Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paku

8 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 8 Maret 2019   13:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Paku yang tertancap di sebilah papan itu, menantang di tengah gang dengan ujungnya meninju langit. Aku sempat terkesiap dan berusaha menghindar. Beruntung sepeda kumbang yang masih kutuntun, tidak melindasnya. Kalau tidak, ada beberapa kejadian buruk bakal menimpaku. Pertama, aku pasti terlambat masuk kerja di perusahaan karet itu. Kedua, aku diberikan surat peringatan kedua oleh kepala personalia karena terlambat masuk kerja untuk yang kedua kali. Ketiga, aku harus merogoh kocek dalam-dalam demi memperoleh jasa tukang tambal di pangkal gang. Tentu paling tidak butuh limaribuan terbuang percuma. Kalau ban dalam sepedaku sudah kronis, bisa-bisa membeli ban dalam baru. Itu butuh duapuluh atau duapuluh lima ribuan, sehingga aku siap-siap puasa merokok selama seminggu.

Ah, beruntung Tuhan masih melindungiku, sehingga kutinggalkan paku sialan itu di tengah gang. 

Namun belum saja sepeda kumbang kunaiki di pangkal gang, mendadak nuraniku protes. Kenapa aku tak buru-buru membuang benda sialan itu. Nanti, terkena ban sepeda atau motor orang, kan kasihan! Terkena kaki, bisa keluar biaya banyak. Harus masuk rumah sakit untuk disuntik tetanus. 

Tapi aku ach, aku toh sedang buru-buru? Dengan membuang paku itu ke tempat sampah atau got, membutuhkan waktu sekian detik. Itu artinya aku terlambat sekian detik pula sampai di pabrik. Hasil yang kuterima jelas sekali, surat peringatan kedua.

* * *

Ingatanku tentang paku itu sama sekali terkikis. Aku telah disibukkan memilah-milah karet mentah yang bagus dan bertekstur jelek. Memasukkannya ke mesin, lalu melihat hasil, kemudian menjemurnya. Waktu sekian jam, pun berlalu tanpa terasa. Memang kesibukan selalu membuat guliran jam berlari cepat. Berbeda dengan sekian bulan lalu, saat aku menganggur. Aku selalu menyiapkan telinga menerima teror istri dengan biaya-biaya rumahtangga yang membengkak. Juga, masalah modalnya membuat kue yang selalu seret. Kala itu, dialah yang menopang kehidupan kami anak-beranak. Dan di situlah aku sangat membenci jam yang seolah berjalan sangat lambat.

Setelah mencuci tangan dengan deterjen, aku bergegas ke kantin. Masih tetap tercium bau karet, memang. Tapi ini adalah resiko berkubang dengan barang kenyal itu. Jangankan tangan, tubuh juga busuk bukan main. Meskipun mandi berlamurkan sekiloan biang parfum, pastilah aroma karet masih terasa. Namun, sudahlah! Orang-orang di sekelilingku sudah kapalan. Hidung mereka membadak karena setiap hari membaui aroma tak sedap itu.

Hmm, apakah aku lapar sangat? Tidak! Tidak! Tadi, istriku telah menghidangkan sepinggan nasi gemuk demi mengganjal perut ini. Ketergesaanku hanyalah ingin mengopi seraya mencomot pisang goreng. Tentu sambil memperhatikan Sakinah, pelayan baru di kantin, yang tak lain sepupu Lateni, sang pemilik kantin.

Sakinah baru seminggu bekerja. Namun namanya sudah lebih terkenal dari bos perusahaan yang karyawannya rata-rata laki-laki itu. Jadi, punahlah rasa tak enak dari makanan kantin Lateni. Dulunya lalat saja enggan hinggap di situ, kini sama sekali menyemut. Dari yang lajang ting-ting, sampai tua bangkotan bernapas ngos-ngosan, rela mengantri bergerombol. Itulah yang membuat senyum Lateni selalu lepas. Dia berubah menjadi sangat baik menurutku. Karena merasa sedang senang, dia kembali mau memberikan hutangan kepadaku, serta menganggap dua batang rokok yang belum kubayar dua minggu lalu, lunas-nas-nas.

"Pakijo! Mau makan apa, Mas?" Sakinah langsung menyambutku. Beberapa lelaki yang sudah lebih dulu duduk mengantri di situ, langsung berwajah masam. Tapi ini hal yang wajar saja. Selain masih muda, wajahku lebih lumayan dari mereka yang berwajah karet. Hehehe.

"Biasa! Kopi satu, pisang goreng satu, rokok satu."

Sakinah tersenyum genit. "Mas ini orangnya setia sama pacar, ya! Maunya selalu satu... saja. Sekali-sekali, dua toh!" Dia menggoda. Aku hanya gelak-gelak. Pssst! Jangan kasih tahu siapa-siapa. Aku mengaku masih bujangan kepadanya, meski di rumah aku telah memiliki Pariyem, istriku, juga tiga orang anak, masing-masing; Panjul, Manaek dan Jobur. Ya, siapa toh yang tak ingin mencicipi rasa lain? Masak harus setiap hari makan ikan asin sambal belacan. Sekali-sekali ayam goreng gemuk kuah asam pedas seperti Sakinah, wajib disatroni.

"Siapa yang punya pacar? Aku kan sudah memberitahu, masih single!" ucapku ketika Sakinah menghidangkan pesananku. Lelaki di sebelahku mendengus. Dia satu gang denganku. Dia tahu aku sudah berkeluarga. Tapi seperti undang-undang yang telah  tertulis, di pabrik tak ada seorang pun yang boleh membocorkan status temannya kepada betina yang sedang diincar si teman. Pamali! Jatah suami dan bapaknya anak-anak hanyalah di rumah. Ke luar dari ambang pintu depan rumah, melajang lagi. Milik orang banyak. 

"Punya pacar, atau sudah punya bini!" celetuk Lateni. Wajahku berubah seperti kepiting rebus. Telingaku pedas bukan main. Ingin marah, tapi urung sudah. Marah, artinya mencari musuh. Memusuhi Lateni, sama saja memusuhi perut, dan mulutku yang selalu mengebukanl asap rokok tak henti. Artinya, berhutang harus distop sepihak!

"Bu Lateni bisa saja! Tak usah didengari. Masak aku sudah berbini! Siapa yang mau!" Aku membela diri. Lateni melengos pergi ke belakang kantin sambil melirik geli ke arahku.

Sakinah tersenyum simpul. Sambil mengunyah pisang goreng, kutanyakan kepastian dari Sakinah tentang rencana pertemuan kami di pasar malam lusa. Aku sudah kebelet ingin mengatakan cinta. Perduli amat dengan Pariyem. Dia bisa kumadu. Aku tak boleh kalah dengan Samadun, sopir truk pabrik kami. Meskipun tua dan bercucu, dia masih sanggup menikahi istri ketiga yang mungkin seumuran dengaku. Padahal penghasilannya senin-kamis. Nota bonnya di kantin Lateni, pun hampir setebal buku agenda. Kabar yang berhembus, dia juga berniat mendapatkan Sakinah untuk dijadikan istri keempat. Dan itu sama sekali terlarang dalam kamus kehidupanku.

"Tapi bajuku buruk semua, Mas. Nanti tak enak berjalan berdua Mas di pasar malam." Sakinah bagai mengajuk. Pelanggan kantin yang mengantri menunggu sapaannya, hanya menggeleng-geleng, dan harus rela dilayani pelayan kantin lain; Bu Karyem yang gemuk segede tong dengan mulut selebar mulut ember. Ngoceh terus! Sedangkan Sakinah mantap duduk di hadapanku. Lateni menggeleng-geleng. Dia tak marah karena seperti kukatakan, hatinya sedang berbunga dengan pelanggan yang berjibun itu.

"Baju hanya pembungkus, Dek. Yang dilihat isinya. Memangnya isi bisa dimakan?"

"Tapi serius kan Mas belum mempunyai pacar?" kejarnya. Aku mengangguk pasti. "Istri?" Kali ini aku mengangguk ragu-ragu.

"Sudahlah! Jangan percaya kepada hembusan angin yang tak berarah. Percayalah hembusan dari mulutku ini." Aku meyakinkannya.

"Aku takut nanti dilabrak!" Dia tertunduk. Ujung bajungan dilipat-lipat.

"Pokoknya, sumpah disambar petir!" Karena terlalu bernafsu aku sampai bersumpah-sumpah tak karuan. Akibatnya aku langsung tersambar petir. Tapi kali ini, bukan petir sungguhan, melainkan teriakan Mandor Kepala.

"Pakijo! Kau dipanggil Pak Sueb!"

* * *

Prat-prot, kusemprot parfum murahan ke sela ketiak. Bau menyengat langsung membuar ke seantero rumahku yang sempit. Pariyem yang sedari tadi asyik menisik celana Jobur yang tersangkut paku, langsung menyela, "Wah, mau ke mana, Pak? Kelihatannya rapi sekali. Biasanya tak pernah berfarmun begitu. Ayo, mau ke mana?" 

Meski ucapannya dilemparkan dengan gaya guyonan, hatiku terasa seperti tersetrum. Istri---bagaimana pun cara membohonginya---seolah memiliki panca indera keenam, apalagi bersinggungan dengan uang dan istimewanya berbau perempuan selingkuhan. Tentu sebagai suami yang tak ingin belangnya ketahuan, aku harus berusaha kelihatan santai di depan istri. Jangan pernah sekali-sekali gugup, kalau tak ingin dia curiga. Kemudian tak usah memotong jatah belanjaan dari dompetnya. Bisa terbongkar semua. Coba, untuk apa memotong uang belanjaan, sementara jatah bulanan sudah dikantongi? 

Heh! Perempuan itu memang penguasa. Lelaki---meskipun dikatakan penjajah wanita dalam lagunya---toh yang berkuasa tetaplah perempuan. Lelaki hanya pekerja, pergi pagi-pulang sore atau larut malam, selalu memperoleh jumlah uang sedikit dari pencariannya yang melelahkan. Dan yang berkipas adalah perempuan. Dia yang membagi jatah masing-masing. 

"Ah, hanya undangan syukuran teman," kilahku. Perkara uang saku telah membunting di kantong celanaku. Siang tadi, saat istirahat kerja, aku telah meminjam uang kepada Maddin. Sakinah bisa lapang dada nanti, tanpa takut kutolak setiap permintaannya.

"Syukuran teman, apa syukuran selingkuhan?" godaan Pariyem berubah keterlaluan. Aku hanya mendesah. Percuma melawan. Telingaku pasti tak tahan menerima serentetan peluru yang dimuntahkannya. Omelannya bisa panjang. Bahkan "jatah di tempat tidur" bisa tak terlunasi, dan dia akan memunggungiku sambil tak berhenti mengoceh.

"Mana mungkinlah aku mau bermain api setelah menikah denganmu hampir tujuh tahun," keluhku. Pariyem percaya karena memang selama ini aku tak pernah berselingkuh. Aku telah menjadi suami setianya. Perkara hendak memacari Sakinah, itu soal lain. Aku bosan mendengar sindiran teman-teman pabrik yang suka mengatakan aku suami teralim di dunia. Aku lelaki yang memiliki kacamata kuda. Pandangan selalu lurus ke depan. Tak perduli di depan hanya ada sesosok gajah serupa istriku, pokoknya tetap lurus-lurus saja. 

Kebetulan Sakinah hadir dalam hari-hariku. Kebetulan aku kepincut kepadanya. Sekalian saja deh, kubuktikan bahwa diri ini bukan suami teralim di dunia. Buktinya aku bisa mengajak temuan Sakinah malam ini di pasar malam. Dan kau pasti dapat menebak, aku akan berhasil menjadi pacarnya.

"Tapi, bisakah sebelum pergi syukuran, Bapak menjemput Panjul di rumah Uwak Manaf? Sepulang sekolah siang tadi, Panjul langsung ke sana." Uwak Manaf kakak kandung istriku. Rumahnya sekitar setengah jam perjalanan dengan menaiki sepeda. Jarak yang lumayan jauh. Bisa-bisa acara berduaan dengan Sakinah, batal. Bisa-bisa dia tak mau lagi meladeniku di kantin Lateni.

"Tak mungkin, Bu! Nanti syukurannya keburu usai," elakku yang ditanggapi Pariyem dengan anggukan. 

"Ya, sudah! Mungkin Uwaknya sendiri yang akan mengantarnya pulang nanti."

Selamat! Selamat! Aku mengelus dada lega. Setelah mencium kening Pariyem, aku hampir melesat dengan sepeda kumbangku. Tapi sebelum sepeda itu kudorong dari samping rumah, Maman, anak si Manaf, tiba-tiba datang terengah-engah. Pariyem yang langsung meladeninya.

"Kenapa, Man? Panjul di mana? Tidak pulang bersamamu?" tanya istriku itu. 

Maman menggeleng. Jawaban darinya, membuat seluruh rencanaku buyar. Dikabarkannya, Panjul telah dibawa ke rumah sakit karena demam tinggi. Demam yang sangat mendadak, sehingga aku dan Pariyem sampai kebingungan. Sakit kok mendadak! Namun kami tak mau berpikir terlalu lama lagi. Manaek dan Jobur dititipkan ke tetangga sebelah, sedangkan kami bertiga bergegas ke rumah sakit.

Panjul memang benar-benar sakit. Kata dokter dia terserang gejala tetanus. Jadi panas badannya tinggi. 

Dari mulut Panjul terbukalah cerita bahwa dia menginjak paku dua hari lalu di gang kampung kami. Tapi kala itu cuma perih saja yang terasa. Pariyem sudah mengobatinya dengan betadin, sehingga penyakit itu dianggap selesai. Cerita Panjul ini diamini Pariyem.

Aku tertunduk lesu. Kenapa sampai dua hari ini aku tak memperhatikan Panjul, apakah jalannya pincang? 

Dalam pikiran kusut, Pariyem ke luar. Aku ikutan keluar karena ingin menyulut rokok. Pikiranku berpindah dari Panjul ke Sakinah. Aku kisruh. Sakinah pasti telah menungguku di pasar malam dengan perasaan kacau, antara cemas, kesal dan takut. Aku yakin dia tak mau meladeniku besok siang di kantin Lateni.

Pariyem sebentar berbicara dengan seorang perempuan. Aku tak hendak menoleh. Mataku nanar melihat tetesan air ac dari alatnya yang menempel di bilik seberang. Saat itulah, colekan menyentuh pinggangku. Colekan Pariyem yang membuatku tersedak.

"Ini suamiku! Kenalkan!" Dia tersenyum.

Perempuan yang berbicara dengannya tadi terkejut. Tapi tiba-tiba dia tersenyum seolah mencandaiku. Maka kusalami dia dengan didih di kepala.

"Dia temanku di kampung dulu. Teman latihan menari," lanjut Pariyem.

Tahukah kau siapa teman istriku itu? Dia adalah Sakinah. Dan aku menyesal dengan semua kejadian yang menimpaku. Andaikan paku di gang kampung yang menghalangi jalanku dua hari lalu, langsung kubuang ke got, tentu Panjul tak mesti menginjak paku, dan masuk ke rumah sakit. Aku juga bisa meluluskan niat memacari Sakinah, atau lebih jauh melamarnya. Tapi, ach, paku brengsek itu membuyarkan semua rencanaku. Atau mungkinkah Tuhan tak menyetujui keinginanku? Ach, ach, ach!

---sekian---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun