Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Lahirnya Air dan Api

7 Desember 2018   00:19 Diperbarui: 7 Desember 2018   06:20 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampan bukan main!  Jantungnya tanpa dapat dicegah dag dig dug tidak karuan melihat penampakan si pemuda.  Pipinya memerah jengah ketika menyadari dia semakin maju ke dekat panggung.  Perhatiannya teralihkan saat uji tanding dimulai.  Pemuda kekar berewok itu mengayunkan pukulan dan tendangan bertubi tubi.  Angin bersiutan saking kuatnya tenaga yang dikerahkan. Andika Sinatria terlihat tenang menghadapi.  Dia tidak berusaha menangkis pukulan dan tendangan kuat itu.  Tubuhnya hanya bergeser ringan ke kanan dan ke kiri.  Semua pukulan itu luput tepat sebelum mengenainya.  Inilah yang disebut Lampah Dangdaunan.  Jurus kuno yang diajarkan oleh Ki Mandara. 

Dua jurus telah berlalu. Si pemuda berewok semakin ganas melancarkan pukulan demi pukulan.  Semakin ringan pula Andika Sinatria melayaninya. Begitu memasuki jurus ketiga, saat sebuah tendangan ke ulu hati dilepaskan oleh pemuda berewok itu, Andika Sinatria tidak lagi menghindar.  Jari tangan kanannya disentilkan ke arah pergelangan kaki sang lawan.  Terdengar bunyi keras ketika si pemuda berewok jatuh berdebam di panggung. Mencoba bangkit berdiri namun tidak bisa tegak lagi karena kaki kanannya bengkak hebat.  Sambil membungkuk mengakui kekalahannya pemuda berewok itu terpincang pincang turun dari panggung.

Berturut-turut kemudian naik ke atas panggung sepuluh orang peserta.  Dan semuanya tidak ada yang sanggup melewati dua jurus melawan Andika Sinatria.  Baru orang ke sebelas lah yang sanggup melayani adu tanding sampai jurus ke empat.  Tapi tetap saja, memasuki jurus kelima, orang ini bahkan terlempar keluar panggung setelah menerima dorongan Lampah Dangdaunan di pundaknya.  Dewi Mulia Ratri semakin bertambah kekagumannya terhadap pangeran ganteng ini.  Sekaligus juga penasaran untuk beradu ilmu dengannya. 

Belum ada satupun peserta yang sanggup lolos melawan pangeran tampan itu hingga melewati jurus ke lima.  Wajah wajah bangga namun kecewa tampak di barisan bangku belakang panggung.  Seorang lelaki gagah dengan baju panglima yang mentereng terlihat menghela nafas berkali kali.  Dia berbisik bisik dengan seorang tua berambut dan berjanggut putih,"Paman Mandara, jika kualitas orang-orang ini hanya seperti yang kita saksikan tadi, sulit bagi kita untuk memperkuat Kujang Emas." Yang disebut Mandara balik berbisik,"Tunggulah Candraloka, aku melihat ada beberapa orang yang akan sanggup menandingi Andika Sinatria." Matanya beredar di sekeliling para penonton dan peserta dengan yakin.

Adu tanding ke dua puluh empat.  Kali ini yang maju adalah seorang tua berbaju compang camping.  Seorang tokoh lama yang dijuluki Raja Pengemis Bertongkat Perak.  Pangeran muda itu tidak terlihat kelelahan sama sekali.  Dia melayani raja pengemis itu dengan tenang.  Gerakannya kini berubah tidak lagi bertahan.  Namun menyerang dengan dahsyat.  Tubuhnya yang kuat melompat kesana kemari dengan garang seperti harimau kelaparan dan sedang berburu mangsa.  Kali ini bukan jurus Lampah Dangdaunan, tapi jurus khas kuno dunia sunda.  Lengkah Maung Kalaparan.  Raja Pengemis benar benar kerepotan menghadapi jurus menyerang yang ampuh bukan main itu.  Pada langkah ke lima belas jurus ke empat, tongkat peraknya terpelanting setelah lengan kanannya terkena cakaran Andika Sinatria.  Selanjutnya bisa ditebak, giliran tubuhnya yang terpelanting keluar panggung setelah pukulan ringan pangeran muda itu mengenai perutnya sebelah kiri. 

Gilirannya! Dewi Mulia Ratri sudah bersiap melompat ke atas panggung,  namun belum sempat hulubalang menyebutkan namanya dan Andika Sinatria juga belum kembali ke kursinya, berkelebat bayangan merah dan tahu tahu berdiri seorang gadis manis luar biasa berusia belasan tahun di atas panggung.  Gadis itu tersenyum mengejek ke arah pangeran tampan itu,"Jangan jumawa pangeran jelek! Coba kita lihat seberapa lama kau sanggup bertahan melawan aku..!"


Andika Sinatria terkesima sesaat.  Namun segera memperbaiki sikapnya dan berkata,"Hulubalang...apakah ini peserta selanjutnya?"  Hulubalang hanya tergagap gagap.  Apalagi diliriknya gadis cantik yang tadi menghancurkan meja melotot ke arahnya.

"Sudahlah jangan banyak omong pangeran...ayo kita mulai!" Gadis manis berbaju merah itu menyergah dengan ketus.

"Hmmm...sebutkan dulu namamu....aku tak bisa bertanding dengan orang yang tidak mau menyebut nama......." Belum juga selesai kalimatnya, sesosok bayangan putih melompat ke atas panggung dan berdiri di hadapannya.  Pangeran tampan itu lagi lagi terkesima.  Di hadapannya kini berdiri seorang gadis cantik jelita yang lain lagi!  Tiga orang muda yang sama sama rupawan sekarang berdiri saling berhadapan dalam sebuah formasi segitiga tempur.

"Hey bocah ingusan! Sekarang adalah giliranku.  Kau tidak bisa seenaknya saja menyerobot giliran orang!..." Dewi Mulia Ratri melotot ke arah gadis berbaju merah itu, yang juga balik melotot ke arah Dewi Mulia Ratri,"Aku tidak punya urusan denganmu gadis cilik...atau kau ingin wajahmu yang cantik itu kugores dengan kuku jariku."

Andika Sinatria sejenak kebingungan.  Dia menoleh ke arah hulubalang, lalu ke Panglima Candraloka dan setelah itu ke gurunya, Ki Mandara.  Sebelum dia membuka mulutnya, Ki Mandara dan Panglima Candraloka bersamaan melompat ke atas panggung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun