Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Ordinary Citizen

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Kopi Emas dari Tanah Papua

15 Juli 2016   17:42 Diperbarui: 15 Maret 2018   14:13 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kopi Amungme Gold yang dihasilkan dari perkebunan kopi Suku Amungme, Papua/RUL

Dengan secangkir kopi kita bisa lebih akrab dan santai. Dengan secangkir kopi, segala gundah gulana terurai dengan lunglai. Dengan secangkir kopi, negara kita dikenal luas hingga mancanegara. Dan dengan secangkir kopi, barista ternama dan penikmat kopi dunia mengenal Indonesia bukan hanya Bali saja.

Negara ini dikenal sebagai penghasil kopi terbesar bersama Brazil, Vietnam dan Kolombia. Segala jenis kopi ada di tanah Nusantara. Bahkan, kopi menjadi komoditas unggulan Indonesia meski kita sendiri belum bisa menjadi pengendali harga kopi dunia yang masih terpusat di London dan New York. Di jalanan ibu kota, harum kopi kian santer dengan menjamurnya warung kopi dengan beragam konsep dan idealismenya.

Dari cara seduh pour over sampai aeropress yang dikompetisikan barista dunia akrab menyapa kita saat bertamu ke warung kopi yang senang disebut dengan cafe. Menjadi peminum kopi bukan sekadar mengecap rasa pahit di lidah. Dengan ragam aroma dan penyajiannya, meminum secangkir kopi perlu diritualkan layaknya tradisi meminum teh di timur asia.

Kopi Indonesia dikenal dengan keunikan rasa dan aroma. Kopi Sumatera identik dengan rasa yang berat dan bau hutan serta rempah. Berbeda dengan di Toraja, buah kopinya lebih mungil serta mengkilap menjadi identitas yang khas kopi yang memiliki tingkat keasaman cukup tinggi.

Di Papua, dengan alam yang masih perawan dan gugusan pegunungan yang padat, membuat kopinya memiliki tekstur yang lembut dan beraroma tajam. Tak ayal, kopi dari wilayah pegunungan Wamena dikenal luas dan menjadi merek dagang tersendiri. Apalagi, petani kopi di Papua masih mengandalkan proses alam dengan menunggu buah kopi ranum. Biasanya dikenal dengan natural process.

Begitu juga dengan kopi Papua yang berasal dari pegunungan di daerah Timika. Aroma yang tajam serta harumnya biji kopi setelah disangrai langsung merasuk ke indera penciuman saat saya berkunjung ke sebuah koperasi di Kabupaten Mimika, Kota Timika, Papua tiga pekan silam. Koperasi Amungme Gold yang dikelola oleh lima orang ini berhasil memberdayakan suku Amungme menjadi petani kopi dengan hasil produksi yang cukup untuk mengopikan orang yang berkunjung ke situs penambangan PT Freeport Indonesia (FI), bahkan kerap dibawa ke mancanegara sebagai buah tangan yang eksotis.

Suku Amungme yang memiliki hak ulayat atau hak atas kepemilikan wilayah di daerah penambangan PT FI dominan mendapatkan binaan dan banyak fasilitas lain yang diberikan khusus oleh PT FI, termasuk Koperasi Amungme Gold. Sejak 2013, koperasi ini membina dan memberikan edukasi serta fasilitas kepada suku yang berada di daerah pegunungan dekat dengan situs penambangan.

Admin Highland Economy Development Amungme Gold Harony Sedik/RUL
Admin Highland Economy Development Amungme Gold Harony Sedik/RUL
Harony Sedik, wanita paruh baya yang dipercaya menjadi Admin Highland Economy Development Amungme Gold menuturkan proses pembinaan kepada para petani kopi Amungme di kampung Tisinga, Hoya dan Arowano. Ketiga kampung tersebut merupakan tempat lahan penanaman pohon kopi.

"Di setiap kampung ada 5 hektar lahan perkebunan kopi dan terdiri dari 24 petani," kata Harony seraya menunjukkan biji kopi yang masih hijau di sebuah tempat penyimpanan.

Dalam sebulan, Koperasi Amungme Gold biasa memproduksi 1 ton kopi yang sudah disangrai (roasted) dalam bentuk biji (whole beans) atau yang sudah digiling (grinded). Biasanya sudah ludes terjual dalam kurun waktu sebulan. Pembelinya bukan dari wisatawan atau menitipkannya di kedai kopi. Menurut Harony, kopi Amungme Gold kerap diborong oleh pemerintah dan karyawan atau tamu PT FI yang kebetulan berkunjung ke tempatnya serta warga di Timika.

"Produksi 1 ton dalam satu bulan sudah ludes dari Timika, Freeport dan pemerintah. Produksi paling banyak sekitar 1,5 ton dalam satu setengah bulan,” ungkap Harony.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun