Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Paku

8 Maret 2019   12:22 Diperbarui: 8 Maret 2019   13:10 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pakijo! Kau dipanggil Pak Sueb!"

* * *

Prat-prot, kusemprot parfum murahan ke sela ketiak. Bau menyengat langsung membuar ke seantero rumahku yang sempit. Pariyem yang sedari tadi asyik menisik celana Jobur yang tersangkut paku, langsung menyela, "Wah, mau ke mana, Pak? Kelihatannya rapi sekali. Biasanya tak pernah berfarmun begitu. Ayo, mau ke mana?" 

Meski ucapannya dilemparkan dengan gaya guyonan, hatiku terasa seperti tersetrum. Istri---bagaimana pun cara membohonginya---seolah memiliki panca indera keenam, apalagi bersinggungan dengan uang dan istimewanya berbau perempuan selingkuhan. Tentu sebagai suami yang tak ingin belangnya ketahuan, aku harus berusaha kelihatan santai di depan istri. Jangan pernah sekali-sekali gugup, kalau tak ingin dia curiga. Kemudian tak usah memotong jatah belanjaan dari dompetnya. Bisa terbongkar semua. Coba, untuk apa memotong uang belanjaan, sementara jatah bulanan sudah dikantongi? 

Heh! Perempuan itu memang penguasa. Lelaki---meskipun dikatakan penjajah wanita dalam lagunya---toh yang berkuasa tetaplah perempuan. Lelaki hanya pekerja, pergi pagi-pulang sore atau larut malam, selalu memperoleh jumlah uang sedikit dari pencariannya yang melelahkan. Dan yang berkipas adalah perempuan. Dia yang membagi jatah masing-masing. 

"Ah, hanya undangan syukuran teman," kilahku. Perkara uang saku telah membunting di kantong celanaku. Siang tadi, saat istirahat kerja, aku telah meminjam uang kepada Maddin. Sakinah bisa lapang dada nanti, tanpa takut kutolak setiap permintaannya.

"Syukuran teman, apa syukuran selingkuhan?" godaan Pariyem berubah keterlaluan. Aku hanya mendesah. Percuma melawan. Telingaku pasti tak tahan menerima serentetan peluru yang dimuntahkannya. Omelannya bisa panjang. Bahkan "jatah di tempat tidur" bisa tak terlunasi, dan dia akan memunggungiku sambil tak berhenti mengoceh.

"Mana mungkinlah aku mau bermain api setelah menikah denganmu hampir tujuh tahun," keluhku. Pariyem percaya karena memang selama ini aku tak pernah berselingkuh. Aku telah menjadi suami setianya. Perkara hendak memacari Sakinah, itu soal lain. Aku bosan mendengar sindiran teman-teman pabrik yang suka mengatakan aku suami teralim di dunia. Aku lelaki yang memiliki kacamata kuda. Pandangan selalu lurus ke depan. Tak perduli di depan hanya ada sesosok gajah serupa istriku, pokoknya tetap lurus-lurus saja. 

Kebetulan Sakinah hadir dalam hari-hariku. Kebetulan aku kepincut kepadanya. Sekalian saja deh, kubuktikan bahwa diri ini bukan suami teralim di dunia. Buktinya aku bisa mengajak temuan Sakinah malam ini di pasar malam. Dan kau pasti dapat menebak, aku akan berhasil menjadi pacarnya.

"Tapi, bisakah sebelum pergi syukuran, Bapak menjemput Panjul di rumah Uwak Manaf? Sepulang sekolah siang tadi, Panjul langsung ke sana." Uwak Manaf kakak kandung istriku. Rumahnya sekitar setengah jam perjalanan dengan menaiki sepeda. Jarak yang lumayan jauh. Bisa-bisa acara berduaan dengan Sakinah, batal. Bisa-bisa dia tak mau lagi meladeniku di kantin Lateni.

"Tak mungkin, Bu! Nanti syukurannya keburu usai," elakku yang ditanggapi Pariyem dengan anggukan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun