Mohon tunggu...
Murni KemalaDewi
Murni KemalaDewi Mohon Tunggu... Novelis - Lazy Writer

Looking for place to write

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Pemberontakan Cinderela (Bab 3)

28 Mei 2019   09:34 Diperbarui: 28 Mei 2019   09:34 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Menahan Air Mata

Ivan sedang mengerjakan sesuatu di laptopnya, sementara pak Harun, yang ada di sampingnya, sedang membacakan jadwal Ivan.

            "...oleh karena itu, Yang Mulia Pangeran, anda diminta untuk menggantikan Tuanku Yang Mulia dalam membuka pameran lukisan ini" jelas Pak Harun.

            "Apa harus?" tanya Ivan tak acuh, tanpa melepaskan pandangannya dari laptop.

            "Maaf, Yang Mulia?" tanya Harun sedikit bingung.

            "Apa harus aku yang datang sendiri?" tanya Ivan, masih asyik dengan kegiatannya. Tak lama ia menatap Harun, "Apa tidak bisa diwakilkan?"

            "Yang Mulia Pangeran, pameran ini diselenggarakan oleh seorang pelukis negara kita yang memiliki reputasi mengagumkan di dunia internasional. Sumbangsihnya dalam mengenalkan budaya negara kita dikancah seni dunia, sudah tidak terhitung. Pameran nanti malam, juga merupakan pameran kelas dunia yang sudah ditunggu-tunggu oleh para pecinta seni. Jadi harapan pihak penyelenggara dan juga pelukis tersebut adalah agar Tuanku Yang Mulia berkenan membuka pameran ini. Tuanku Yang Mulia telah lama menyetujui undangan ini, namun beliau tiba-tiba memiliki keperluan bersama anggota Dewan Kerajaan. Itulah sebabnya beliau tidak bisa hadir" jelas Harun.

            Ivan tersenyum dan kembali melanjutkan kegiatannya semula,

"Dan aku yang terkena getahnya" keluh Ivan tak kentara.

            Harun menatap Ivan dengan ekspresi terkejut,

            "Yang Mulia"

            Ivan menghembuskan nafas,

            "Aku tahu... aku tahu" Ivan tersenyum masam menatap Harun, "Aku hanya merasa acara itu pastilah akan sangat membosankan. Satu-satunya yang menarik hanyalah lukisan-lukisan itu" katanya lagi kembali melanjutkan kegiatannya.

            Harun tersenyum bijak mendengar hal itu.

            Tiba-tiba Ivan kembali menatap Harun penuh harap,

            "Bolehkah aku mengajak Erick?" pintanya.

            Harun tersenyum kecil,

            "Tentu saja boleh, Yang Mulia Pangeran. Tapi kalau menurut pendapat saya, alangkah baiknya, jika yang menemani Yang Mulia Pangeran untuk mengunjungi pameran itu bukanlah seorang laki-laki seperti Tuan Erick. Melainkan seorang gadis"

            "Apa anda saat ini sedang mencoba menjadi mak comblang, Pak Harun?" tanya Ivan curiga.

            Harun menundukan kepalanya penuh hormat,

            "Saya tidak berani, Yang Mulia Pangeran"

            "Lalu maksud perkataan Pak Harun?"

            "Maafkan saya,Yang Mulia Pangeran. Saya hanya menyampaikan pandangan saya. Jika Yang Mulia merasa saya terlalu lancang, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya" kata Pak Harun penuh hormat.

            Ivan tersenyum santai menatap Harun dan menyandarkan punggungnya di kursi,

            "Aku tidak menganggap Pak Harun lancang. Aku hanya merasa ada maksud tersembunyi di balik ucapan tadi. Ada udang di balik batu. Jadi coba katakan padaku, Pak Harun... apa udangnya?"

            Harun tersenyum kecil,

            "Yang Mulia Pangeran sungguh cermat. Sebenarnya,  saya tadi hanya berfikir kalau mungkin lebih baik, jika Yang Mulia Pangeran ditemani 'nona yang meninggalkan sepatunya di lobby' waktu itu. Gadis secantik nona tersebut, akan menjadi pasangan sempurna bagi Yang Mulia Pangeran di acara nanti malam" terang Pak Harun.

            Ivan tertawa kecil,

            "Pak Harun... Pak Harun! Bapak memang banyak akal. Seharusnya Bapak lansung saja menanyakan, apakah aku sudah menemukan gadis itu atau belum"

            Harun tersenyum kecil,

            "Saya tidak berani, Yang Mulia"

            Ivan tersenyum kecil. Ia kembali mengetik di laptopnya,

            "Jika Pak Harun benar-benar penasaran, maka jawabannya adalah... belum. Aku belum menemukan gadis itu" Ivan menatap Harun, "Jika aku berhasil menemukannya, Pak Harun pasti akan ku beri tahu" katanya mengedip jenaka.

            Pak Harun tersenyum kecil,

            "Terima kasih atas kepercayaan, Yang Mulia. Saya akan menunggu dengan sabar"

            Kembali hanya terdengar suara tombol keyboard laptop yang sedang dipencet oleh Ivan. Tak berapa lama, Ivan memijat pangkal hidungnya lelah setengah mendesah.

            "Selesai juga" ucapnya lega.

            Ivan memasukan USB dan tak lama mengeluarkan USB itu kembali setelah menyimpan apa yang sedang dikerjakannya. Ia menyerahkan USB itu pada Harun,

            "Ini adalah saranku terkait pelaksanaan penyelenggaraan Festival Melayu Dunia. Tolong dirapikan dan dibahas sebelum rapat antara panitia dan Dewan Penasehat Acara. Aku akan menyampaikan hal ini di sana" jelas Ivan.

            Harun menerima USB itu penuh hormat.

            "Baik, Yang Mulia"

            "Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam detail penyelenggaraan acara. Terutama mengenai masalah jadwal acara. Aku sudah membaca jadwal acara yang telah disusun oleh panitia. Menurutku terlalu padat. Dari satu jadwal ke jadwal yang lain, tidak ada waktu senggang yang bisa digunakan para peserta untuk beristirahat atau sekedar bersantai. Setiap detik yang ada, benar-benar diperuntukan bagi penyelenggaraan acara. Aku mengerti kalau panitia mencoba menyelenggarakan acara ini seefisien mungkin dan melakukan penekanan biaya, dengan cara mempersingkat waktu acara dari rencana semula 1 minggu menjadi 5 hari. Tapi hal ini akan membuat para tamu menjadi tidak nyaman. Hingga akhirnya tidak bisa menikmati waktu mereka selama berada di negara kita. Alangkah baiknya, jika para tamu diberi kesempatan untuk menikmati keindahan negara kita. Siapa tahu mereka menjadi jatuh cinta akan negara ini dan kembali lagi sebagai wisatawan. Bukankah ini akan mendatangkan pemasukan dalam dunia pariwisata kita" terang Ivan.

            "Saya setuju dengan pendapat, Yang Mulia Pangeran. Saya akan merapikan segera saran yang telah Yang Mulia siapkan ini" kata Harun.

            "Terima kasih Pak Harun"

            Ivan kemudian merenggangkan otot-ototnya ,

            "Ahh... lelah sekali. Apakah aku bisa beristirahat sebentar sebelum pembukaan pameran itu? Atau apakah masih ada hal lain yang harus aku lakukan?" tanya Ivan pada Harun.

            "Tidak, Yang Mulia Pangeran. Tidak ada hal penting yang harus dilakukan. Yang Mulia sebenarnya memiliki jadwal berkuda sore ini, namun hal tersebut dapat ditunda jika Yang Mulia Pangeran merasa lelah. Menurut saya, ada baiknya Yang Mulia Pangeran beristirahat sebelum pembukaan pameran nanti malam" saran Harun.

            Ivan bersandar di kursinya sambil menutup mata dan mengurut pangkal hidungnya dengan ekspresi lelah.

            "Syukurlah! Kalau aku sampai jatuh tertidur pada acara nanti malam, istana bisa malu" katanya tersenyum masam.

            Harun tersenyum sayang menatap Ivan,

            "Sebaiknya saya segera menghubungi Tuan Erick dan meminta beliau untuk bersiap-siap"

            Ivan membuka matanya, menatap Harun dengan wajah heran,

            "Untuk apa?"

            "Bukankah Yang Mulia ingin mengajak Tuan Erick untuk menemani Yang Mulia pada acara nanti malam?" tanya Harun bingung.

            Ivan tersenyum kecil,

            "Aku hanya bercanda. Kalaupun aku ingin mengajak Erick, takutnya ia akan mencekik leherku. Dia paling benci acara-acara ceremonial"

            "Apa Yang Mulia Pangeran juga berpendapat demikian?" tanya Harun tersenyum bijak.

            Ivan terdiam untuk sesaat, sebelum akhirnya ia tersenyum masam,

            "Pendapatku tidak penting. Benci atau tidak, aku harus tetap menjalankannya" Ivan menatap Harun dengan tenang, "Aku menyukai acara pameran seni lukis. Yang tidak aku sukai hanyalah acara ceremonial dan protokoler yang tak habis-habisnya" Ivan mengurut mulutnya,"Terkadang mulutku sampai terasa kejang karena harus terus tersenyum" keluhnya. "Tanpa semua ceremonial itu, aku pikir, aku akan sangat menikmati acara ini"

            Harun menatap Ivan penuh pengertian.

            Tiba-tiba terdengar suara ketukan. Pengawal Ivan tak lama masuk dan memberi hormat. Wajah Pengawalnya terlihat tegang,

            "Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia Pangeran"

            "Ada apa?" tanya Ivan, heran.

            "Yang Mulia, ada kabar buruk. Tuanku Yang Mulia, tiba-tiba saja jatuh pingsan"

Wajah Ivan berubah pucat seketika. Ia langsung berdiri,

            "Dimana beliau sekarang?!" tanyanya.

            "Beliau sedang berada di kediaman beliau, Yang Mulia" jawab Pengawalnya.

            Ivan segera berlari menuju pintu keluar, disusul Harun dan Pengawalnya yang bergegas mengikuti.

@@@

            Ratu sedang duduk di samping tempat tidur raja. Dokter Istana baru saja selesai memeriksa Raja yang terbaring tak bergerak. Ratu menatap dokter dengan wajah pucat,

            "Apakah beliau baik-baik saja?"

            Dokter menundukan kepalanya dengan hormat,

            "Maafkan saya, Puanku Yang Mulia. Kesehatan Tuanku Yang Mulia selama ini memang menunjukan banyak kemajuan. Namun beliau tetap saja tidak boleh terlalu lelah dan harus lebih banyak beristirahat"

            Ratu menghela nafas sedih dan menatap Raja,

            "Berulang kali saya meminta Yang Mulia untuk lebih banyak beristirahat. Tapi Yang Mulia begitu keras hati. Yang Mulia menjadi seperti ini, apa yang bisa saya perbuat?!" isak Ratu.

            Ivan tiba-tiba memasuki kamar Raja diiringi Harun. Ratu menatap Ivan dengan wajah berlinang air mata,

            "Ananda Pangeran...."

            Ivan menatap Ratu dengan wajah pucat. Ia lalu mengalihkan pandangannya pada Raja yang terbaring tenang di atas tempat tidur. Ivan perlahan mendekati tempat tidur. Dokter Istana mundur untuk memberi tempat pada Ivan. Untuk sesaat, Ivan terpaku menatap ayahnya yang terlihat tidur dengan wajah tenang.

            Ivan memalingkan wajahnya menatap dokter,

            " Ayahanda Yang mulia... apa baik-baik saja?" tanyanya.

            Dokter menunduk memberi hormat,

            "Benar, Yang Mulia Pangeran. Tuanku Yang Mulia baik-baik saja. Beliau hanya kelelahan"

            Ivan tersenyum dingin,           

            "Jika benar beliau baik-baik saja, kenapa kejadian seperti ini bisa terjadi?!"

            Dokter terlihat gugup,

            "Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran. Hal ini memang merupakan kelalaian saya"

            "Bagaimana mungkin kau bisa melalaikan hal sepenting kesehatan Yang Mulia!!" bentak Ivan dingin.

            "Saya... saya... sudah berusaha semampu saya, Yang Mulia Pangeran. Tapi Tuanku Yang Mulia, menolak untuk mengikuti saran saya untuk lebih banyak berisitirahat" jawab Dokter Istana gugup.  

            "Berani sekali kau mencari-cari alasan dan mengucapkan kata-kata sampah seperti itu!"

            "Ananda Pangeran, jaga bicara Ananda!" tegur Ratu tajam.

            Ivan memalingkan wajahnya dengan ekspresi pedih,

            "Maafkan Ananda, Ibunda Yang Mulia" bisiknya lirih.

            "Dokter Istana sudah berusaha semampu mereka dan memberikan yang terbaik untuk merawat dan menjaga Tuanku Yang Mulia. Mereka sudah berulang kali mengingatkan Tuanku Yang Mulia untuk lebih banyak berisitirahat dan menyampaikan kalau hal seperti ini dapat saja terjadi tiba-tiba. Namun Yang Mulia begitu keras hati dan menolak semua nasehat yang diberikan padanya" Ratu mulai terisak, "Bila Ananda Pangeran mencari orang untuk disalahkan, maka salahkan saja Ibunda yang tidak bisa menjaga Tuanku Yang Mulia dengan baik"

            Ratu mulai menangis dengan suara pelan. Ivan menatap Ratu dengan wajah sedih. Perlahan ia berjalan mendekati Ratu dan berlutut di hadapan Ratu. Ivan menggenggam tangan Ratu dengan lembut,

            "Maafkan Ananda, Ibunda Yang Mulia. Ananda benar-benar khawatir, hingga akhirnya Ananda salah bicara. Ananda mohon Ibunda Yang Mulia jangan menangis" Ivan menatap Raja, "Jika Ayahanda Yang Mulia mengetahui hal ini, beliau akan memarahi Ananda karena telah membuat Ibunda Yang Mulia bersedih" Ivan kembali menatap Ratu, "Maafkanlah Ananda. Ananda mohon" bisiknya.

            Ratu menatap Ivan dengan ekspresi sayang. Ratu menyentuh wajah Ivan dan terlihat meneteskan air mata,

            "Siapa yang tak akan khawatir, bila melihat orang yang mereka cintai terbaring tak berdaya seperti ini" Ratu mengalihkan pandangannya pada Raja dan menatapnya sendu, "Yang Mulia. Lihatlah kami ibu dan anak yang begitu mengkhawatirkan Yang Mulia. Kenapa Yang Mulia begitu tega membuat kami menjadi seperti ini?!" isak Ratu.

            Ivan memperhatikan ibunya yang menangis, dengan ekspresi terluka. Ia lalu berdiri dan memeluk pundak Ratu,

            "Ibunda Yang Mulia jangan khawatir. Ayahanda Yang Mulia, begitu kuat dan sangat menyayangi kita. Demi kita, beliau tidak akan apa-apa" Ivan menatap Raja dengan wajah pedih, "Ananda berjanji" bisiknya.

            Ratu menangis terisak dalam pelukan Ivan.

@@@

            Aya berjalan dengan wajah lelah menuju rumahnya. Di tengah jalan ia bertemu dengan Pak Kasno.

            "Assalammualaikum, Pak Kasno" sapanya.

            "Waalaikum salam. Baru pulang kerja, Ay?' tanya Pak Kasno ramah.

            "Benar, Pak. Baru saja" jawab Aya.

            "Oo.. pasti kamu sudah capek yaa" kata Pak Kasno.

            Aya tersenyum lemah. Ia menatap Pak Kasno dengan gugup,

            "Ng... itu, Pak. Masalah uang kontrakan. Aya minta maaf, belum bisa bayar sekarang. Aya mohon diberi waktu lagi" bisiknya lirih.

            Pak Kasno tersenyum,

            "Aya jangan khawatir. Pak Maman sudah bayar 2 bulan kok. Jadi tinggal 1 bulan lagi. Yang itu bisa dibayar kapan-kapan"

            "Ayah sudah bayar 2 bulan?" tanya Aya bingung.

            "Iya. Barusan. Bapak kan tadi dari rumah Aya" jawab Pak Kasno.

            Aya hanya bisa melongo sambil mengangguk bingung.

            "Ya sudah ya, Ay. Bapak pamit dulu. Sudah Maghrib soalnya. Assalammualaikum" pamit Pak Kasno.

            "Eh.. iya, Pak. Waalaikum salam" jawab Aya setengah kaget.

            Pak Kasno tersenyum dan berlalu meninggalkan Aya yang hanya bisa terpaku di tempat ia berdiri.

            "Ayah sudah bayar 2 bulan? Uang dari mana?" fikir Aya heran.

            Aya bergegas menuju rumahnya.

@@@

            Pak Maman sedang duduk di meja makan ketika Aya pulang.

            "Assalammualaikum"

            "Waalaikumsalam" jawab Pak Maman.

            Aya mencium tangan Ayahnya dan meletakan tasnya di atas meja makan. Ia duduk di hadapan Ayahnya dengan tatapan curiga,

            "Tadi Aya ketemu ama Pak Kasno. Pak Kasno bilang, kontrakan kita yang tiga bulan, tinggal 1 bulan lagi karena Ayah sudah bayar. Ayah dapat uang dari mana?"

            Pak Maman terkejut. Ia terlihat gugup seketika,

            "Ng..itu.. itu.. dari...."

            "Dari mana, Yah?!" potong Aya.

            Pak Maman menundukan kepala beliau,

            "Ayah... Ayah... pinjam dari Mbak Memey" bisiknya.

            Aya menatap Ayahnya curiga,

            "Bener Ayah pinjam  Mbak Memey?" tanya Aya.

            Pak Maman menganggukan kepalanya dengan cepat sambil menunduk takut-takut.

            Aya menatap Ayahnya untuk sesaat. Akhirnya ia menunduk lelah,

            "Kita sudah banyak berhutang budi pada Mbak Memey. Entah bagaimana membalasnya" bisik Aya.

            Pak Maman menatap Aya yang sedang tertunduk lesu. Wajah Pak Maman terlihat diliputi rasa bersalah,

            "Ayah... Ayah.. mau sholat dulu ya" kata Pak Maman bergegas menuju kamarnya dan menutup pintu.

            Aya menatap pintu kamar Pak Maman dengan wajah bertanya-tanya.

            Di dalam kamarnya, Pak Maman duduk di tepi ranjang dengan badan gemetar ketakutan,

            "Maafkan saya, ya Allah. Ampuni saya. Maafkan Ayah, Aya. Ayah soalnya sudah bohong sama Aya" bisik Pak Maman gemetar ketakutan.

@@@

            Ivan sedang merapikan jasnya di depan cermin ketika terdengar suara ketukan pintu.

            "Masuk" jawab Ivan tanpa melepaskan tatapannya dari cermin.

            Dari pintu, Erick muncul dan masuk mendekati Ivan.

            "Hai, Bro" sapa Erick.

            Ivan tersenyum pada Erick dari cermin,

            "Hallo, Rick. Kenapa wajahmu seperti orang linglung saja?" tanya Ivan santai.

            Erick tersenyum lemah,

            "Kau... baik-baik saja?" tanyanya ragu.

            Ivan tersenyum,

            "Seperti yang kau lihat" jawabnya tak acuh. Ia lalu memutar badannya menatap Erick,  "Aku baik-baik saja"

            Ivan berjalan menuju sebuah meja dan mengambil sebuah hiasan kecil. Ia memasang hiasan itu di jasnya,

            "Apa kau sudah menjenguk Yang Mulia?" tanya Ivan.

            Erick mengangguk lemah. Wajahnya terlihat khawatir,

            "Beliau... kelihatan pucat. Tapi dokter bilang, beliau sudah jauh lebih baik."

            Ivan tersenyum pahit. Ia kemudian menatap Erick dengan ekspresi tenang,

            "Ya. Beliau memang sudah jauh lebih baik"

            Ivan kembali berbalik menuju cermin untuk merapikan penampilannya. Erick menatapnya dengan wajah heran,

            "Kau mau pergi?"

            Ivan mengangguk tak peduli,

            "Mmm. Aku harus membuka sebuah acara pameran lukis bertaraf internasional malam ini. Acaranya jam 8 malam" Ivan menatap jam tangannya, "Sekitar 1 jam lagi"

            Ivan lalu meraih sebuah botol parfum yang ada di meja di samping cermin dan menyemprotkan isi botol itu ke badannya.

            Erick menatapnya tidak suka,

            "Malam ini?! Tapi keadaan Tuanku Yang Mulia sedang tidak sehat. Dan kau malah pergi 'bersenang-senang' di acara seperti itu?! Apa kau tidak bisa membatalkannya? Bro, ini ayahmu. Apa kau tidak sebaiknya berada di sisi beliau dan menjaganya? Apa kau tidak khawatir?"

            Ivan tersenyum anggun menatap Erick,

            "Dokter mengatakan padaku, kalau keadaan Ayahanda Yang Mulia sudah jauh lebih baik. Jadi apa yang perlu aku khawatirkan?" Ivan berjalan ke sebuah meja dan meraih sebuah map dan mengamati isi map itu, "Lagi pula beliau tidak sendiri. Ada Dokter Istana yang akan memantau keadaannya selama 24 jam. Masih ditambah dengan dayang yang ikut menjaga beliau. Tidak akan ada masalah"

            Erick menatap Ivan tajam,

            "Apa begini ucapan seorang anak ketika ayahnya sedang sakit?! Beliau ayahmu, Van! Ayah kandungmu! Singkirkan dulu pikiranmu tentang kedudukannya. Selain seorang Raja, beliau adalah ayahmu. Anak macam apa yang membiarkan ayahnya terbaring sakit dalam keadaan tidak stabil, tanpa menemaninya?! Apa kau tidak bisa merawat beliau sendiri daripada sekedar menyerahkan perawatannya pada orang lain?! Aku tidak menyangka kalau kau bisa sedingin ini" Erick tersenyum sinis, "Atau apa perlu kau menunggu beliau wafat terlebih dahulu, baru menunjukan baktimu sebagai seorang anak?!"

            Ivan mengangkat wajahnya dari map yang sedang diamatinya dan menatap Erick kaku,

            "Hati-hati dengan ucapanmu, Rick. Jangan bicara sembarangan. Walaupun aku sepupumu, tapi aku juga seorang Putra Mahkota. Aku tidak terima jika kau sampai bicara sembarangan tentang keadaan Tuanku Yang Mulia" tegur Ivan dingin.

            Erick balas menatapnya dengan ekspresi yang sama,

            "Lalu kenapa?! Apa anda akan menghukum saya karena hal ini, Yang Mulia Pangeran" Erick tersenyum sinis, "Apa yang saya ucapkan adalah fakta. Mana ada anak yang pergi 'bersenang-senang' sementara ayahnya terbaring tak berdaya di atas tempat tidur dan..."

            Belum selesai Erick menumpahkan kekesalannya, Ivan tiba-tiba saja membanting map yang ada di tangannya ke atas meja dengan keras. Erick terdiam kaget.

            Ivan menatap Erick dengan wajah terluka,

            "Kau piker aku senang dengan situasi ini? Apa menurutmu, aku sedang menikmati 'saat-saat' dimana ayahku... AYAHKU, RICK, sedang terbaring 'sekarat' di atas tempat tidurnya? Berani sekali kau mengira aku dengan senang hati lebih memilih mendatangi sebuah pameran yang 'luar biasa' menyenangkan itu, dari pada mendampingi ayahku yang sedang terbaring seperti sekarang! Jika kau sampai berfikir demikian, maka sia-sia kau mengenalku selama ini" ucap Ivan dingin.

            Ivan lalu memalingkan wajahnya dan kembali meraih map yang tadi dibantingnya. Ia seakan berkosentrasi penuh membaca isi map itu. Erick menatap Ivan penuh penyesalan,

            "Maaf, Bro. Aku memang keterlaluan. Maaf" Erick menundukan kepalanya pilu, " Hanya saja, ketika aku mendengar kabar pingsannya Yang Mulia, aku serasa kembali ke masa kanak-kanakku, ketika Pak Salim mengabarkan kematian kedua orang tuaku" Erick tersenyum pedih, "Tubuhku terasa kaku. Sakit. Sama sakitnya ketika saat itu" Erick menatap Ivan, " Setelah kematian orang tuaku, Yang Mulia sudah ku anggap sebagai ayah kandungku juga. Karena itu aku tidak mau kejadian yang sama terulang lagi. Aku tidak rela merasakan rasa sakit yang sama. Aku tidak mau... kau, juga merasakan rasa sakit yang sama. Sakit yang akan kau kenang seumur hidupmu" bisik Erick lirih. Matanya tampak berair.

            Ivan terdiam. Sementara Erick menundukan kepalanya sambil menyandarkan diri dengan lemah disebuah kursi. Ekspresi Erick terlihat sangat sedih dan penuh duka.

            Ivan perlahan menutup map yang ada di tangannya. Ia tampak melamun,

            "Seandainya..."

            Erick mengangkat kepalanya menatap Ivan.

            "...seandainya aku boleh memilih, Rick, maka aku pasti akan memilih untuk tetap berada di sini menemani Ayahanda Yang Mulia dari pada pergi kemanapun" Ivan menatap Erick sambil tersenyum lemah, "Tapi aku tidak bisa memilih. Kau tahu itukan, Rick. Hidupku... bukan milikku" Ivan tersenyum pilu, "Aku memang seorang pangeran. Semua orang melihat aku memiliki kekuasaan yang sangat besar. Tapi gelar dan kekuasaan itu adalah belenggu bagi kebebasanku. Kebebasanku untuk memilih. Kebebasanku untuk bisa berada di samping orang yang aku sayangi. Bahkan disaat orang itu sedang membutuhkanku. Kau tahu itu kan, Rick" bisiknya lemah.

            Erick mengangguk,

            " Ya. Aku tahu, Bro"

            Ivan tersenyum pedih. Ia memutar badannya membelakangi Erick, berusaha menyembunyikan kesedihannya,

            "Ketika aku lahir, garis hidupku sudah ditakdirkan hanya untuk satu hal, untuk satu tujuan. Melayani negaraku. Saat negara ini membutuhkan perhatian dan juga kehadiranku, saat itu aku harus selalu siap. Walaupun pada saat yang bersamaan, orang yang sangat aku pedulikan terbaring sekarat di atas tempat tidur"

            Erick menatap sedih punggung Ivan, yang tampak kesepian. Ivan tiba-tiba memutar badannya dan tersenyum tenang,

            "Apa boleh buat. Aku terlahir dari seorang wanita yang bergelar Puanku Yang Mulia Permaisuri"

            Erick tersenyum,

            "Apa kau menyesal dengan hal itu?"

            Ivan menggeleng tegas,

            "Tidak. Aku tidak akan pernah menyesal menjadi anak dari ayah dan ibuku, Rick. Mereka orang tua terbaik yang dapat diimpikan oleh anak manapun juga di dunia ini" Ivan kembali menatap map yang ada di tangannya, "Satu-satunya yang ku sesali adalah mendapatkanmu sebagai sepupu" katanya santai.

            Ercik terlihat jengkel,

            "Maafkan hamba, Yang Mulia. Hamba membuat nasib anda begitu sialnya karena memiliki hamba sebagai sepupu anda! Kapanpun Yang Mulia Pangeran memerintahkan, hamba dengan SENANG HATI mengundurkan diri dari kedudukan ini"

            Ivan tertawa kecil sambil tetap memperhatikan isi map itu. Erick ikut tersenyum. Suasana hening sesaat. Erick memperhatikan Ivan dengan seksama,

            "Apa yang akan kau lakukan selama pameran nanti?" tanya Erick.

            Ivan mengangkat kedua bahunya dengan gaya tak peduli,

            "Seperti biasa. Tersenyum, melambai, berjabat tangan, memberikan pujian, sedikit basa basi dan.... tersenyum lagi. Tidak begitu sulit kok."

            "Berusaha terlihat tidak sedang memiliki masalah apapun?" tanya Erick.

            Ivan mengangguk,

            "Bagaimanapun, keadaan Tuanku Yang Mulia harus dirahasiakan terlebih dahulu. Kalau sampai bocor, masalah bisa jadi semakin besar"

            "Tadi Tuanku Yang Mulia pingsan dimana?" tanya Erick.

            "Beliau pingsan saat sedang berdiskusi dengan beberapa anggota Dewan Kerajaan"

            Erick mengangguk-anggukan kepalanya. Ia lalu menatap Ivan dengan ekspresi ingin tahu,

            "Pak Harun sempat mengatakan, kalau dokter meminta Yang Mulia untuk beristirahat total selama 1 minggu ini. Lalu bagaimana dengan tugas-tugas beliau? Apa kau yang akan mengerjakannya?" tanya Erick.

            Ivan melirik ke kanan dan kirinya dengan ekspresi pura-pura bingung,

            "Aku tidak melihat ada seorang pun di sini, selain kau dan aku. Jadi karena diantara kita berdua, hanya aku yang memiliki gelar pangeran, maka aku rasa jawaban untuk pertanyaanmu...adalah iya"

            Erick tersenyum kecil,

            "Sempat-sempatnya kau bercanda dalam keadaan seperti ini"

            Ivan menghela nafas panjang,

            "Yah... mau bagaimana lagi. Sebenarnya aku tadi ingin menangis. Tapi kau tiba-tiba datang dan menggangguku. Terpaksa air mata kusimpan untuk nanti" keluhnya.

            Erick tersenyum,

            "Kalau kau ingin menangis..."

            "...carilah tempat yang sepi" sambung Ivan.

            Erick dan Ivan saling berpandangan sambil tersenyum. Ketika itulah, Harun tiba-tiba masuk dan memberi hormat.

            "Maafkan saya, Yang Mulia Pangeran. Namun saya ingin menyampaikan bahwa mobilnya sudah siap."

            Ivan mengangguk anggun,

            "Aku mengerti, Pak Harun. Aku segera ke sana"

            Harun mengangguk hormat.

            Ivan lalu menatap Erick,

            "Aku harus pergi"

            "Good luck" kata Erick.

            Ivan tersenyum hambar,

            "Aku memang sedang membutuhkannya"

            Ivan berlalu keluar seraya menepuk pelan pundak sepupunya. Harun menunduk hormat pada Erick lalu mengikuti Ivan.

            Saat pintu kamar Ivan tertutup, Erick menatap pintu itu dengan wajah sedih. Perlahan Erick mengalihkan pandangannya pada bola karet yang ada di samping tempat tidur Ivan. Erick mendekati bola itu dan menggenggamnya dengan erat. Ekspresinya terlihat sedih,

            "Ayah, ibu. Aku merindukan kalian" bisiknya pilu.

            Sebutir air mata jatuh mengalir di wajah Erick. Erick tertunduk sedih di tepi tempat tidur Ivan.

@@@

            Ivan sedang berada dalam mobil. Ekspresinya terlihat kaku. Pengawal dan sopirnya saling pandang dalam diam, mengerti perasaan Ivan. Ivan memalingkan wajahnya ke luar jendela. Perlahan ia menurunkan jendela mobilnya. Ekspresi Ivan terlihat sedih diantara remangnya cahaya lampu ibu kota.

@@@

            Aya sedang duduk membaca. Sesekali ia melirik ke arah tas miliknya yang ada di atas meja. Aya lalu menghela nafas panjang dan membuka tasnya. Dari dalam tasnya, Aya mengeluarkan beberapa lembar kertas hasil searching yang ia lakukan di internet milik perpustakaan sekolah. Di kertas itu terdapat judul 'Machiavelli dan politik kerakyatan'. Aya mulai membaca kertas-kertas itu.

@@@

            Ivan baru saja turun dari mobilnya di sebuah gedung. Ia disambut dengan tarian Persembahan dari Minang. Ivan tersenyum ramah sambil melambai. Ia sesekali menjabat tangan orang-orang yang menyambutnya. Ivan memasuki gedung pameran itu diiringi para tamu undangan lain.

@@@

            Di istana, Ratu dengan telaten sedang menjaga Raja. Ratu terlihat mengompres beliau yang tertidur dengan wajah pucat. Dokter Istana memeriksa Raja sambil sesekali berdiskusi dengan Pak Harun. Ratu menatap Raja dengan wajah sedih. Ketika Raja tiba-tiba terbatuk-batuk, Ratu segera mengambil air minum yang terdapat di samping tempat tidur dan membantu Raja untuk minum. Raja kembali terbaring lemah.

@@@

Ivan sedang berada di dalam toilet gedung pameran dan membasuh mukanya. Setelah selesai, Ivan menguatkan genggamannya di sisi wastafel dan menatap cermin. Butiran air membasahi wajah Ivan yang terlihat marah. Setelah menenangkan diri beberapa saat, Ivan menyambar handuk yang ada di sampingnya dan mengeringkan wajah dan kedua tangannya. Ivan kembali menatap cermin dengan ekspresi yang sama. Ivan memijat-mijat mulutnya dengan sebelah tangan. Setelah itu sebuah senyum ramah muncul di wajahnya. Namun tak lama... senyum itu berganti menjadi seulas senyum sinis. Ivan memutar badannya dan melemparkan handuk itu ke keranjang yang ada di atas meja wastafel. Ia membuka pintu toilet dan keluar.

@@@

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun