Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Delek

30 September 2018   12:53 Diperbarui: 30 September 2018   13:49 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***

Aku sangat terheran-heran dengan sistem tersebut. Banyak lulusan yang handal menguasai kitab-kitab yang tergolong tinggi. Namun, namanya ponpes tidak elok jika tidak merasakan kemelasan di balik pendalaman ilmu islam sendiri. Mungkin sudah menjadi kebiasaan pula. Aku harus menelan semua batasan yang menjadi peraturan. Mulai dari batasan bertemu dengan lawan jenis, kehilangan barang, dan makanan yang tergolong biasa. Bisa mewah jika sudah ada sanak saudara yang menjenguk. Itupun harus selalu berbagi sesama teman, baik sekotakan atau lain kotakan.

Mungkin bagi senior itu sudah hal biasa. Tapi untuk diri pribadi masih butuh penyesuaian ekstra. Aku juga harus menahan beberapa kebutuhan fisiologis agar dapat terpenuhi dengan memuaskan hati. Ini terlihat dari peraturan yang diberlakukan oleh ponpes. Perlahan dengan pasti aku-pun bisa melewatinya meski harus sedikit melanggar peraturan yang ada. Itu juga dapat terlewati berkat Dzikin yang selalu siap bekerjasama dalam segala hal. Kami saling membantu dan selalu berbagi setiap persoalan.

Walhasil, setiap rintangan selalu kami hadapi. Tidak ada hal yang kami tutupi meski hanya secuil. Berbeda dengan ke-4 temanku yang lain. Aku cenderung menutupi beberapa persoalan. Ini dikarenakan mereka sudah senior jadi rasa takut untuk terbuka masih terhalang.

Masih aku ingat, saat aku dihukum oleh beberapa ustad karena melanggar peraturan mengirim surat cinta dengan salah satu santriwati. Aku harus menerima hukuman plontosan. Plontosan dalam ponpesku adalah pencukuran rambut hingga gundul. Hukuman itu sering terjadi saat santri ketahuan berhubungan asmara dengan lawan jenis. Kejadian tersebut terbongkar karena Dzikin tidak berhasil mengantarkan suratku kepada Aisah. Dia harus terkenak tamparan dari ustad karena menjadi tim suksesku.

Surat itu juga bukan pertama kalinya. Sudah sekian kali suratku berhasil melayang ke tangan Aisah. Tapi kali ini Dzikin harus ketahuan saat melemparkan surat itu ke area kotakan santriwati. Meski letak kotakan santriwati lumayan jauh, sebagai manusia biasa akan selalu mendapatkan cara. Apalagi ini mengenai cinta.

***

Foto dinding itu menguras memoriku hingga kedasar-dasarnya. Kenangan masa dulu memberikan pil pahit bagi pribadiku sendiri. Aku seperti manusia paling hina. Sebab, persoalan yang hingga saat ini aku simpan rapat demi reputasiku sendiri. Jika suatu saat bertemu dan berkumpul mungkin ke-4 temanku akan menertawaiku dengan Dzikin.

Entahlah, pikiran apa yang dulu aku miliki. Hingga berani melakukan hal yang paling aneh. Mungkin juga itu karena peraturan atau karena rasa ketidaknyamanan sendiri meski aku cukup menerima dengan segenap hati. Tetapi, manusia selalu memikirkan hal-hal yang dapat memuaskan diri. Apalagi, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan utama manusia. Dengan berbagai cara pasti akan dilakuakn untuk memenuhinya.

Aku masih mengingat bagaimana rasa itu bergelora sangat kencang. Seolah-olah aku tak sadarkan diri bahwa yang aku lakukan dengan Dzikin merupakan suatu tindakan konyol. Bagaimana tidak konyol, hubungan delek itu menjadi-jadi. Menguasai semua segenap pikiran batinku. Entah karena perhatian atau kebersamaan yang mungkin saja menjadi latarbelakang utamanya.

Anehnya, aku masih memiliki rasa cinta terhadap Aisah. Meski semua olokan menerka. Tetapi, aku dengan Dzikin selalu menganggapnya hanyalah bualan saja. Toh mereka juga menganggap biasa pula.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun