Mohon tunggu...
de Gegan
de Gegan Mohon Tunggu... Petani - LAbuan Bajo | Petani Rempah
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis apa saja dari kampung. Agar dibaca oleh orang orang kampung lainnya, yang kebetulan berada di kota atau di sebelah lingkaran bumi ini.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kemiskinan dan Diskursus Buruk Pertanian di NTT

8 Oktober 2019   02:09 Diperbarui: 10 Oktober 2019   04:03 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi - pos kupang/edy bau

Tulisan ini dibuat untuk 'membisingkan' telinga dan atau agar pemerintah NTT melek dalam melihat lebih jauh fenomena keterpurukan petani yang terus bergelut dengan kondisi kemiskinan yang sangat sulit untuk mereka mentahkan.

Merujuk pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) NTT, jumlah penduduk miskin di NTT pada Maret 2019 mencapai 24,91%. 

Secara nasional, Provinsi NTT menduduki posisi ke-3 dari provinsi yang memiliki porsentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, setelah Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tentu ini menjadi ironi tersendiri dan begitu sangat memprihantinkan mengingat tanah NTT yang bisa dikatakan memiliki SDA yang sangat bisa diandalkan. \

Kondisi ini yang kemudian menjadi tanda tanya besar, kira-kira dimana delik persoalan yang menyebabkan salah urusnya pembangunan di NTT?

Kemiskinan di NTT tetap identik dengan pedesaan. Hampir 85% penduduk miskin di NTT tinggal di pedesaan dan bermata pencahariaan sebagai petani. Dengan demikian, hemat saya, untuk mengentaskan kemiskinan tidak lepas dari keberhasilan pembangunan sektor pertanian di pedesaan.

Pemerintah NTT telah menjadikan pembangunan sektor pertanian dalam artian yang luas sebagai prioritas utama setelah pariwisata. Telah banyak program-program pertanian yang telah diluncurkan untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan kesejahteraan petani.

Sistem agribisnis yang mengintegrasikan subsistem hulu-hilir, pemasaran dan penunjang yang dianggap dapat meningkatkan produktivitas dna daya saing juga telah diterapkan. 

Hasilnya, produksi dan produktivitas pertanian meningkat umumnya komoditi perkebunan kopi, cengkeh dan fanilli, petani garam dan peternakan meningkat tiap tahunnya. 

Namun apakah keberhasilan tersebut telah meningkatkan kesejahteraan petani?

Kenyataannya jumlah penduduk miskin di desa yang sebagian besar petani tidaklah menurun signifikan, bahkan laporan BPS jumlah penduduk miskin di NTT hanya menurun 0,12% dari tahun sebelumnya.

Demikian pula jika dilihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakann salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. NTP di NTT cendrung fluktuatif dan turun 104,48 (0,32%) per Maret 2018. 

Tapi subsektor peternakan hingga Hortikultura dan Tanaman Perkebunan Rakyat menunjukan tren menanjak dan cukup baik dari tahun sebelumnya, yakni naik 1, 26%.

Berikut grafisnya:

images Nilai Tukar Petani(NPT) NTT-Maret 2018 (foto BPS NTT)
images Nilai Tukar Petani(NPT) NTT-Maret 2018 (foto BPS NTT)
Melihat kondisi ini, disuatu sisi produksi dan produktivitas meningkat namun pada sisi lain kesejahteraan petani tidak meningkat atau tetap bergelut dalam kemiskinan. Tentunya hal ini menimbulkan tanda tanya besar. 

"Rasanya ada mata rantai pembangunan dalam upaya pengentasan kemiskinan di NTT yang terlewatkan terkhusus di bidang pertanian".

Disini saya coba meringkas tiga poin yang menjadi permasalahan pokok yang mengakibatkan tujuan pembangunan pertanian dalam upaya pengentasan kemiskinan melalui peningkatan kesejahteraan petani belum mencapai hasil yang memuaskan.

Pertama, program yang dijalankan lebih dominan bersifat politis dibandingkan aspek strategis dan ekonomis. Pada kenyataannya banyak program -program yang telah dirancang banyak menguntungkan pihak-pohak tertentu. 

Penentuan lokasi dan penerimaan manfaat program lebih fitentukan oleh 'kedekatan spesial' kelompok-kelompok tertentu baik sesama elit birokrasi maupun legislatif.

Kondisi ini tentunya sangat sulit untuk menilai efektiviyas program yang dilakukan dari aspek strategis dan ekonominya. Dan tentunya mengakibatkan kecemburuan sosial antar kelompok petani dan menurunnya tingkat kepercayaan kepada pemerintah.

Kedua, penilaian keberhasilan program pembangunan lebih ditekankan terhadap penyerapan anggaran. 

Keberhasilan pembangunan  tidak hanya dinilai dari tinggi rendahnya penyerapan anggaran akhir tahun, tetapi seberapa besar dampak pembangunan yang dilakukan teehadap pertumbuhan ekonomi dimasyarakat yang menjadi poin yang lebih penting.

Dan ketiga, Sinergi dan Ego sektoral. Pembangunan disktor pertanian selama ini masih belum menunjukan adanya sinergitas antar seluruh stakeholder. Sinergi antar bidang pembangunan sangat diperlukan demi kelancaraan pelaksanaan dan tercapainya secara efektif dan efesien.

Demikian pula dengan adanya indikasi ego sektoral didalam suatu pengelolaan pembangunan. Suatu sektor merasa lebih superior dibandingkan sektor-sektor yang lainnya.

Kondisi inilah yang penulis katakan, oleh karena belum adanya transparansi pembagian tugas dan fungsi instansi-instansi pertanian, yang mengakibatkan tumpang tindih kebijakan dan kekuasaan. Pembangunan masing-masing sektor yang berdiri sendiri akan sulit mencapai keberhasilan.

Konkretnya, program-program pertanian yang dilakukan dan diterapkan di NTT harus ditunjang oleh semua sektor-sektor terkait.

Sudah saatnya pemerintah NTT lebih serius memperhatikan petani. Petani jangan lagi dijadikan obyek pembangunan, politik dan kekuasaan. 

Perencanaan pembangunan kedepan semestinya mengakomodasi konsep pemberdayaan dan partisipatif petani sebagai subyek dari kemiskinan itu sendiri.

Dengan itu, saya berharap semoga dimasa yang akan datang para petani NTT akan lebih sejahtera. Salam!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun