Mohon tunggu...
Isson Khairul
Isson Khairul Mohon Tunggu... Jurnalis - Journalist | Video Journalist | Content Creator | Content Research | Corporate Communication | Media Monitoring

Kanal #Fiksi #Puisi #Cerpen saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul-fiction Kanal #Reportase #Feature #Opini saya: http://www.kompasiana.com/issonkhairul dan https://www.kompasiana.com/issonkhairul4358 Profil Profesional saya: https://id.linkedin.com/pub/isson-khairul/6b/288/3b1 Social Media saya: https://www.facebook.com/issonkhairul, https://twitter.com/issonisson, Instagram isson_khairul Silakan kontak saya di: dailyquest.data@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maaf Berulang

20 Juni 2017   03:08 Diperbarui: 20 Juni 2017   04:32 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: isson khairul

Kita selalu mengulang cara yang sama, berulang-ulang. "Bukankah mestinya begitu, Pak?" tanya istriku sambil menyandarkan sapu di dinding. Aku berdiri ke arah jendela, melihat tetangga samping rumah sedang membuka pintu garasi. Mobilnya baru saja dimasukkan. "Ya, berulang dan mengulang boleh saja, tapi kalau pengulangan itu tidak meningkatkan kesadaran, apa gunanya?"  aku balik bertanya, kemudian menghenyakkan diri di kursi tamu.

Istriku tidak menjawab. Ia sibuk mencuci piring di dapur. Aku berpikir sendiri. Beberapa hari lagi, tentu aku dan istriku akan bersalaman serta bermaaf-maafan dengan tetangga sebelah rumah itu. Tiap Lebaran selalu begitu. Aku sebenarnya tidak keberatan melakukannya. Sudah seharusnya kita dengan tetangga menjaga silaturahmi. Namun, aku merasa, mereka tidak menjaga itu. Tiap hari mereka memarkir mobilnya di depan rumahku, seringkali menghalangi pintu pagar untuk masuk rumah.

Aku sih tidak merasa terhina, tapi lama-kelamaan aku merasa yakin bahwa mereka tidak menjaga silaturahmi dengan kami sebagai tetangganya. Pembantunya tiap hari mencuci mobil, yang airnya menggenang di jalan depan rumah kami. Memang jalan yang digunakan untuk memarkir serta mencuci mobil itu bukan milik kami, tapi milik umum. Tapi, tak pernahkah terbersit di hati mereka bahwa hal tersebut telah mengganggu kenyamanan kami?

Sepintas, hal itu nampak sepele. Karena sudah tiap hari dan sudah berlangsung bertahun-tahun, menurut saya itu bukan sepele lagi. Sudah masuk kategori penghinaan. Mentang-mentang mereka punya dua mobil, sementara kami hanya punya satu sepeda motor usang. Karena itukah mereka jadi semena-mena? Karena itukah mereka tidak peduli dengan perasaan kami? Aku memang tidak pernah menegor, apalagi istriku.

Karena perlakuan tersebut, aku sedang berpikir keras, bagaimana caranya agar tidak bersalaman serta bermaaf-maafan pada Lebaran nanti. Percuma. Apa gunanya mengulang bersalaman dari Lebaran ke Lebaran, tapi mereka tidak peduli dengan perasaan kami. Rekan kantorku pernah mengusulkan agar aku meletakkan beberapa pot bunga di tepi jalan di depan rumah, agar mereka tidak lagi memarkir dan mencuci mobil di sana. Aku keberatan dengan usul tersebut.

Usulan itu aku anggap tidak berperasaan. Itu sama saja dengan menabuh genderang perang dengan tetangga sendiri. Efeknya bisa berkepanjangan. Dan, betapa tidak enaknya musuhan dengan tetangga. Itu juga menyalahi, bila kuingat kata-kata khutbah Jumat yang sering menyebut bahwa tetangga adalah saudara terdekat. Kenapa? Karena tetanggalah yang paling duluan tahu tentang kita, dibanding saudara. Bahkan, ada yang menyebut, buruknya silaturahmi dengan tetangga, bisa menghalangi jalan kita masuk surga. Oalaaaaah!

Meski dengan sedikit pertengkaran, akhirnya istriku sepakat untuk tidak salaman dengan tetangga itu pada Lebaran ini. "Aku yo manut, Pak. Kalau memang itu cara terbaik menurut Bapak, aku nurut saja," itu kata-kata terakhir istriku. Maka, pada malam takbiran, kami berkemas. Kami sudah putuskan, Lebaran ini tidak shalat Ied dekat rumah. Kami akan minggat ke rumah adik ipar, rencananya akan tinggal beberapa hari di sana, sampai suasana Lebaran usai. Toh, setelah itu semua akan kembali ke kesibukan masing-masing, hingga lupa bahwa kami dan tetangga itu belum bersalaman, belum bermaaf-maafan. Beres, kan?

Pada subuh di hari Lebaran, kami seperti biasa berjamaah di mushalla dekat rumah. Habis subuh, kami akan tancap gas. Niat sudah bulat. Tekad sudah kuat. Sehabis subuh, sebelum membuka pintu pagar, tetangga sebelah itu menyapa. Ia sedang menghapus embun di kaca mobilnya. Ia mendekat. "Maaf Pak, maaf Bu. Sengaja ini mendahului salaman dan bermaafan sebelum shalat Ied," katanya memulai percakapan, sementara kami sama-sama kaget.

"Mungkin ini Lebaran terakhir kita bertetangga. Bulan depan kami rencana pindah, ditugaskan kantor ke kota lain," lanjutnya dengan suara pelan. Istrinya kemudian muncul, bergabung bersama kami di depan pintu pagar rumahku. Istriku mengajak masuk, tidak enak ngobrol di pinggir jalan. "Tidak usah Bu," sambut istrinya. "Nanti habis shalat Ied, kami sudah berniat berlebaran ke rumah Ibu. Anggap saja ini sebagai salaman dan bermaafan pendahuluan, agar hati kita sama-sama bersih menunaikan shalat Ied nanti," lanjut istrinya lagi.

Aku terperangah, menghenyakkan diri di kursi. Istriku diam saja. Ia nampaknya tidak ingin menyalahkan niatku yang salah itu. Kami sama-sama memandangi dua tas hasil berkemas-kemas tadi. Dari masjid, terdengar takbir berkumandang.

isson khairul --dailyquest.data@gmail.com

Jakarta, 20 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun