Kemarau bertumbuhan seperti bintang di langit malam yang bersih dari awan dan sekaligus juga kehilangan rembulan. Di kepala orang-orang yang kehabisan mata air karena terus-terusan mengunggah air mata. Di tempat-tempat yang berlini masa. Atau tempat lainnya yang dianggap merdeka untuk saling cerca dan dihasut saling memangsa.
Dunia bukan lagi belantara atau padang tundra. Namun sudah dinobatkan menjadi ladang savana. Perburuan sunyi dan kematian hati lazim terjadi di sana.
Orang-orang sekarang lebih menguasai cuaca dibandingkan siklon, muson dan pasat. Memutar balik siklusnya sesuai dengan peredaran kesumat. Badai akan dibungkus sebagai hadiah pertemanan. Misai digunakan sebagai pengendus segala macam kesempatan. Dunia menjadi begitu kecil dan mampat. Penghuninya terengah-engah kehabisan tempat.
Dalam satu tahun kalender berjalan. Kemarau di kepala tumbuh sesubur hutan ilalang. Melukai lengan dan betis kaki. Lalu membakarnya seketika tanpa menunggu api. Dengan cara membiarkan segala perihal patah hati.
Manakala kemarau terus saja dijadikan mahkota tanpa ada kesempatan untuk dikudeta, maka musim hujan yang datang hanya akan menjadi perayaan diam-diam tanpa sedikitpun terbersit kegembiraan.
Jakarta, 2 Juli 2019