Cipluk tak menganggap Manape sebagai seorang ayah lagi.

"Sini kau, Cipluk!" jerit Manape. Sayup terdengar istrinya terbatuk di kamar. Tubuh perempuan itu nyaris tulang berbalut kuli ari. "Kau memberiku kopi atau comberan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun