Mohon tunggu...
Luci Maya
Luci Maya Mohon Tunggu... -

seperti kata Descartes, "Cogito ergo sum..... Aku berpikir, maka aku ada.." Bahwa semuanya tidak ada yang pasti, kecuali kenyataan bahwa kita adalah manusia yang bisa berpikir..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Masihkah Kau Menghindari Takdir?

22 Februari 2017   18:01 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:32 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
menunggu (dok. pribadi)

Entah sudah berapa kali kami ditakdirkan untuk bersama, tetapi kemudian masing-masing dari kami terlempar jauh dan terpisah lagi untuk kesekian kalinya. Entah sudah berapa lama aku memendam rasa, tanpa dia tahu, bahwa diam-diam aku memperhatikannya. Dia tidak pernah tahu perasaanku. Bagi semua orang dia termasuk orang yang sangat 'cuek', tidak terlalu peduli dengan yang lainnya kecuali  orang-orang yang dia kenal saja. Banyak yang mengira dia mungkin sedikit sombong.

Aku dan dia kuliah di fakultas yang sama, namun kampus kami berbeda. Kampusku di selatan,kampusnya di utara. Cukup jauh. Hanya pada acara-acara tertentu aku bisa bertemu. Pada acara lomba antar kampus, antar kelas, antar angkatan. Atau saat ujian bersama. Herannya setiap kali ujian dia selalu ada di sebelah kiriku. Begitu dekat,tapi kami tidak saling bicara sepatah kata pun. Tidak bersuara, tidak menyapa. Hanya diam. Bisu. Walaupun aku sering diam-diam meperhatikan. Aku tidak tahu, apa yang membuat aku tertarik  untuk diam-diam meperhatikan. Mungkin karena ketidakpeduliannya, sehingga aku begitu penasaran? Hanya Tuhan yang tahu. Aku mungkin orang baru baginya. Orang asing yang tiba-tiba bertemu dalam suatu kesempatan. Jadi bukan sesuatu yang penting untuk berkenalan denganku.

Terlebih lagi, kelas kami dengan kelasnya memang tidak pernah akur, saling bersaing. Rivalitas di atas panggung, apalagi saat lomba antar kelas. Semua berusaha menjadi yang terbaik. Aku dengan timku dan dia dengan timnya. Kami berdua, sama-sama punya grup band yang mewakili kelas. Entah apa yang dia rasakan, sedikit permusuhan? Mungkin itu yang menyebabkan kami tidak bicara walaupun duduk bersebelahan  saat ujian. Karena dia menganggap aku adalah musuhnya, rivalnya, lawannya. Kelas kami sering menjuluki kelasnya sebagai "tetangga sebelah rumah"...hehe. Dan tiap-tiap kelas selalu punya 'provokator' yang sering memanas-manasi suasana. Bahkan dia termasuk salah satu provokator kelasnya. Tanpa terasa, kami pun terhanyut dalam suasana persaingan.

Hari-hari pun berlalu. Aku dengan kegiatanku dan dia dengan kegiatannya sendiri. Tiga setengah tahun, akhirnya aku raih gelar Sarjana Kedokteran dengan predikat 'lulus dengan pujian'. Aku bersyukur kerja kerasku selama kuliah terbayar sudah. Saat wisuda, aku tidak  terlalu memikirkan dia. Seolah-olah aku sudah lupa dengan sendirinya. Aku juga tidak tahu, apakah dia juga diwisuda bersamaan denganku? aku hanya fokus kepada diriku sendiri dan teman-teman sekelasku. Tidak lama lagi, aku akan segera memasuki kehidupan klinis, sebagai 'dokter muda', kehidupan yang sering digambarkan sangat melelahkan dan penuh cerita suka duka. Dunia 'coas', co-asistant dokter.

Hari pertama memasuki masa-masa sebagai dokter muda, aku langsung mendapatkan 'stase mayor', yaitu 'stase bedah', yang akan aku jalani selama lebih kurang 8 minggu.  Dan yang tidak pernah kusangka, orang yang dulu sering aku perhatikan secara diam-diam ternyata berada di gerbong yang  sama denganku. Jantungku kembali berdegup kencang, 'dag dig dug'. Tuhan, mengapa Kau hadapkan dia lagi denganku? Seakan semesta ingin terus bermain-main denganku. Memberi aku dan  dia kesempatan untuk bertemu lagi, lebih sering dari sebelumnya. Aku tidak tahu, apakah ini takdir kami berdua? Hmmm...!

Walaupun rivalitas antar kelas selama 'coas' sudah mencair, Namun, komunikasi kami tetap buruk, jauh dari baik. Buatku dia terlalu pendiam dan cenderung angkuh. Hanya sesekali menyapa itu pun kalau ada perlu. Karena kepandaianku, aku memang seringkali jadi tempat bertanya, tempat berdiskusi. Termasuk dia yang kadang-kadang bertanya dan aku menjelaskan sepenuh hati hingga dia mengerti. Begitulah komunikasi kami. Kaku, tanpa ekspresi hingga stase ini berakhir.

Menghadapi stase selanjutnya, lagi-lagi aku mendapatkan stase mayor 'penyakit dalam', yang harus kujalani sekitar 8 minggu. Setelah 4 minggu pertama, pada 4 minggu kedua aku harus menjalaninya di rumah sakit daerah. Ada dua daerah tujuan. Daerah mana yang akan kujalani ditentukan berdasarkan undian. Dan lagi-lagi dia berada di gerbong yang samadengan ku. Daerah yang kudapat berdasarkan undian pun ternyata sama dengannya. Huuhh! Walaupun ada riak kegembiraan dalam hati, namun aku tidak terlalu berharap banyak. Karena kudengar selentingan bahwa dia akan pindah kelompok ke daerah satunya, ada keluarga pamannya di sana. 

Akhirnya memang dia pindah kelompok, tinggalah aku yang kecewa meskipun perasaan kecewa itu sudah kuantisipasi tetap saja kecewa...ya kecewa. Begitulah kerja semesta. Semakin kita berharap semakin menjauh harapan itu untuk  terwujud. Mungkin aku harus melepaskan saja. Membiarkan semesta dengan hukum alamnya. Takkan lagi kuharap. Jika memang dia untukktu, tentu takdirnya akan menuntunnya. Akupun pergi ke daerah dengan leluasa. Tanpa tekanan batin. Aku buat diriku segembira mungkin. Dan aku memang gembira selama di sana. Lepas dari bayang-bayangnya. Jika ada waktu luang, aku menghabiskan dengan berjalan-jalan ke tempat wisata ramai-rama dengan teman-teman lainnya.Tidak terasa 4 minggu di daerah pun akhirnya berlalu. Komunikasi kembali reset menjadi nol.

Stase selanjutnya yang  kujalani adalah stase 'jiwa' yang harus aku selesaikan dalam waktu 6 minggu. Di stase ini, kami juga selama 3 minggu akan menjalaninya di daerah. Hanya satu daerah tujuan. Jadi keberangkatan dibagi menjadi 2 kloter. Aku memilih kloter kedua. Alasannya, aku ingin istirahat dulu sebelum lanjut lagi ke daerah. Di samping itu aku ingin menonton festival jazz. Tadinya kupikir, aku adalah satu-satunya coas dia angkatanku karena selebihnya adalah kakak tingkat.Ternyata tidak!! Dia lagi, dia lagi. Ternyata dia juga ikut di koter kedua ini. Ya...Tuhan. Mengapa tidak Kau jauhkan dia dariku? Kenapa dia selalu membayangi perasaanku. Sudah kubuat 'ultimatum' dengan diriku sendiri. Bahwa ini kesempatan terakhir buatku. Jika dia masih bebal, tidak ingin peduli dengan ku. Tidak ingin mengenalku lebih jauh. Cukup sampai di sini saja. Aku harus menutup cerita tentang dia di hatiku. Dan membuka hatiku untuk hal-hal yang baru.

Dia juga tidak menyangka aku ada di kloter dua, tadinya dia kira dia akan sendirian di angkatan kami. Ternyata tidak, ada aku. Akhirnya dia jadi lebih sering berkomunikasi dengan ku, jika ada 'apa-apa'. Apa, bagaimana, kapan...? Dia selalu menanyakan itu padaku, untuk berkomunikasi dengan kakak tingkat. Pelan-pelan sepertinya dia mulai menerimaku sebagai teman yang bisa dipercaya. Sayangnya, hatiku tidak lagi bersemangat seperti sebelumnya. Mungkin sudah 'patah arang', bukan patah hati, Aku jadi teringat dengan kakak tingkat yang diam-diam menyukaiku tapi aku mengabaikannya. Ooohh! Seperti inilah rasanya diabaikan. Aku seperti terkena kutukan, hukum karma. Sekarang aku merasakan rasa pahit jadi korban ketidakpedulian seseorang. Korban pengabaian. Saatnya aku memberi jawaban "ya", buat pengagum diam-diamku. Aku tidak ingin mengabaikannya lebih lama,

Aku harus mengucapkan selamat tinggal 'mantan'. Mantan yang tidak pernah tahu, kalau dia pernah mengisi hatiku. Telah kucoba takdirku untuk bersamamu, tetapi kamu selalu menghindarinya. Sekarang aku ingin menempatkan takdirku untuk yang lain, yang telah lama menungguku. Maaf, jika kau telah merasa dekat denganku tiba-tiba aku yang menjauh dari mu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun