Mohon tunggu...
HIPOTESA
HIPOTESA Mohon Tunggu... Ilmuwan - Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA)

Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) Fakultas Ekonomi dan Manajeman (FEM) IPB Unversity

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Diversifikasi Pangan: Solusi Terwujudnya Kemandirian Pangan Berkelanjutan?

13 September 2019   14:30 Diperbarui: 13 September 2019   14:52 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Latar Belakang

"Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi maka malapetaka, oleh karena itu perlu usaha secara besar-besaran, radikal, dan revolusioner -- (Ir.Soekarno)".

Petikan pidato Presiden RI pertama, Ir.Soekarn,  masih sangat relevan dengan dinamika pangan Indonesia saat ini. Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Bagi warga negara, memperoleh pangan sebagai penghidupanmerupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945. Hal tersebut menjadikan pangan memiliki arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu negara.

Melihat perkembangan masyarakat yang kian meningkat, kebutuhan akan ketersediaan pangan yang cukup, aman, dan berkualitas semakin menjadi tuntutan. Ketersediaan pangan yang tidak stabil dapat menimbulkan ketidakstabilan perekonomian dan berbagai gejolak sosial-politik. Kondisi pangan yang kritis bahkan dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan nasional.Pemerintah harus terus melakukan upaya agar Indonesia dapat mewujudkan ketahanan pangan.

Disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, bahwa Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. UU tersebut jugamemperjelas dan memperkuat bahwa pencapaian ketahanan pangan dilakukan dengan mewujudkan kedaulatan pangan (food soveregnity) dengan kemandirian pangan (food resilience) serta keamanan pangan (food safety). 

Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, Kedaulatan Pangan adalah hak bangsa dan negara untuk secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Beras sebagai Makanan Pokok

Di Indonesia, makanan pokok sering diidentikkan dengan beras,meskipun terdapat kearifan pangan lokal, seperti jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT), sagu di Maluku dan Papua, serta ubi jalar di Papua. Pelaksanaan kebijakan penyeragaman konsumsi beras di seluruh tanah air membuat pangan pokok lokal selain beras terabaikan.Konsumsi beras di Indonesia menjadi semakin meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Menurut Andri (2019), pada tahun 1954, komposisi karbohidrat dalam struktur menu makanan pokok menunjukkan proporsi beras hanya 53,5 persen. Sisanya dipenuhi dari ubi kayu 22,6 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen. Kondisi tersebut mulai berubah pada era orde baru. Di akhir tahun 1980, proporsi beras semakin dominan mencapai 81,1 persen, sisanya ubi kayu 10,02 persen dan jagung 7,82 persen. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan pemerintah yangkala itu tengah mewujudkan swasembada pangan.

Rapuhnya Swasembada Beras Orde Baru

Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia pada dekade 1970-an. Pada tahun 1977 Indonesia melakukan impor beras hingga mencapai sepertiga dari beras yang tersedia di pasar internasional (2 juta ton beras). Kondisi pangan nasional berangsur membaik, hingga akhirnya Indonesia meraih swasembada pada 1984 dan diakui oleh Food and Agriculture Organization (FAO). Keberhasilanswasembada pangan di Indonesia pada era Orde Baru membutuhkan persiapan selama 15 tahun (1969 hingga 1984) dan biaya anggaran yang sangat besar.

Penyelenggaraan kebijakan swasembada beras dilaksanakan melakukan penyeragaman komoditas pangan nasional, yakni menggunakan beras. Hal tersebut menyebabkan ketergantungan Indonesia terhadap beras sebagai bahan pangan pokok hingga saat ini sangat tinggi. beras semakin didorong untuk menjadi bahan pangan utama di seluruh Indonesia.Pemerintah kala itu keliru dan terlalu sempit dalam mengartikan ketahananpangan. Sejak swasembada beras berhasil diraih, laju pertumbuhan produksi beras justru cenderung menurun dan semakin tidak stabil, sehingga sejak 1994 Indonesia tidak lagi berswasembada beras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun