Mohon tunggu...
Rizki Subbeh
Rizki Subbeh Mohon Tunggu... Guru - SAYA ADALAH SEORANG GURU

Dekonstruksi Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Delek

30 September 2018   12:53 Diperbarui: 30 September 2018   13:49 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari aneh menjadi terbiasa hingga menjadi kebiasaan. Dari idola menjadi jalinan, dari jalinan menjadi korban, dan dari korban menjadi tersangka. Pengetahuan dosa menjadi landasan dan tingkah laku menjadi dasar sehingga dasarlah yang melihatkan dosa atas prilakunya. Aku masih memegang teguh hingga saat ini.

Jalan masih sama. Sekilas berbeda hanya berupa perubahan waktu saja. Mungkin juga, mengenai umur yang kadang melihatkan jenggot atau kumis tebal sebagai simbol perubahan. Entahlah, yang jelas perubahan akan ada dalam masa-masa tertentu. Meski, masa lalu kerap membekali dan memaksa diri untuk menjadikannya sebagai motivasi.

Ku lemparkan pandangan mata ke arah almari yang bersandar rapi di dinding kamarku. Almariku terbuat dari kayu jati. Kebetulan semua interior rumah dari pohon jati yang dianggap sebagai pohon terkuat, termasuk almari. Ada beberapa bagian yang membedakan disetiap bagiannya. Bagian ini juga sebagai penanda bahwa almariku terbagi menjadi 2 ukuran yang sama, dimana pada masing-masing bagiannya berukuran lebar 1 m dan panjang 2 m. Bagian kiri berisi rak gantung pakaian. Dan bagian kanan berisi 4 rak yang dapat difungsikan sesuka hati, tentunya sesuai kebutuhan.

Yang jelas, bagian kiri pasti aku gantungkan semua pakaian yang bagiku penting. Sedangkan bagian kanan aku manfaatkan dengan beberapa benda. Mulai dari karya-karyaku, kitab, foto, dan baju masa kecil yang masih aku simpan rapi.

***

Ada beberapa kaligrafi yang sengaja aku pampang di bagian kanan rak paling atas. Sebab, karyaku tersebut menyebutkan nama Allah dan Nabi Besar Islam Muhammad yang memiliki tempat tersendiri dalam hidupku. Sekalian, itu juga beberapa karya yang pernah aku ikut sertakan lomba dalam ajang gebyar kaligrafi ponpes se-Indonesia. Jadi tidak heran aku menaruhnya di rak bagian atas sendiri.


Rak kedua aku isi dengan beberapa kitab, mulai dari; Al-Qur'an hingga kitab-kitab lain yang berhasil aku hatamkan. Sudah biasa santriwan dan santriwati hatam dengan beberapa kitab. Karena itu semua tidak terlepas dari tangan dingin ustad dan ustdah yang mampu memberikan wawasan agama yang jauh lebih luas.

Kehidupan ponpes memang benar memurnikan suatu keadaan yang terselimuti dengan tameng agama. Ini sudah menjadi hal utama dalam menggeluti pendidikan dalam ponpes. Meski ada beberapa hal yang kerapkali memudarkan tujuan adanya pendidikan pondok pesantren seperti mencuri barang, pacaran, dll. Tetapi, itu semua mampu diredam hingga menjadikannya suatu hal yang biasa terjadi meski terbilang melanggar aturan.

Rak ketiga aku padati dengan foto-foto kenangan bersama teman-teman ponpes. Beberapa album foto menjadi cuilan sejarah. Foto tersebut sebagai buah hasil dari kekeluargaan yang mampu terbangun disela-sela padatnya jadwal kegiatan pondok pesantren.

***

Ada sebagian foto yang aku pajang di dinding kamar. Karena aku menganggap foto itu memiliki kekentalan sejarah jauh melebihi kumpulan foto yang terdapat dalam album. Lima orang yang terdapat dalam foto itu merupakan teman seperjuangan untuk meraih suka cita dan cinta. Kami selalu memiliki hubungan melwati batasan teman. Ini menjadi bukti bahwa ponpes tidak selalu memberikan ruang pendidikan islamiah saja. Melainkan beberapa ikatan yang mampu dibangun untuk bekal terjun ke dunia sebenarnya yaitu masyarakat.

Tetapi, ada satu hal yang selalu menjadi kenangan terbaik serta terburukku selama hidup di kawasan pondok pesantren. Dari kelima teman yang terpajang pada foto dinding itu, aku mengingat salah satu orang. Dia merupakan teman pertamaku di ponpes. Yang selalu menemaniku baik suka dan duka.

Pertemanan kami bermula pada tahun ajaran baru. Dimana sebagai santri baru harus mencari hubungan pertemanan agar perasaan ketidaknyamanan dalam suasana ponpes hilang dengan sendiri. 

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kehidupan ponpes yang penuh dengan kegiatan islamik akan memancing kebosanan. Dari kebosanan akan memunculkan perasaan resah, gelisah, dan menimbulkan perasaan ketidaknyamanan tinggal pada lingkup ponpes.

Jadi tidak heran banyak santri baru yang kemudian mengaburkan diri dari ponpes. Itu semua bisa terjadi karena gagal menjalin hubungan sosial. Meski itu bukan faktor utama tetapi kebanyakan santri mampu bertahan ketika ia mulai menemukan teman yang dapat menjadi keluarga baru. Faktor sosial juga sangat mempengaruhi kelangsungan hidup manusia. Sebab, relasi sosial akan dapat mengubah suatu keadaan yang dianggap tidak nyaman.

***

Semua santri baru akan merasakan ketidaknyamanan. Tetapi aku berhasil mengubah dan menghapus pandangan tersebut dengan menjalin hubungan sosial. Dia adalah Dzikin. Teman seperjuangan yang mampu menutupi semua kegelisahan hidup di area pondok pesantren. Dzikin merupakan santri senior meski statusnya masih baru. Sebab, ia pernah mondok di pesantren yang sama namun berhenti karena tidak kerasan. Kembalinya ia ke ponpes dilatarbelakangi oleh alasan yang membuatnya membulatkan diri untuk menimba ilmu islam. Sebab, ilmu agama akan mengantarkannya kekehidupan yang jauh lebih mapan lagi.

Meski terbilang santri senior tetapi dia tidak memberikan tindakan yang menunjukkan bahwa dia adalah senior. Seperti pada umumnya, pendidikan selalu dipoles dengan status senior dan junior. Jadi sudah hal biasa prilaku "mentang-mentang" yang diperagakan oleh senior terhadap junior. Ia sangat berbeda dengan senior lainnya. Prilaku dan tindakannya sangat bertolak belakang. Itu juga menjadi alasan terkuatku untuk menajdikannya sahabat.

Kebetulan juga, kami sekotak. Dalam ponpes, sekotak dapat diartikan satu kamar. Dalam satu kamar biasanya berisi beberapa orang, tergantung besar dan ukuran kamarnya. Kotakan kami berisikan 6 orang, itu sudah termasuk dengan diriku. 5 orang inilah yang terpajang pada foto dinding kamarku.

Aku dan Dzikin merupakan santri paling baru diantara ke-4 teman kotakan. Sehingga kami paling junior dari strata kelas diniyah awaliyah. Kelas awaliyah harus ditempuh selama 4 tahun. Kelas ini bisa dibilang sebagai kelas awalan untuk menuju ke jenjang diniyah selanjutnya yaitu wustho dan ulya pada pendidikan madrasah diniyah.

Pondok pesantrenku memang tergolong pesantren kecil dalam bidang pelajarannya. Tetapi setiap kekurangan pasti ada kelebihan, termasuk ponpes yang aku tempati. Dimana sistem pendidikan ponpesku termasuk tingkatan rendah (hanya menyediakan pendidikan awaliyah) namun sudah mengkaji beberapa kitab yang tergolong tingkatan diatasnya. Misal, kitab kawakib yang semestinya di pelajari di diniyah wustho, sudah dipelajari di diniyah awaliyah.

Secara umum setiap pondok pesantren memiliki visi dan misi berbeda termasuk kurikulum yang disesuaikan dengan beberapa perhitungan. Yang jelas ponpes yang aku tempati sangat menekankan pada kitab-kitab yang lebih tinggi dari kitab yang sering dipelajari diniyah awaliyah.

***

Aku sangat terheran-heran dengan sistem tersebut. Banyak lulusan yang handal menguasai kitab-kitab yang tergolong tinggi. Namun, namanya ponpes tidak elok jika tidak merasakan kemelasan di balik pendalaman ilmu islam sendiri. Mungkin sudah menjadi kebiasaan pula. Aku harus menelan semua batasan yang menjadi peraturan. Mulai dari batasan bertemu dengan lawan jenis, kehilangan barang, dan makanan yang tergolong biasa. Bisa mewah jika sudah ada sanak saudara yang menjenguk. Itupun harus selalu berbagi sesama teman, baik sekotakan atau lain kotakan.

Mungkin bagi senior itu sudah hal biasa. Tapi untuk diri pribadi masih butuh penyesuaian ekstra. Aku juga harus menahan beberapa kebutuhan fisiologis agar dapat terpenuhi dengan memuaskan hati. Ini terlihat dari peraturan yang diberlakukan oleh ponpes. Perlahan dengan pasti aku-pun bisa melewatinya meski harus sedikit melanggar peraturan yang ada. Itu juga dapat terlewati berkat Dzikin yang selalu siap bekerjasama dalam segala hal. Kami saling membantu dan selalu berbagi setiap persoalan.

Walhasil, setiap rintangan selalu kami hadapi. Tidak ada hal yang kami tutupi meski hanya secuil. Berbeda dengan ke-4 temanku yang lain. Aku cenderung menutupi beberapa persoalan. Ini dikarenakan mereka sudah senior jadi rasa takut untuk terbuka masih terhalang.

Masih aku ingat, saat aku dihukum oleh beberapa ustad karena melanggar peraturan mengirim surat cinta dengan salah satu santriwati. Aku harus menerima hukuman plontosan. Plontosan dalam ponpesku adalah pencukuran rambut hingga gundul. Hukuman itu sering terjadi saat santri ketahuan berhubungan asmara dengan lawan jenis. Kejadian tersebut terbongkar karena Dzikin tidak berhasil mengantarkan suratku kepada Aisah. Dia harus terkenak tamparan dari ustad karena menjadi tim suksesku.

Surat itu juga bukan pertama kalinya. Sudah sekian kali suratku berhasil melayang ke tangan Aisah. Tapi kali ini Dzikin harus ketahuan saat melemparkan surat itu ke area kotakan santriwati. Meski letak kotakan santriwati lumayan jauh, sebagai manusia biasa akan selalu mendapatkan cara. Apalagi ini mengenai cinta.

***

Foto dinding itu menguras memoriku hingga kedasar-dasarnya. Kenangan masa dulu memberikan pil pahit bagi pribadiku sendiri. Aku seperti manusia paling hina. Sebab, persoalan yang hingga saat ini aku simpan rapat demi reputasiku sendiri. Jika suatu saat bertemu dan berkumpul mungkin ke-4 temanku akan menertawaiku dengan Dzikin.

Entahlah, pikiran apa yang dulu aku miliki. Hingga berani melakukan hal yang paling aneh. Mungkin juga itu karena peraturan atau karena rasa ketidaknyamanan sendiri meski aku cukup menerima dengan segenap hati. Tetapi, manusia selalu memikirkan hal-hal yang dapat memuaskan diri. Apalagi, kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan utama manusia. Dengan berbagai cara pasti akan dilakuakn untuk memenuhinya.

Aku masih mengingat bagaimana rasa itu bergelora sangat kencang. Seolah-olah aku tak sadarkan diri bahwa yang aku lakukan dengan Dzikin merupakan suatu tindakan konyol. Bagaimana tidak konyol, hubungan delek itu menjadi-jadi. Menguasai semua segenap pikiran batinku. Entah karena perhatian atau kebersamaan yang mungkin saja menjadi latarbelakang utamanya.

Anehnya, aku masih memiliki rasa cinta terhadap Aisah. Meski semua olokan menerka. Tetapi, aku dengan Dzikin selalu menganggapnya hanyalah bualan saja. Toh mereka juga menganggap biasa pula.

Delek merupakan prilaku yang aneh. Dimana seseorang dapat menyukai sesama jenis namun juga menyukai lawan jenis. Kata delek ini berasal dari bahasa madura yang berarti suka sesama jenis. Dalam berbagai study ilmiah ini merupakan kelainan yang kerapkali terjadi di area pondok pesantren. Same Sex Attrection merupakan rasa ketertarikan seksual kepada sesama jenis, baik secara total (benar-benar tertarik hanya kepada sesama jenis) atau sebagian (masih ada rasa ketertarikan seks terhadap lawan jenis).

Jika mengingat itu semua, kami tergolong kedalam Same Sex Attrection sebagian. Sebab, kami masih memiliki perasaan suka terhadap lawan jenis. Namun meski begitu, aku merasa murka jika mengingatnya. Karena untuk pertama kali aku terjerumus kelubang yang seharusnya aku hindari. Hubungan kami menjadi rahasia umum di mata santriwan. Mereka menganggap biasa dan juga merahasiakannya. Meski terkadang ada yang melaporkan, tetap mereka tidak memiliki bukti yang menjerumuskan. Itu semua seolah-olah menjadi tradisi dalam kehidupan ponpes. Padahal, melihat aturan ponpes dan aturan agama islam sendiri sangat mengharamkan prilaku dan tindakan seperti itu.

Tapi apalah daya, itu sudah menjadi bubur kehidupan ponpes. Banyak yang pernah mengalaminya. Jika aku menelisik lebih dalam dan mengingat cerita Dzikin. Perbuatan itu terjadi karena bermula sebagai korban terlebih dahulu. Kemudian menjadi tersangka karena fenomena itu dianggap sudah biasa atau bumbu ponpes sendiri. Meski aturan dibuat sangat ketat tetap saja delek masih bergulir dengan mulus.

Sebelum hubungan kami berlangsung Dzikin merupakan mantan korban delek pada awal pertama mondok. Dia berhenti karena takut akan keadaan tersebut yag membuatnya tidak kerasan. Namun, dia kembali ke ponpes memang benar-benar ingin memurnikan diri tetapi malah menjadi mata rantai delek pula. Akhirnya, aku-pun terseret ke dalam lingkaran delek.

Mau tidak mau akupun juga merasakan kenyamanan saat bersama dia. Meski, Aisah tetap menjadi pasangan hidupku hingga saat ini. Namun, rahasia ini tidak dapat aku ungkapkan selain santriwan yang mengetahuinya. Aku memenjara diri dalam balutan kesucian islam. Meski mata membuka tapi hati yang berbicara bahwa aku adalah mantan pasangan delek.

***

10 tahun sudah aku melewati masa itu. Kenangan itu akan selalu menjadi tamparan pribadiku. Meski sekarang aku hidup dengan keluarga kecilku, tetap memori delek akan selalu terpendam hingga kedasar pikiranku.

Aku tidak mau mengingatnya, namun sejarah terukir karena cerita dan peristiwa. Kegagalan memurnikan diri dan memperdalam ilmu agama tercoreng dengan prilaku yang menunjukkan dosa. Meski niat terpupuk rapat, tapi ingatlah ada korban yang menyimpan dendam secara sengaja atau tidak sengaja. Itu bisa terjadi karena pemikiran yang terlanjur menganggap biasa hingga menjadi kebiasaan.

Delek, aku bukan mata rantaimu.

Jember, 15 Juni 2018

Penulis Rizki Subbeh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun