Mohon tunggu...
Yuniarto Hendy
Yuniarto Hendy Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis Lepas di China Report ASEAN

Youtube: Hendy Yuniarto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Para Petani di Bukit Ngawian

27 Januari 2020   09:47 Diperbarui: 27 Januari 2020   10:05 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di satu sore, rutin, dan warung kopi pak Gamblang dikerumuni para petani yang pulang dari sawah. Lelah seharian mencangkul, membersihkan rumput, menyemprot, dan mengairi. 

Memasuki musim panen, ritual syukur kepada Dewi Sri mulai disiapkan para petani. Apem, kembang setaman, dan air tape ketan ditata apik di tampah. Namun uba rampe kurang lengkap tanpa getah kemenyan. 

Pak Arisman, pemilik 3 petak sawah merasa kesulitan mencari karena sudah beberapa tahun memang getah kemenyan tidak dijual lagi di daerahnya, di bukit Ngawian. Ternyata getah kemenyan yang dibawa ke pasar Pahing selalu ditolak oleh Muljono sarjana ekonomi, anak pak Dukuh karena dianggapnya sebagai perantara untuk mengundang jim, syirik katanya. 

Para penjual pasar dan warga diimbau untuk tidak lagi jual getah tersebut. Para sesepuh desa yang biasa menaburkan getah kemenyan ke rokok lintingannya hanya bisa nrima ala orang desa, manut dengan pemuda yang 4 tahun keluar desa untuk menimba ilmu di kota, sejauh 2 jam naik motor. 

Setelah Muljono lulus dari jurusan ekonomi, ternyata tidak mudah untuk mencari pekerjaan, tidak seperti yang dibayangkan Mulyono dan warga desa. Pernah diterima di bank sebagai teller namun resign karena diangganya tidak syariah, itu yang dia pahami dari salah satu organisasi di kampusnya. Selain kuliah 16 sks per semester, Muljono memang aktif di organisasi, tidak jarang juga ikut demo. Muljono akhirnya pulang ke desa dan berjualan madu hutan bukit Ngawian milik pak Jenggot.

Para petani pulang dari sawah bawa cangkul, sabit, ani-ani, caping, dan rantang, mampir ke warung pak Gamblang. Dibasuhnya kaki penuh lumpur, duduk di kursi bambu. Tidak lupa ritual melinting rokok, dari tembakau bawah bukit Ngawian, cengkeh dari pak Sugi, dan kertas rokok dari toko Tionghoa pasar Pahing.

"Kelembak menyan apa juga sulit sekarang?" tanya pak Gito.

"Pokoknya segala yang bernama menyan sekarang tidak dijual di pasar Pahing," sahut pak Arisman."

"Kok rasanya kurang lengkap ngrokok tanpa kelembak menyan, kurang wangi."

Pak Gamblang dengan cekatan meraih gelas dan menuangkan teko kopinya penuh ke gelas bermotif bunga. Kopi pak Gamblang, robusta, dipetik dari kebunnya sendiri di sisi timur bukit. Kebun kopinya diurus turun-temurun, dari sang kakek karena kebijakan tanam kopi Belanda saat itu. 

Pak Gamblang tahu betul bagaimana cara menghasilkan biji kopi yang baik, juga menyeduh kopi. Air yang direbus di tekonya, berbahan bakar arang buatan pak Suji. Tidak lupa gula batu dari pabrik gula bawah bukit beserta berhektar-hektar ladang tebu peninggalan Belanda. 

Cita rasa kopi pak Gamblang memang unik dan organik, disruput para petani bukit Ngawian, menjadi setia sebagai pelanggan, selama lima dekade terakhir, bahkan cita rasa kopi tersebut sudah viral di banyak dusun sekitar bukit sebelum geger petani diciduk militer dan partikelir, tak pulang.

Sambil minum kopi para petani mengobrol tentang ajakan seorang warga untuk ikut berinvestasi, di kerajaan baru yang didirikan pak Bimo, diklaim melanjutkan kerajaan Kolang-Kaling berkuasa di 10 bukit sejak abad ke-8. Kerajaan Kolang-Kaling memang tidak pernah masuk buku sejarah, hanya sastra lisan turun temurun masyarakat bukit Ngawian dan sekitarnya.

"Keraton Kolang-Kaling dibangun lagi di bukit ini, mau pada ikut gabung?" tanya pak Gamblang kepada petani yang asyik dengan macam-macam gorengan anget.

"Ora kuat bayar pak.., tiap hari bisa makan sudah cukup, biar yang ikut para pensiunan pegawai." Pak Gito menjawab dengan suara tak jelas karena sedang mengunyah bakwan.

Pak Bimo memang berperawakan tinggi dan berkulit cerah, berpendidikan S2. Datang dari kota yang tidak jauh dari bukit, pak Bimo awalnya bekerja pada perusahaan kosmetik Korea. Lelah karena displin dan tekanan pekerjaan terlalu tinggi, pak Bimo memutuskan mengundurkan diri dan datang ke bukit mencari peruntungan lainnya. 

Beberapa warga bukit Ngawian yakin bahwa pak Bimo adalah keturunan dari raja Kolang-Kaling terakhir yang mengasingkan diri ke hutan setelah diserang oleh kerajaan Terong Lonyot. Keyakinan itu dibuktikan dengan kumpulan lontar-lontar dan prasasti beraksara yang ditunjukkan kepada warga desa, namun hanya bisa dibaca oleh dua tiga sesepuh bukit itu. Sesepuh membaca dengan terbata-bata bahwa raja Kolang-Kaling terakhir selamat dari serangan patih Terong Lonyot dan mengembara. Tertulis jelas dari silsilah di atas lontar bahwa pak Bimo adalah keturunan raja terakhir.

Pak Bimo mulai membangun kerajaannya dari batu merah, lengkap dengan pendopo dari kayu jati, kolam pemandian beserta pancuran dan air terjun buatan, gapura serta arca dwarapala. Hampir semua furnitur dalam keraton dibuat dari kayu jati, diukir dengan teliti. Demi mensukseskan rencananya, pak Bimo mulai mencari pengikut, menggalang dana, menawarkan kepada para warga bukit untuk masuk di jajaran pemerintahannya. Posisi yang ditawarkan beragam, patih, menteri, dan pasukan tergantung berapa jumlah uang yang disetor. Para pengikutnya dijanjikan akan diberikan gaji serta bonus dari harta karun yang masih tersimpan.

Tidak banyak petani yang sanggup membayar jumlah minimal investasi, maka niat bergabung ke kerajaan Kolang-Kaling urung dilakukan. Kebanyakan anggotanya saat ini adalah para pensiunan PNS yang tidak tahu bagaimana menginvestasikan uang pensiunan yang diterimanya rutin. 

Sebagian pensiunan yang tidak punya cukup uang terpaksa meminjam uang di bank dengan berbagai macam jaminan. Tidak seperti PNS, para petani hanya mendapat uang setiap masa panen, yang seringkali harganya dipermainkan oleh para tengkulak. Sudah tentu para petani tidak punya cukup uang untuk bergabung ke kerajaan baru itu. 

Para pensiunan yang sebelumnya berseragam rapi pergi ke kantor pagi pulang sore saat ini harus rela melepaskan segaram kebesaran, duduk dan berjalan-jalan di kampung dengan gelisah. Mereka juga tidak mau bertani karena sebelumnya mereka tidak pernah mencangkul di bawah terik matahari. Kebanyakan dari mereka bekerja di ruangan ber-AC dan duduk seharian sambil mengemil beraneka macam gorengan dan teh manis. Tidak sedikit dari mereka yang terserang diabetes atau jantung di akhir umur 40an dan tidak sedikit dari teman-temannya yang meninggal.

Kerajaan Kolang-Kaling memberikan angin segar bagi para pensiunan bukit Ngawian, berseragam khas, berpangkat sesuai nilai investasi, dan berkirab rutin setiap Sabtu wage. Warga desa berbondong-bondong menyaksikan pawai kirab yang didahului oleh pasukan kerajaan, membawa tombak dan keris, terasa nyata di pikiran para warga, seperti serial Anglingdarma di televisi.

Kirab dimulai dari gerbang kerajaan menuju ke beberapa petilasan, seperti umbul, tugu tulis, dan gua padas. Umbul adalah tempat raja Kolang-Kaling pertama menerima wangsit untuk mengumpulkan warga dan mendirikan kerajaan. Tugu tulis adalah kumpulan peraturan raja dan peristiwa penting selama masa pemerintahannya, dan gua padas adalah tempat bersamadi para pendeta-pendeta kerajaan. Kirab diiringi dengan tabuh-tabuhan gamelan. 

Selama persinggahaannya, raja dan pengikutnya melakukan ritual dengan membaca mantra-mantra. Kegiatan ini membuat jengkel Muljono. Dia berpikir bagaimana pak Bimo dan para pengikutnya mendapatkan kemenyan dan hio, juga lontar-lontar yang bertuliskan aksara Hanacaraka. 

Muljono mengira bahwa lontar sudah lenyap semenjak penyerangan 6 abad yang lalu. Dan mengapa aksara Hanacaraka muncul juga membuatnya semakin heran, bahkan beberapa pengikutnya aktif berkirim pesan di hape dengan aksara itu. Setelah melakukan ritual di berbagai petilasan, rombongan kirab mulai bubar dan para pengikut pulang ke rumah masing-masing.

Pak Bimo terus mendapat pengikut dan dukungan dari para pensiunan yang rindu akan seragam dan pangkatnya. Kerajaan mulai dipoles dengan beragai macam simbol-simbol khas yang pengikutnya pun tidak tahu apa maknanya. Tentu pak Bimo dengan percaya diri bisa menjelaskan setiap makna simbol bundar, segitiga, kotak, bunga, bulan, dan lain-lainnya.  

Pak Bimo tahu bagaimana meyakinkan para pengikutnya bahwa bukit Ngawian adalah bagian dari kerajaan Kolang-Kaling, dan akan memperluas wilayahnya ke bukit lainnya, mengembalikan kejayaan masa lampau. Pernah pada suatu pisowanan, Pak Bimo mengucap sumpah, seperti sumpah patih 6 abad yang lalu, hendak menyatukan 10 bukit. Tentu saja sumpah itu membuat heboh masyarakat bukit Ngawian dan sekitarnya. Suatu sumpah yang tidak pernah didengar selama berabad-abad.

Sumpah yang menggelegar itu semakin viral karena seorang pensiunan yang merekam dan menyebarkannya lewat grup chat. Grup pensiunan angkatan 54, grup pengajian malam Rabu, grup SMP, SMA, grup alumni universitas, dan grup nocan biduan semua melihat video berdurasi 2 menit itu. Kabar tentang sumpah kerajaan Kolang-Kaling pun merebak seperti virus. 

Berbagai media online dan televisi mengabarkan berita tentang sumpah tersebut. Khawatir dengan sumpah yang akan menjadi kenyataan, masyarakat di 9 bukit pun melaporkannya ke polisi. Pak Gamblang dan para pelanggan warungnya, termasuk pak Arisman, pak Jenggot, dan petani lainnya khawatir melihat televisi menyiarkan berita tentang sumpah pak Bimo, berhari-hari lamanya.

"Lha berita tentang Kolang-Kaling sudah di berbagai saluran televisi, apa ini artinya masyarakat kota merasa aneh dan terganggu?" tanya pak Jenggot.

"Padahal Kolang-Kaling itu sudah ada sejak zaman dulu, dituturkan simbah buyut." Jawab pak Arisman dengan mantap.

"Ya zaman sudah berubah, dulu masyarakat pribumi membentuk klan dan memilih kepala suku, berevolusi jadi kedinasitian, dan berevolusi berbentuk republik." Pak Gamblang mencoba menenangkan para petani dengan jawaban ilmiah karena sering ikut seminar di kota.

Para pengikut kerajaan tentu juga ikut khawatir dan terus menanyakan apakah nantinya akan aman-aman saja. Berita menyebar ke kota, lalu ditertawakan begitu saja oleh masyarakat perkotaan. Mereka menganggap kerajaan di zaman ini sudah kuno, bahkan dianggap udik. Ditanya para pengikutnya, pejabat keraton pun bungkam, menggeleng, tidak tahu jawaban pasti. 

Satu pejabat keraton, Pak Wagito, pensiunan departemen kehutanan menjawab pasti bahwa semua yang menentang keraton Kolang-Kaling adalah musuh dan harus dilawan. Para pengikut agak meragukan pernyataan pak Wagito karena keris dan tombak yang sering dibawa waktu kirab hanya terbuat dari seng, itu pun harus dibelinya dengan harga yang lebih mahal daripada keris buatan empu Giring bawah bukit.

Satu per satu pengikut keraton mulai menagih gaji dan bagian harta karun yang dijanjikan. Selama berbulan-bulan pak Bimo hanya menjanjikan tanpa ada kejelasan kapan para pengikut akan menerima hasil investasinya. Kirab dan ritual yang dilakoninya berkali-kali ternyata tidak menghasilkan uang sepeserpun, melainkan iuran tetap rutin diberikan kepada para petinggi keraton. 

Satu per satu para pengikut mulai curiga dengan pemerintahan kerjaan Kolang-Kaling. Namun karena pak Bimo yang berwibawa dan pandai berpidato, pengikutnya pun tetap solid dan setia. Kirab dan ritual tetap berjalan seperti biasa. Bahkan pak Bimo mulai melakukan kirab dan ritualnya di bukit sebelah, mengklaim bahwa bukit tersebut pernah menjadi wilayah Kolang-Kaling, dibuktikan dengan memberikan lontar-lontar bertuliskan Hanacaraka yang tidak lagi bisa dibaca para warga.

Beberapa warga bukit sebelah percaya dan tertarik menjadi pengikut kerajaan Kolang-Kaling. Namun banyak warga memperingatkan, apalagi banyak berita beredar bahwa kerajaan Kolang-Kaling sudah tidak ada sejak berabad-abad yang lalu. Dalam hitungan beberapa hari saja, pengikut kerajaan di bukit sebelah bertambah dengan pesat, kebanyakan adalah para pensiunan. Kirab dan ritual dilanjutkan ke bukit-bukit berikutnya. 

Tidak lama setelah warga bukit keempat ikut bergabung, pak Bimo diamankan pihak kepolisian. Kepolisian bekerja sama dengan warga bukit meyakinkan para pengikutnya agar meninggalkan kerajaan Kolang-Kaling. Para pengikut tidak bisa berbuat banyak, karena pensiunan, yang diabetes dan kadang-kadang kena serangan jantung mendaddak, mulai menanggalkan seragam kebesarannya dan meninggalkan harapan untuk mendapatkan gaji dan harta karun.

Berita tentang penangkapan pak Bimo menyebar dan mengakhiri kerajaan Kolang-Kaling. Segala properti milik kerajaan disita dan dijadikan barang bukti penipuan. Warga bukit kembali beraktivitas, juga para petani tentu tetap pergi ke ladang dan beristirahat di warung pak Gamblang. Seperti biasa pak Gamblang menyuguhkan kopi robusta kepada para petani yang tetap setia dengan profesinya. Satu sore yang rutin, para petani mendengar berita dari televisi tentang berbagai kerajaan baru yang ditemukan di seluruh negeri.

"Kok malah semakin banyak kerajaan yang muncul di negeri ini, ujung-ujungnya juga meresahkan masyarakat," pak Arisman geleng-geleng sambil memegang bakwan berminyak.

"Lha kan dulu negeri ini penuh kerajaan, menjadi raja, berkuasa di atas tanah dan laut, membawahi ribuan pengikut, tapi selalu, raja rakus dan memeras rakyatnya" sahut pak Gamblang dengan cangkir di tangan kanannya.

"Kita-kita ini memang lebih baik jadi petani saja, walaupun hasilnya tidak seberapa, namun cukup, bahkan jadi penopang pangan masyarakat bukit dan sekitarnya." Pak Jenggot mengajukan usul.

"Ya asalkan sawah kita pertahankan dengan baik, syukur tidak ikut-ikutan jual sawah seperti petani bukit sebelah. Sawahnya 2 hektar dijual murah ke investor, anaknya pengen beli mobil dan kawin, sekarang cuma bisa melongo jadi penonton, beli beras ke kita." Lanjut pak Arisman.

 Modus yang diterapkan hampir sama seperti kerajaan Kolang-Kaling. Sebagian kerajaan menghimpun dana dan dan pemerintahannya secara online. Selain bukit Ngawian, seluruh wilayah telah terkoneksi dengan jaringan tercepat. Anggota yang tertipu tidak hanya pensiunan seperti di bukit Ngawian, melainkan para sarjana-sarjana. 

Mereka yang sudah bekerja maupun masih pengangguran ternyata tergiur investasi dengan pengembalian keuntungan yang besar. Berbekal seminar webinar maupun online, dilengkapi slogan dan yel-yel yang tidak biasa, menyihir orang-orang yang ingin mencapai kekayaan secara instan. Namun tidak bagi para petani yang setia mengolah ladangnya, menunggu panen setiap 3 bulan sekali, serta hidup berkecukupan dari sumber daya alam di bukit. Semua petani mengunggu satu sore yang rutin di warung pak Gamblang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun