Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Para Petani di Bukit Ngawian

27 Januari 2020   09:47 Diperbarui: 27 Januari 2020   10:05 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cita rasa kopi pak Gamblang memang unik dan organik, disruput para petani bukit Ngawian, menjadi setia sebagai pelanggan, selama lima dekade terakhir, bahkan cita rasa kopi tersebut sudah viral di banyak dusun sekitar bukit sebelum geger petani diciduk militer dan partikelir, tak pulang.

Sambil minum kopi para petani mengobrol tentang ajakan seorang warga untuk ikut berinvestasi, di kerajaan baru yang didirikan pak Bimo, diklaim melanjutkan kerajaan Kolang-Kaling berkuasa di 10 bukit sejak abad ke-8. Kerajaan Kolang-Kaling memang tidak pernah masuk buku sejarah, hanya sastra lisan turun temurun masyarakat bukit Ngawian dan sekitarnya.

"Keraton Kolang-Kaling dibangun lagi di bukit ini, mau pada ikut gabung?" tanya pak Gamblang kepada petani yang asyik dengan macam-macam gorengan anget.

"Ora kuat bayar pak.., tiap hari bisa makan sudah cukup, biar yang ikut para pensiunan pegawai." Pak Gito menjawab dengan suara tak jelas karena sedang mengunyah bakwan.

Pak Bimo memang berperawakan tinggi dan berkulit cerah, berpendidikan S2. Datang dari kota yang tidak jauh dari bukit, pak Bimo awalnya bekerja pada perusahaan kosmetik Korea. Lelah karena displin dan tekanan pekerjaan terlalu tinggi, pak Bimo memutuskan mengundurkan diri dan datang ke bukit mencari peruntungan lainnya. 

Beberapa warga bukit Ngawian yakin bahwa pak Bimo adalah keturunan dari raja Kolang-Kaling terakhir yang mengasingkan diri ke hutan setelah diserang oleh kerajaan Terong Lonyot. Keyakinan itu dibuktikan dengan kumpulan lontar-lontar dan prasasti beraksara yang ditunjukkan kepada warga desa, namun hanya bisa dibaca oleh dua tiga sesepuh bukit itu. Sesepuh membaca dengan terbata-bata bahwa raja Kolang-Kaling terakhir selamat dari serangan patih Terong Lonyot dan mengembara. Tertulis jelas dari silsilah di atas lontar bahwa pak Bimo adalah keturunan raja terakhir.

Pak Bimo mulai membangun kerajaannya dari batu merah, lengkap dengan pendopo dari kayu jati, kolam pemandian beserta pancuran dan air terjun buatan, gapura serta arca dwarapala. Hampir semua furnitur dalam keraton dibuat dari kayu jati, diukir dengan teliti. Demi mensukseskan rencananya, pak Bimo mulai mencari pengikut, menggalang dana, menawarkan kepada para warga bukit untuk masuk di jajaran pemerintahannya. Posisi yang ditawarkan beragam, patih, menteri, dan pasukan tergantung berapa jumlah uang yang disetor. Para pengikutnya dijanjikan akan diberikan gaji serta bonus dari harta karun yang masih tersimpan.

Tidak banyak petani yang sanggup membayar jumlah minimal investasi, maka niat bergabung ke kerajaan Kolang-Kaling urung dilakukan. Kebanyakan anggotanya saat ini adalah para pensiunan PNS yang tidak tahu bagaimana menginvestasikan uang pensiunan yang diterimanya rutin. 

Sebagian pensiunan yang tidak punya cukup uang terpaksa meminjam uang di bank dengan berbagai macam jaminan. Tidak seperti PNS, para petani hanya mendapat uang setiap masa panen, yang seringkali harganya dipermainkan oleh para tengkulak. Sudah tentu para petani tidak punya cukup uang untuk bergabung ke kerajaan baru itu. 

Para pensiunan yang sebelumnya berseragam rapi pergi ke kantor pagi pulang sore saat ini harus rela melepaskan segaram kebesaran, duduk dan berjalan-jalan di kampung dengan gelisah. Mereka juga tidak mau bertani karena sebelumnya mereka tidak pernah mencangkul di bawah terik matahari. Kebanyakan dari mereka bekerja di ruangan ber-AC dan duduk seharian sambil mengemil beraneka macam gorengan dan teh manis. Tidak sedikit dari mereka yang terserang diabetes atau jantung di akhir umur 40an dan tidak sedikit dari teman-temannya yang meninggal.

Kerajaan Kolang-Kaling memberikan angin segar bagi para pensiunan bukit Ngawian, berseragam khas, berpangkat sesuai nilai investasi, dan berkirab rutin setiap Sabtu wage. Warga desa berbondong-bondong menyaksikan pawai kirab yang didahului oleh pasukan kerajaan, membawa tombak dan keris, terasa nyata di pikiran para warga, seperti serial Anglingdarma di televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun