Di Sumenep sih sebetulnya terdapat banyak pedagang, pengepul, maupun tengkulak tembakau. Hanya saja, permintaan yang begitu rendah menjadikan pedagang, pengepul, bahkan tengkulak sedikit menahan diri sehingga berton-ton tembakau tak laku dan berujung membusuk selama penyimpanan.
Di satu sisi, petani tembakau Sumenep sedikit beruntung dengan menjamurnya industri rumahan pembuatan bungkus tembakau rajangan. Bahannya terbuat dari daun siwalan.Â
Untuk kebutuhan membungkus seikat tembakau rajang, biaya pengepakan dengan anyaman daun siwalan itu dihargai Rp. 15.000. Bisa dihitunglah jika petani tembakau terpaksa menyimpan tembakau rajangannya akibat tak laku, misalnya saja sebanyak 100 ikat, sudah butuh biaya Rp. 1,5 juta.Â
Bila dari 100 ikat itu 10 persennya tak tahan lama, ya kerugian bertambah lagi. Padahal, laku pun seikat saja belum tentu mampu menutupi kerugian tersebut. Sulit memang mengusahakan komoditas satu ini. Kalau tak kuat iman ya gulung tikar, stress, bunuh diri, atau minimal gila.
Risiko kerugian juga terdeteksi selama pembibitan dan membesarkan tanaman tembakau. Di Sumenep sendiri, beberapa tahun yang lalu, ada program pemerintah setempat berupa subsidi pupuk dan bibit tembakau. Program ini memang sempat menghembuskan "angin segar" pada petani tembakau Sumenep.Â
Mekanisme pencairannya pun terbilang mudah. Dengan membawa semacam kartu tani tembakau berwarna kuning pada petugas, petani dapat mengklaim jatah pupuk dan benih tembakau.Â
Kendati begitu, program itu tak bertahan lama, sedikit demi sedikit petani tembakau mulai berpikir tentang kondisi usahanya yang ternyata terancam gagal.
Dalam praktiknya, petani tidak bisa menjalankan usahanya mengelola tembakau kalau soal pupuk dan benihnya masih dijatah. Menurut mereka, dalam bertani, apabila dalam perjalanannya kekurangan pupuk, maka harus menambah pupuk, jika kurang air, ya harus mencari air, ada semacam effort sebagai langkah antisipasi dalam proses mendewasakan tembakau hingga layak panen.
Pemikiran seperti itulah yang mendorong petani tembakau mengklaim subsidi pupuk dan benih dalam jumlah yang sama, namun di tempat lain. Apalagi, mereka yang punya lahan tembakau lebih dari satu atau dua tempat yang berbeda secara administrasi.Â
Dampak negatifnya program kartu tani menimbulkan masalah baru hingga klimaksnya pemerintah Sumenep meniadakan program subsidi tersebut.
Inilah sebabnya mengapa petani tembakau Sumenep kembang-kempis dan selalu berada di ujung kerugian besar.Â