Mohon tunggu...
Reza Paradisa
Reza Paradisa Mohon Tunggu... Buruh - Pemulung Waktu Luang

Menulis berarti memberi kekuatan pada orang lain untuk membaca pikiran kita.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Cerita "Gila" Kami, Para Pelancong Ibu Kota

14 Februari 2020   05:00 Diperbarui: 15 Februari 2020   11:21 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa diduga, di dalam angkot seorang Ibu-ibu tiba tiba memberi tahu kami bahwa "jam 14.30 ada kereta lokal keberangkatan ke Jakarta, harga tiketnya cuma Rp.6.000. Ibu biasa ke sana soalnya". 

Saya hanya bisa berkata "Waw dan berterima kasih telah memandu perjalanan kami," saja dalam hati.

Sesampainya di stasiun tiketnya sudah ludes namun masih ada untuk keberangkatan satu jam selanjutnya. Meski nahas, bagi kami menunggu satu jam tidak  masalah. Kereta kami berangkat dari Stasiun Karawang  dan kami turun di Stasiun Pasar Senen. Dihitung-hitung, hanya bermodal Rp.10.000 bisa sampai Ibu Kota, Boom!

Sekitar pukul 17.30 kami sudah menginjakkan kaki di Ibu Kota, lebih cepat dari perkiraan kami. Saya menarik napas panjang sambil tersenyum, menikmati suasana Ibu Kota. Sebenarnya, mengunjungi Ibu Kota bukanlah menjadi hal yang baru buat saya, karena sudah beberapa kali juga ke Jakarta. Tapi entah mengapa perjalanan kali ini memang terasa berbeda, tidak seperti biasanya.

"Hey mau pada langsung kemana nih?" pertanyaan yang selalu kami perbincangkan. Karena memang tak ada susunan agenda yang matang, pokoknya mengalir saja. Masjid Istiqlal akhirnya menjadi tujuan pertama kami setiba di Ibu Kota, ternyata tidak terlalu jauh dari Pasar Senen.. "Cuma 2 KM aja ke Istiqlal, jalan kaki saja. Hitung-hitung joging sore".

Selama perjalanan, sempat kami mengobrol dengan seorang penjual minum yang ternyata bukan warga Ibu Kota asli. Bapak itu lantas sedikit bercerita mengenai kehidupannya di Ibu Kota, mengenai perjudiannya mengadu nasib di Ibu Kota.

Kami hanya bisa tertegun mendengarnya, ternyata di balik sisi Ibu Kota yang gemerlap masih banyak yang tak kunjung menemukan nasibnya, yang masih menunggu giliran bagi peruntungan nasibnya.

Seperti yang kami jumpai di Masjid Istiqlal, ketika kami datang langsung disambut oleh banyak anak-anak kecil yang menawarkan kantong pelastik, berharap kami berkenan membelinya.

Mereka yang seharusnya masih bisa menikmati masa kecilnya untuk bermain namun harus menggantungkan nasibnya pada beberapa helai kantong pelastik demi menyambung hidup. Dan bahkan sepertinya hampir seluruh pedagang kaki lima yang kami temui sebagian besarnya adalah warga perantauan.

Hari semakin gelap, dan raga kami pun semakin lelah. Kami harus segera mencari tempat agar bisa segera bisa merebahkan raga kami. Sebagai "Pelancong", kami harus pintar-pintar meminimalisir pengeluaran agar bisa meminimalisir juga kemungkinan-kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.

"Mau cari masjid aja atau penginapan hotel...?" masjid adalah skenario terburuk sedang penginapan adalah skenario termahal. "Gapapa deh kita cari hotel aja pesan satu kamar untuk bertujuh.." gokil kan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun