Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paku

8 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 8 Maret 2019   13:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ya, sudah! Mungkin Uwaknya sendiri yang akan mengantarnya pulang nanti."

Selamat! Selamat! Aku mengelus dada lega. Setelah mencium kening Pariyem, aku hampir melesat dengan sepeda kumbangku. Tapi sebelum sepeda itu kudorong dari samping rumah, Maman, anak si Manaf, tiba-tiba datang terengah-engah. Pariyem yang langsung meladeninya.

"Kenapa, Man? Panjul di mana? Tidak pulang bersamamu?" tanya istriku itu. 

Maman menggeleng. Jawaban darinya, membuat seluruh rencanaku buyar. Dikabarkannya, Panjul telah dibawa ke rumah sakit karena demam tinggi. Demam yang sangat mendadak, sehingga aku dan Pariyem sampai kebingungan. Sakit kok mendadak! Namun kami tak mau berpikir terlalu lama lagi. Manaek dan Jobur dititipkan ke tetangga sebelah, sedangkan kami bertiga bergegas ke rumah sakit.

Panjul memang benar-benar sakit. Kata dokter dia terserang gejala tetanus. Jadi panas badannya tinggi. 

Dari mulut Panjul terbukalah cerita bahwa dia menginjak paku dua hari lalu di gang kampung kami. Tapi kala itu cuma perih saja yang terasa. Pariyem sudah mengobatinya dengan betadin, sehingga penyakit itu dianggap selesai. Cerita Panjul ini diamini Pariyem.


Aku tertunduk lesu. Kenapa sampai dua hari ini aku tak memperhatikan Panjul, apakah jalannya pincang? 

Dalam pikiran kusut, Pariyem ke luar. Aku ikutan keluar karena ingin menyulut rokok. Pikiranku berpindah dari Panjul ke Sakinah. Aku kisruh. Sakinah pasti telah menungguku di pasar malam dengan perasaan kacau, antara cemas, kesal dan takut. Aku yakin dia tak mau meladeniku besok siang di kantin Lateni.

Pariyem sebentar berbicara dengan seorang perempuan. Aku tak hendak menoleh. Mataku nanar melihat tetesan air ac dari alatnya yang menempel di bilik seberang. Saat itulah, colekan menyentuh pinggangku. Colekan Pariyem yang membuatku tersedak.

"Ini suamiku! Kenalkan!" Dia tersenyum.

Perempuan yang berbicara dengannya tadi terkejut. Tapi tiba-tiba dia tersenyum seolah mencandaiku. Maka kusalami dia dengan didih di kepala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun