(Diiringi suara musik sepelan degung namun berirama seperti suara tupai yang memberontak).
Malam di bulan Agustus. Â Adalah malam dimana hampir semua dada hampir meledak. Â Karena menghirup udara serasa merdeka. Â Berkata kata serasa merdeka. Â Berpikir serasa merdeka. Â Menulis juga serasa merdeka. Â Begitu pula dua nisan berlumut tak bertanda di sebuah sudut pemakaman tua. Memulai percakapannya dengan merdeka;
Nisan 1;
Wahai nisan di sebelahku. Â Sesungguhnya siapakah yang terkubur di bawah kakimu. Â Aku lihat kau berlumut. Â Apakah itu jasad yang berkabut?
Nisan 2;
Tidak! Â Jasad terkubur di perutku adalah seorang pahlawan. Â Tulang belulangnya disarangi beberapa butir peluru. Â Dia mati ketika langit saat itu berwarna biru.
(Musik bereskalasi namun tetap tenang dan syahdu)
Nisan 1;
Siapakah namanya? Laki laki atau wanita? Muda atau tua? Aku memberitahumu. Â Jasad di tubuhku adalah petani. Â Dia mati saat masih menggenggam ani ani. Â Peluru meriam meledak di sawah yang dipenuhi padi padi berisi.
Nisan 2;
Aku tidak tahu nama jasad ini. Â Yang aku tahu wangi menguar keluar dari tulang tulangnya yang berserakan. Â Padahal ini tulang tulang yang dulu dipindahkan dari dalam hutan. Â Tempatnya terakhir bergerilya dengan senapan panjang.
Nisan 1;
Akupun sama. Â Tak tahu siapa nama petani ini. Â Yang aku tahu, semua hasilnya memanen padi diserahkan semua untuk dimasak bagi para pejuang yang hanya sempat makan satu kali dalam sehari. Â Sampai sekarang jasadnya juga masih berbau wangi.
(Musik berhenti. Â Narator membacakan paragraf penutup dari kisah drama imaginer yang pendek ini).
Merdeka dulu bukan merdeka abu abu. Â Merdeka kini bukan merdeka yang sunyi. Â Merdeka nanti juga bukan merdeka karena berondongan janji.
Jakarta, 17 Agustus 2017