Mohon tunggu...
Khusnul Zaini
Khusnul Zaini Mohon Tunggu... Pengacara - Libero Zona Mista

Menulis Semata Mencerahkan dan Melawan ....!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tafsir Magis Trisula Politik: Jokowi-Megawati-Mahkamah Konstitusi

19 April 2024   06:49 Diperbarui: 20 April 2024   02:30 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Suasana kebathinan bangsa Indonesia paska pesta demokrasi Pilleg dan Pilpres 2024 sedang tidak baik-baik saja. Fenomena itu ditandai dengan gesture elite politisi antar partai yang sedang saling menegasikan.

Kegaduhan antar pendukung paslon Presiden dan Wakil Presiden, memang terkanalisasi dalam sidang anggota DPR RI yang berupaya memutuskan Hak Angket, dan bahkan juga sedang bergulat menyusun narasi berikut bukti atas gugatan maupun jawaban di depan para Hakim Mahkamah Konstitusi.

Pernyataan sangat keras Megawati yang ditulis dalam artikel opininya menyebutkan "Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)". Bahkan Megawati menyampaikan ada dugaan kecurangan pada Pemilu 2024, juga diwarnai dengan motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden. Serangan kalimat tuduhan itu, jelas menunjukkan sikap kemarahannya.

Saat ini, kedua kubu sedang berjuang sekaligus berharap cemas dengan satu kata paling menyebalkan dan menegangkan, yaitu  "Menunggu" rumusan "Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi" yang bersifat "final and binding" yang ditetapkan 9 (sembilan) Hakim MK Konstitusi atas sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.

Maksud putusan MK bersifat final itu adalah putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Sifat final dalam putusan MK ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya, akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Semantara, sifat mengikat bermakna putusan MK tidak hanya berlaku bagi para pihak, tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Implikasinya dengan judul artikel opini ini, terinspirasi dari senjata tradisional TRISULA yang lebih dikenal sebagai tombak bermata tiga. Secara filosofis, kiasan TRISULA merepresentasikan tiga entitas atau unsur, yang bisa mewakili sejarah masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Sejarah masa lalu dimaknai sebelum Jokowi menjadi Presiden, dan sejarah masa sekarang ketika Jokowi menjadi Presiden, serta sejarah masa depan ditandai dengan hasil putusan hakim MK dalam memutus sengketa Pemilu Pilpres 2024.

Joko Widodo Presiden Indonesia

Representasi masa lalu dalam filosofi Trisula itu, bisa diartikan dengan proses awal merekrut Joko Widodo sebagai kader partai, lalu ditugaskan merebut jabatan Walikota Solo, posisi Gubernur DKI Jakarta, hingga merebut posisi Presiden RI selama dua periode (2014-2019 dan 2019-2024). Sebagai kader partai militan, sangat tidak mungkin segala keputusan yang dijalankan tidak berada dalam komando pimpinan Partai.


Upaya merebut kekuasaannya mendapat dukungan politik internal partai secara totatilitas, hingga muncul perbedaan kepentingan dan strategi pendekatan politik berdasarkan kalkulasi subyektif antara Jokowi dan Megawati. Melihat fenomena politik opera sabun antara Megawati dan Jokowi yang dipertontonkan saat ini, agar dikanalisasi sebatas internal PDIP. Jangan menghamba pada rakyat dan menyeret masuk dalam persetuan personal antara Megawati dengan Jokowi.

Fenomena politik opera sabun antara Megawati dengan Jokowi ditafsirkan dengan 3 (tiga) kemungkinan, Pertama, tetap patuh dengan arahan dan perintah pimpinan partai sesuai visi-misi yang ingin dicapai, Kedua, melakukan pembangkangan pada pimpinan partai karena ada masalah politis personal yang sulit disatukan, dan Ketiga, seolah-olah berseteru dengan tampilan gesture politik berseberangan, tetapi ada misi besar dan eksistensi partai maupun massa/konstituen dan kolega parpol lain yang harus diselamatkan.

Jika tetap patuh pada pimpinan partai, maka segala kebijakan presiden dengan segala strategi yang dilakukan, tentu diketahui dan direstui pimpinan partai, karena semuanya akan bermuara pada kontribusi riil terhadap keberlangsungan dan pembiayaan mengelola partai. Akan tetapi, jika kemudian dinilai melakukan pembangkangan terhadap pimpinan partai, tentu ada masalah sangat ideologis bagi Jokowi, sehingga harus melawan kebijakan partai yang diprediksi bisa merugikan atau membahayakan masa depan bangsa-negara Indonesia.

Sedangkan misi besar dan eksistensi partai maupun massa/konstituen dan kolega parpol lain harus diselamatkan itu, karena akar masalahnya pada soal pembiayaan dan keberlanjutan partai. Ketua umum PDIP harus berupaya memastikan para kadernya bisa merebut pimpinan eksekutif mulai dari tingkatan Bupati/Walikota, Gubernur, Presiden hingga anggota Legislatif di tingkat Kabupaten/kota hingga DPR RI.

Selain itu, jatah politik kekuasaan menjadi pembantu Presiden, hingga memastikan para pimpinan elite Ormas yang menjadi sayap sosial-politik-ekonomi partai harus bisa menempati berbagai pos kelembagaan negara (setingkat komisioner), staf ahli menteri, hingga lembaga pendamping desa. 

Apapun predikat dan stigmatisasi yang dilekatkan oleh Megawati kepada Jokowi saat ini, statusnya masih kader terbaik PDIP. Sebagai kader militan partai pemenang Pemilu 2019, Jokowi tentu akan melaksanakan perintah Ketua Umum PDIP di satu sisi, yang sekaligus merealisasikan visi-misi Nawa Cita ketika menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagaimana janji politiknya selama kampanye pemilu presiden 2019.

Siapapun Presiden itu, ada kecenderungan dan berkehendak ingin menjaga dan merawat monumen politik yang telah dibangun melalui konsensus politik yang merepresentasikan seluruh elemen politik bangsa ini. Realisasi kebijakan politik yang ada, tentu proses penetapannya sudah melalui mekanisme politik berdasarkan hukum ketatanegaraan yang berlaku sesuai peraturan perundangan yang ada. Jika ada penilaian salah kepada rezim Jokowi ini, tentu PDIP juga berkontribusi besar karena produk politik pemerintahan Jokowi juga digawangi politisi kader PDIP dalam parlemen.

Konsekwensi politisnya, potret berbagai karya pembangunan yang ada saat ini, wajar jika ada pro-kontra terkait nilai kepuasan publik dalam apresiasinya mengenai proses hingga pilihan strategi pencapaiannya. Karena sistem domokrasi mengatur soal pembagian kekuasaan, dan perwakilan masing-masing kelembagaan negara terlibat bersama selama proses perumusan hingga pengambilan keputusannya, maka penilaian soal berhasil atau gagal itu sebagai produk politik kolektifitas. Melibatkan seluruh instrumen politik yang merepresentasikan wakil dari pihak Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dan memang inilah konsekwensi dari praktik sistem demokrasi representatif.  

Apabila proses dan mekanisme secara kolektif ada pihak yang tidak setuju dengan keputusan politik yang ada, semuanya sebagai konsekwensi dari sistem demokrasi. Mayoritas mengalahkan minoritas. Jika polarisasi para elite politik yang sedang mempertontonkan dialektika politik yang saling menegasikan, justru gestur politik para politisi Parpol tersebut sedang mempertontontan aib politiknya dengan praktik kongkalikong politik dengan Presiden yang sama-sama terpilih melalui Pemilu Pilleg dan Pilpres secara langsung.

Jika kemudian pada akhirnya benar dan terbukti bersalah secara politik, meskipun indikator kesalahan presiden ini hanya bisa dibuktikan dengan pelengseran secara konstitusional sebagaimana Gus Dur dalam sidang istimewa MPR, atau Soeharto melalui gerakan reformasi secara masif tahun 1998, maka sama halnya dengan era Presiden Soeharto yang tidak bisa diadili karena semua tindakan dan kebijakan politiknya dijalankan berdasarkan peraturan perundangan yang ada dan berlaku saat itu.

Megawati Ketua Umum PDIP

Tulisan ulasan berita di Harian Kompas, Senin 8 April 2024 berjudul "Megawati tugaskan puan jalin komunikasi dengan Prabowo" itu, setidaknya bisa dijadikan radar politis soal "keseriusan dan kesungguhan politis Megawati" menulis artikel opini dengan judul "Kenegarawan Hakim Mahkamah Konstitusi" pada hari dan tanggal yang sama.

Analogi opera sabun yang dideskripsikan dengan suatu genre serial drama televisi dan radio yang dicirikan dengan ceritanya yang berbelit-belit dan sentimental itu, sepertinya layak disematkan dalam konflik internal PDIP dengan aktor utama Megawati dan Joko Widodo. Kedua tulisan di Harian Kompas meski berbeda kolom bahasannya itu, sudah cukup menjadi bukti adanya fenomena politik opera sabun, meskipun perselisihan yang dipertontonkan kepada public bermuara pada sengketa pemilu Pilpres di Mahkamah Konstitusi.

Simpulan dalam pertunjukan politik opera sabun itu, pada akhirnya bisa diprediksi ending ceritanya dengan dua simpulan, yaitu (1) hasil pemilu Pilpres 2024 dinyatakan sah dengan beberapa catatan dan perbaikan untuk penyelenggaraan pemilu Pilpres di masa-masa mendatang, dan (2) Megawati dan PDIP menerima kekalahan sesuai putusan MK dan ingin berkoalisi dengan jatah menteri secara proporsional sebagai pemenang pemilu.

Kedua simpulan di atas harus diputuskan hakim MK dengan berbagai pertimbangan politik dalam negeri untuk menghadapi tantangan ekonomi global yang bisa berpengaruh dampak pada masalah ekonomi bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Prediksi ini setidaknya relevan dengan pernyataan dalam paragraf 4 pada tulisan ulasan berita harian Kompas Senin 8 April 2024 berjudul "Megawati tugaskan puan jalin komunikasi dengan Prabowo" yang menyebutkan bahwa "...Megawati pun berulang mengingatkan soal tantangan berat geopolitik lima tahun ke depan. Setiap negara saat ini sibuk memperkuat diri. Rantai pasokan global juga tidak sempurna karena tidak terciptanya keseimbangan baru ....".

Tafsirnya bisa berarti bahwa latar belakang penulisan artikel itu, semata menegaskan kembali bahwa memang ada konflik internal PDIP soal perseteruan secara personal antara Megawati dengan Jakowi. Subyek masalah utamanya berkisar soal siapa yang layak sebagai kandidat Capres-Cawapres kontestasi Pilpres 2024. Secara politik, Jokowi telah memenangkan perseteruan yang ada. Menjadi tidak etis kemudian, ketika Megawati berupaya mempengaruhi rakyat dan mempengaruhi Hakim Mahkamah Konstitusi untuk meraih keadilan secara hukum-politik.

Setidaknya bobot dan pengaruh artikel opini Megawati di harian Kompas itu tidak seperti artikel opini biasa. Siapa penulisnya dan apa pesan politis yang disampaikan dengan pilihan narasi secara presisi itu, tentu akan/bisa berpengaruh dampak bagi subyek yang disasarnya. Jika tidak tanggap dan jeli memaknai apa yang dimaksudkan penyampai pesan, maka ada konsekwensi politis yang harus ditanggung bagi subyek tertentu atau seluruh warga bangsa.

Keberadaan para Menteri Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024 yang beberapa posisinya ditempati kader PDIP, ternyata hingga kini belum diperintahkan mengundurkan diri oleh Ketua Umum PDIP itu, secara politik bisa ditafsirkan sebagai sikap inkonsisten Megawati dengan berbagai statemen politiknya yang bisa dinilai menyudutkan posisi dan eksistensi Presiden Jokowi secara pribadi maupun sebagai Kepala Negara.

Tidak ada makan siang gratis dalam dunia politik. Semua pihak memiliki kepentingan, dikemas atas nama kemuliaan dan penuh pengabdian, meski politik sesuai konvensinya tidak pernah transparan. Begitulah gesture realitas politik paska pesta demokrasi Pilleg dan Pilpres 2024. Dibalik tontonan sandiwara politik yang kelihatan saling menegasikan, tetapi pada ghalibnya saling membutuhkan dalam negosiasinya.

Pada akhirnya, sandiwara politik yang dipertontonkan dengan gesture melodrama dan seolah-olah serius yang berdampak kehancuran demokrasi dan runtuhnya keadilan di Indonesia itu, hanya sandiwara politik berkenaan dengan perebutan kekuasaan atau saling berbagi kekuasaan. Jika benar ingin memperjuangkan demokrasi dan menegakkan keadilan, harusnya memiliki idiologi dan garis perjuangan yang jelas, tidak cuma retorika alias politik opera sabun.

Perseteruan antara Megawati dengan Jokowi ini setidaknya relevan dengan perkataan Franklin D Roosevelt bahwa "In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way". Meskipun statemen itu diucapkan puluhan tahun yang lalu, tetapi masih relevan dan terjadi lagi dalam sistem demokrasi. Benar adanya bahwa "Dalam politik, tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Jika itu terjadi, bisa dipastikan memang direncanakan seperti itu".

Representasi masa sekarang dalam filosofi Trisula ini, bisa diartikan dengan fenomena perseteruan Megawati dengan Jokowi yang berakhir dengan kondisi "pisah ranjang politik" karena perbedaan strategi pendekatan politik dalam kontek perebutan kekuasaan. Meskipun ada kemungkinan skenario pisah ranjang politik ini sebagai bagian dari strategi politik dua kaki yang sedang dimainkan PDIP. Status Jokowi masih tetap sebagai anggota kader PDIP merupakan kartu truf yang bisa menjadi bukti pembenaran kelak pada masanya.

Mahkamah Konstitusi

Posisi Mahkamah Konstitusi dalam sengketa pemilu Pilpres 2024 sedang dalam situasi tersandra secara politik. Stigmatisasi publik terhadap MK yang tidak lagi independen, diduga berpihak untuk kepentingan Presiden dan Parpol tertentu meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres melalui Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, hingga karena kebetulan Ketua MK ada hubungan keluarga dengan Presiden Jokowi.

Meskipun, hakim punya kebebasan menyesuaikan setiap masalah dalam perkara di pengadilan. Dalam undang-undang, hakim dituntut untuk tidak subjektif. Hakim dalam mengadili suatu perkara harus mencerminkan rasa keadilan masyarakat bukan untuk rasa keadilan bagi dirinya sendiri. Untuk memperoleh suatu kebenaran terhadap suatu peristiwa diperlukan suatu proses kegiatan yang sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional.

Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili perkara yang tidak memiliki dasar hukum atau pengaturan hukumnya jelas. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Serta dalam Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa "hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat". Ketika ada suatu perkara yang kurang jelas, maka hakim mempunyai kewajiban untuk memperjelas dengan menciptakan hukum baru yang seadil-adilnya.

Relevansinya dengan artikel opini Megawati yang ditutup dengan kata "Salam Amicus Curiae" itu, setidaknya sedang berupaya memprovokasi publik untuk secara bersama-sama melakukan kontrol terhadap kinerja hakim MK dengan harapan pesan dalam artikel opininya bisa dijadikan bahan pertimbangan hukum bagi para hakim MK. Bahkan dalam "Amicus Curiae" Megawati tersebut telah menyinggung soal etika Presiden sampai pada puncak evolusi kecurangan Pemilu 2024.

Sedangkan istilah "Amicus Curiae" merupakan konsep hukum yang memungkinkan pihak ketiga, yaitu mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara, memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan dimana hanya sebatas memberikan opini, bukan melakukan perlawanan). Muncul pertanyaan kritis bahwa apakah dalam hal ini secara hukum posisi Megawati merupakan pihak ketiga?

Amicus Curiae atau dapat disebut juga dengan "friends of court" adalah masukan dari individu maupun organisasi yang bukan bertindak sebagai pihak dalam perkara, tetapi menaruh perhatian terhadap suatu kasus. Amicus curiae juga bisa diartikan sebagai pihak yang merasa berkepentingan terhadap sebuah perkara sehingga memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan. Akan tetapi, keterlibatan pihak yang merasa berkepentingan ini hanya sebatas memberikan opini dan bukan melakukan perlawanan ataupun memaksa hakim.

Amicus Curiae memang belum banyak dikenal tetapi telah dipraktikkan dalam sistem peradilan di Indonesia. Amicus Curiae merupakan salah satu unsur dalam sistem peradilan di Indonesia yang belum memiliki bentuk standar, karena belum ada regulasi yang jelas dan spesifik terkait hal tersebut. Dalam sistem peradilan di Indonesia, posisi Amicus Curiae juga tidak dapat dianggap sebagai keterangan saksi maupun saksi ahli, karena Amicus Curiae lebih merupakan partisipasi masyarakat yang pendapatnya diterima dan dapat dipertimbangkan oleh para hakim.

Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi memang sedang diuji kapasitas dan kapabilitas intelektual, independensi yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, obyektif menilai fakta dan keterangan para saksi dan saksi ahli, dan sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional. Sehingga ketukan palu hakim MK akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan sebagaimana yang diharapkan Megawati.

Representasi masa depan dalam filosofi Trisula ini, bisa diartikan dengan fenomena kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi dengan kapasitas dan kapabilitanya mampu membuat putusan atas sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024 secara independen, rasional dan prefesional berdasarkan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Rakyat Indonesia memang sedang menunggu dengan suasana batin harap-harap cemas. Berharap para hakim MK akan mencatatkan dalam sejarah bangsa dengan mengambil keputusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanannya, sehingga tidak membiarkan atau memberi ruang sedikitpun praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan "abuse of power" dalam praktik demokrasi Indonesia di masa-masa mendatang.

Simpulan dalam pertunjukan politik opera sabun inipun, pada akhirnya bisa diprediksi ending ceritanya dengan dua simpulan, yaitu (1) hasil pemilu Pilpres 2024 dinyatakan sah dengan beberapa catatan dan perbaikan untuk penyelenggaraan pemilu Pilpres di masa-masa mendatang, dan (2) Megawati dan PDIP menerima kekalahan sesuai putusan MK dan ingin berkoalisi dengan jatah menteri secara proporsional sebagai pemenang pemilu.

Kompromi Politik Bersyarat

Meski pada akhirnya hakim MK dalam memutuskan perkara sudah memenuhi kriteria (1) mencerminkan rasa keadilan masyarakat (2) obyektif berdasarkan fakta dan keterangan para saksi dan saksi ahli (3) sistematis dengan menggunakan pemikiran yang layak dan rasional, tetapi kemungkinan publik tetap menstigmatisasi tidak independen dan berpihak pada salah satu kubu yang dimenangkan perkaranya.

Hakim Mahkamah Konstitusi diduga menggunakan pertimbangan hukum-politik sebagai landasan pemikiran berbasis rasionalitas dalam putusannya dengan kalkulasi menjaga dan mengantisipasi konsekwensi dampak in-stabilitas keamanan negara dan gejolak perekonomian nasional, yang diprediksi tidak lebih baik situasinya apabila tidak dengan segera menyudahi penanganan sengketa pemilu Pilpres 2024.

Tantangan terbesar bagi bangsa Indonesia yang multidimensi dengan geopolitik sangat menentukan secara global adalah menerapkan dan membumikan nilai-nilai Pancasila sebagai sistem etika. Persoalan bangsa yang sangat laten terkait otoriterisme dalam pemerintahan, korupsi, ketidakadilan ekonomi, disintegrasi bangsa, aksi terorisme, dan ketidakadilan hukum, merupakan pekerjaan rumah yang tidak akan pernah usai.

Sejatinya eksistensi Bangsa-Negara Indonesia telah dititipkan dan ditentukan masa depannya kepada anak kandungnya sendiri. Representasi anak kandung itu bisa bernama Ormas, Serikat, Koperasi, Orsospol, Perusahaan, kelompok masyarakat/paguyuban, organisasi profesi, NGO, Partai Politik dan berbagai lembaga negara yang dibentuk atas perintah Undang-Undang. Seluruh pimpinan dan pengurus organisasi itu, sejatinya telah representasi dari mayoritas rakyat indonesia. Setidaknya memang demikian konsekwensi dari sistem demokrasi.

Keberadaan organisasi anak kandung Bangsa-Negara Indonesia itu, bisa berposisi sebagai sayap politik parpol hingga kepanjangan tangan para politisi anggota/kader Parpol. Sedangkan posisi, tujuan dan fungsi Parpol dalam sistem demokrasi, dibentuk secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-citanya untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Para anggota/kader parpol yang diwakili para politisinya di parlemen (Legislatif) inilah yang melakukan kerjasama dan menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja Presiden dan para pembantunya (Eksekutif). Sedangkan untuk menjaga dan memastikan ketertiban selama penyelenggaraan pemerintahan, keberadaan institusi Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, hingga Pengadilan Negeri (Yudikatif) yang bertugas mengadili apabila ada pelanggaran hukum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Korupsi, mentalitas korup, politik dinasti, budaya feodal, runtuhnya moral dan etik para pimpinan di setiap level, adalah biang keladi yang membuat runtuhnya demokrasi dan keadilan di Indonesia. Oleh karenanya, RUU Perampasan Aset harus didorong dan disyahkan dengan segera, sehingga efek jera bisa berdampak positif secara signifikan. Ketika bicara soal mentalitas, maka persoalan moral dan etika menjadi pekerjaan rumah bagi masing-masing warga bangsa.

Komitmen melakukan solidaritas sosial dalam mensikapi penerapan sanksi sosial bagi para koruptor beserta seluruh keluarga besarnya, harus diberikan sanksi sosial dengan cara pengasingan tanpa rasa belas kasihan. Mentalitas korup dan perbuatan korupsi bagi siapapun, dengan status sosial apapun, di tempat kerja/institusi manapun mereka lakukan, pelaku harus diberikan sanksi pidana dan keluarganya diberi sanksi sosial seberat mungkin.

Modernisasi budaya politik Indonesia yang sangat mendesak terkait soal moral dan etik, soal dinasti politik dan politik dinasti. Basis gerakannya harus dimulai dari rumah, mereformasi sistem pendidikan dasar dan menengah, dan mengkampanyekan gerakan pemberlakuan sanksi sosial yang disertai dengan pemiskinan para pelaku koruptor. Harus diakui, untuk pencapaiannya akan relatif berat, karena pengaruh budaya feodal dan masih dijunjungnya filosofi jawa "mendem jero njunjung dhuwur" sebagai cara pensikapan secara permisif.

Masa satu generasi dengan rentang waktu 30 tahun sejak meletusnya gerakan reformasi 1998, kini tinggal 3 (tlga) tahun lagi. Meski mandat gerakan reformasi telah memenuhi kebutuhan infrastruktur politik (baca: MK, KPK, Ombudsman, Komisioner, Pemilu Pilkada dan Pilpres secara langsung, Penghapusan Dwifungsi ABRI dan Fraksi ABRI di parlemen) untuk menegakkan demokrasi dan keadilan, dengan harapan praktik pemerintahan menjadi lebih baik dan bebas dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Fakta yang terjadi justru lebih tragis, dan hanya satu yang terpenuhi, rakyat bisa dengan leluasa bebas berbicara, berkumpul dan berserikat.

Mahasiswa bersama rakyat melakukan gerakan reformasi dengan tujuan mengakhiri penguasa otoriter rezim Orde Baru yang ditopang dengan kebijakan politik Dwi Fungsi ABRI, juga menginginkan tercapaianya cita-cita sila ke 5 (lima) Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bangsa-Negara yang kaya dengan SDA ini apabila mampu mengelolanya dengan baik dan benar, maka kesejahteraan rakyat bisa terwujud.

Untuk benar-benar bisa terwujudnya praktik keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu, saat ini bangsa-negara Indonesia perlu melakukan gerakan perubahan fundamental dalam tubuh partai politik. Selama partai politik tidak dengan kesadarannya menjalankan fungsinya sesuai mandat yang diamanatkan Undang-Undang, dan selama Parpol masih melakukan praktik transaksasional bagi para calon Bupati/Walikota/Gubernur/anggota Caleg, serta Parpol masih melakukan politik uang kepada rakyat untuk mendukung dan memenangkan kadernya, maka sangat riskan bisa menegakkan demokrasi dan keadilan.

Gestur saling menegasikan antar politisi Parpol yang melibatkan Presiden saat ini, analogi kajiannya bisa menggunakan perspektif sosiologi kebudayaan menurut Barker dalam bukunya yang berjudul Cultural Studies yang menggambarkan prilaku opera sabun. Salah satu karakteristik paling menonjol yang dicontohkan, menjelaskan tentang ketegangan antara konvensi realisme dan melodrama.

Konvensi realisme digambarkan sebagi kondisi di mana sebuah drama dinampakkan sebagai representasi "kejadian seolah-olah nyata benar adanya". Sementara peran melodramanya dimainkan/diambil alih para tokoh yang ditugaskan secara fokus dengan berbagai gestur emosional intelektualnya. Agar suasana opera sabun bisa menyedot perhatian publik secara luas, disiapkan ilustrasi musiknya berupa mobilisasi massa untuk terlibat dan mendukung drama politik yang sedang dimainkannya.

Indonesia memerlukan revolusi dalam bidang politik. Perlu ada perubahan fundamental dalam tubuh partai politik. Partai harus memiliki idiologi dan garis perjuangan yang jelas, tidak cuma retorika alias politik opera sabun. Politik menggoda dan memungkinkan orang untuk merebut kekuasaan, mempertahankan dan memperbesarnya, tak mau lagi melepaskannya, lalu mau tinggal di dalamnya selama mungkin. Apa yang harus diperjuangkan oleh kekuasaan, yakni kepentingan rakyat dan negara, itu semuanya tiba-tiba terlupakan dan lenyap ketika proses politik sedang berada dalam pusaran perebutan kekuasaan.

Salam Demokrasi dan Keadilan Menuju Indonesia Emas 2045

Bahan bacaan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun