Dia mulai curiga sengaja dikalahkan. Dia sedikit sadar bahwa dia telah disekongkoli oleh Hasim, Malih, Uteh, termasuk Nyai Mali yang sedari tadi tetap nyengir kuda.Â
"Siapa yang bermain curang?" Hasim membanting kartu. Beberapa lembar kulit kacang, menghambur. Gelas di meja berisi bir, bergetar. Malih, Uteh dan Nyai Mali, menatap Manape seakan menyudut sekaligus menyalahkan. Brengsek!Â
Bertambah yakin Manape mereka musuh-musuh yang sekongkol. Bisa-bisa celana dalamnya tergadai. Tapi dasar otak bebal-judi, Manape tetap melanjutkan permainan. Usul Hasim mengusaikan pekerjaan bejad itu, pun ditolak mentah-mentah oleh Manape.
"Enak saja! Aku kalah telak, kalian mau permainan usai. Tidak! Aku mau uangku kembali. Main lagi!" geram Manape.
"Katamu, kami bermain curang?!" Malih menyindir.
"Persetan! Kocok kartunya!"
Akhirnya Manape benar-benar kehilangan celana dalamnya. Dia tak memiliki apapun untuk dijadikan taruhan di meja judi. Terpaksalah permainan usai. Hasim yang pura-pura kasihan, menghibahkan sarung bertungau, bolong-bolong dan bau pesing. Tak apalah! Daripada pulang telanjang serupa orang gila.
Manape berjanji akan membalas kekalahannya. Dia akan membawa taruhan yang banyak, sehingga dia bisa membalikkan kekalahan itu kepad Hasim, Malih dan Uteh. Termasuk si brengsek Nyai Mali.
* * *
Kepala Manape berkerinyut. Kopi yang dihidangkan Cipluk, hambar. Manisnya memang tak ketulungan, tapi kopinya terang serupa shubuh yang remang-remang. Dasar, Cipluk tak menganggap Manape sebagai seorang ayah lagi.
"Sini kau, Cipluk!" jerit Manape. Sayup terdengar istrinya terbatuk di kamar. Tubuh perempuan itu nyaris tulang berbalut kuli ari. "Kau memberiku kopi atau comberan?"