Mohon tunggu...
Ning Ayu
Ning Ayu Mohon Tunggu... Guru - Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Ning Ayu alias Taty Rahayu, Pengawas SMP Kabupaten Bogor

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelangi di Ujung Senja

4 Juni 2017   21:38 Diperbarui: 4 Juni 2017   21:45 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mo, aku hanya tak ingin kau memendam pedih sendiri, aku juga tak ingin mereka-mereka menghujatmu, dan kau sembunyikan semua masalah mu karena ingin agar aku tetep tersenyum, agar aku tak hilang cerianya. "Tidak Mo, aku istri mu dan aku berhak tahu apa masalahmu, apa yang sedang berkecamuk dalam jiwamu". 

Kata-kata May terus meluncur dengan cucuran air mata membajiri kedua pipinya yang tak mampu dibendungnya.  Lekaki yang sudah hampir 23 tahun menemani hidupnya kini hanya diam menunduk tak berucap, hanya sesekali terlihat menarik nafas panjang sambil sesekali beristigfar, namun bibirnya terasa berat untuk digerakkan. Akhirnya May pun hanya bisa terisak sambil duduk dengan mendekap kedua kakinya dengan kepala dibaringkan di atas kedua dengkulnya. 

"Maafkan aku May, yang tak bisa jujur padamu, tapi bukan niatku untuk menyakiti dirimu" akhirnya Padmo memiliki keberanian untuk berbicara. May hanya bisa diam, “aku menyakini mampu menyelesaikan masalah ku sendiri dan tak ingin kau terbebani" Padmo melanjutkan kalimatnya dan tangganya meraih tangan May istrinya, diciumnya tangan May penuh cinta.  " tapi aku istrimu Mo, aku punya hak tahu masalah mu, sebab kau suamiku" suara Maimunah hampir tak terdengar, namun mampu memecahkan gendang telingga Padmo.

Pagi ini, cuaca sedikit mendung, mentari pagi seolah tertahan sinarnya karena duka berselimut di hati Maemunah. Wajah ketiga buah hatinya satu-satunya penguat dalam hidupnya, juga kenyakinan hatinya Ia bentuk sedemikian kuat bahwa Tuhan tak akan meninggalkan dirinya juga hamba-hamba yang lain. 

Maemunah sangat mengenal karakter Padmo, lelaki yang sudah menikahi hampir 23 tahun, lelaki optimis yang selalu memandang kedepan, ulet juga penyabar, dan semua masalah hidupnya disandarkan pada Gusti Alloh. Udara pagi sedikit menyejukkan hatinya, pahit getirnya yang membuncah di hatinya sedikit mampu ditahan, matanya menatap jauh ke depan kepasrahannya benar-benar Ia tumpahkan dan Gusti pemilik hidup. Maemunah hanya terdiam, kedua bibirnya dikatupkan erat, air matanya masih terus meleleh, terkadang terdengar suara isak yang berusaha ditahan kuat-kuat dalam dadanya.

“Mo, mengapa sampai separah ini?” mengapa kau tak pernah bercerita padaku akan keterpurukan usahamu?” aku berhak tahu Mo, mengapa...........mengapa kau hanya diam?? “Tak tahukah kalau sikapmu itu sungguh menyayat hatiku?’ “Apa yang bisa kulakukan untuk semua ini? Suara Maemunah terus bergema diantara isak tanggisnya.

 “Maafkan aku May,  aku telah gagal menjadi iman keluarga” suara Padmo lirih sambil terus memegang tangan istrinya erat-erat. Lantunan istiqfar terus bergema, meluncur dari mulut Maemunah sambil sesekali menarik nafas panjang. “Iya, aku memaafkanmu Mo” tak bisa diselesaikan dengan air mata, semua sudah terjadi tak mungkin kita mengembalikan bubur menjadi nasi kembali. Semoga kekuatan doa kita terjabah oleh Alloh SWT, nyakin kita mampu melewatinya”, 

Maemunah mencoba menenangkan dirinya, ditatapnya wajah suaminya lekat-lekat, kemudian dipeluknya dengan erat. Kata-kata maaf Padmo terus meluncur dari bibirnya. Tiba-tiba hujan turun, halilitar bersaut seakan melengkapi kedukaan hati May, hati seorang wanita yang luka dan tangisnya adalah jiwa semangat yang siap diabdikan pada keluarga tercintanya.

Sudah hampir 8 tahun Padmo berwirausaha jual beli mobil, sepanjang tahun itu pula Maemunah tak pernah mencampuri urusan usaha Padmo. Baginya cukup dimengerti oleh May, mengapa Maemunah tak pernah mencampurinya. Maemunah cukup menahan diri sebab setiap berdiskusi tentang usahanya, ia dianggapnya tak tahu tentang bisnis karena tak menjalaninya, dan kata-kata itu yang selalu Maemunah simpan rapi agar tak muncul rik-riak kecil yang menganggu keharmonisan keluarganya. 

Disisi lain Padmo adalah lelaki yang sedikit keras, ego dengan prinsipnya, dan sepanjang tahun pernikahannya Maemunah mampu memposisikan perannya sebagai istri yang hormat dan taat pada suami, baginya perkembangan spikologis anaknya jauh lebih penting dari sekedar perbedaan prinsip dengan Padmo yang berujung bertengkaran dalam keluarga. Kini seiring perekonomian dunia yang belum berujung baik berimbas pada usaha Padmo yang kian mati suri, dan parahnya kondisi seperti ini Padmo simpan sendiri, mungkin merasa malu karena saran dari istrinya selalu dimentalkan.

Maemunah pun merelakan semua simpanan untuk mengatasi kesulitan Padmo, Ia mampu menahan sakitnya dibohongi Padmo suaminya, May pun punya kenyakinan Padmo tak sengaja menyakitinya. Di peluknya ketiga buah hatinya erat-erat sambil menahan agar air mata tak terlihat anaknya, Ia paksakan tegar bagai karang dan ucapnya: “Nak...........doakan ibu kuat mengatasi kesulitan hidup ini........” Pelangi terlihat jingga di langit sebelah timur, dan garis-garisnya memudar karena senja, tapi tidak dengan hati Maemunah, apa yang ingin diperjuangkan belum seberapa dengan yang dicontohkan istri Rosul Siti Khadjijah. Tuhan hidupku, hartaku hanyalah titipan terindah dariMu, aku hanyalah pelaku ayat Al-Quran...........doa Maemunah pada sujud panjangnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun