Tentu atas dukungan pihak Walhi pula maka hari akhir dan penutupan HPI ini digelar di desa Buluhcina yang terletak di pinggiran sungai Kampar yang berarus lembut itu. Kawasan Hutan Eko-Wisata Tujuh Danau, Buluh Cina, Kampar, yang kini dikelola oleh pihak kehutanan benar-benar menjadi bagian tak terpisahkan dari kemeriahan acara HPI.
Bahkan saat awal kedatangan rombongan HOI di desa Buluhcina itu, pihak kehutanan yang mengelola kawasan eko-wisata menyambut secara resmi dengan menghadirkan sepasang gajah peliharaan, Robin dan Ngatini. Pada kesempatan itu, Presiden Penyair Sutardji pun dikalungi bunga oleh gajah jantan bernama Robin.
Sutardji Baca Puisi Di atas Gajah.
Â
Di kawasan Hutan Eko-Wisata Tujuh Danau, Buluh Cina, pula para peserta diberi kesempatan menyaksikan penataan hutan dan lingkungan yang sejuk dan mempesona. Kawasan ini sejak beberapa tahun terakhir semakin ramai dikunjungi para pelancong untuk menghabiskan waktu berakhir pekan.
Situasi ini semakin sematak setelah beberapa waktu lalu, ditempatkan sepasang gajah masing-masing Robin dan Ngatini yang dapat ditanggangi para pengunjung dengan bayaran Rp. 20.000 untuk mengitari kawasan hutan lindung itu.
Suasana alam yang mendukung itu pula yang menyebabkan sejumlah penyair di antaranya Syarifuddin Arifin (Sumbar), Kunni Masrohanti (Pekanbaru), Edrida Pulungan (Jakarta) dan beberapa lagi secara bergantian tampil membacakan puisinya yang disaksikan para peserta HPI dan para pelancong lain.
Ada sebuah kejutan, ketika Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri tiba-tiba bersedia didaulat baca puisi di atas gajah. Sutardji pun meminta penyair Damiri Mahmud juga tampil membacakan puisi meskipun hanya berdiri di samping gajah.
Sutardji sangat serius memenuhi permintaan seratus lebih penyair yang hadir kala itu. Penyair yang masih energik itu pun sempat membacakan dua puisi yakni Perjalanan Kubur dan Apa Kau Tahu yang dicuplik dari buku puisinya O, Amuk,
Kapak.
"Di dalam puisi Apa Kau Tahu yang ditulis sekitar tahun 1970-an, aku sudah menulis tentang gajah sebagai tamsilan akan makna kehidupan," ucap Sutardji mengenang.