Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Monolog Mengumbar Mantera

15 Juni 2017   16:46 Diperbarui: 15 Juni 2017   19:07 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kuharap kamu bisa memahami bahwa aku menduga mereka sudah mengumbar mantera. Kalau kusebut dengan kata “menduga”, kamu pasti memahaminya sebab dugaan bukanlah tuduhan ataupun dakwaan.

Aku menduga saja. Dalam dugaan terkandung kemungkinan-kemungkinan. Bukan keyakinan-keyakinan karena keyakinan tidaklah dapat dibatalkan pada suatu waktu berikutnya. Aku tidak hendak menggiring pikiranmu untuk mengikuti dugaan yang kamu anggap sebagai dakwaan.

Dengan dugaan yang mengandung banyak kemungkinan, aku sengaja memberi peluang untukmu sebagai sebuah umpan pikiran yang menambah, melengkapi, atau malah menyanggah.

Mungkin kamu akan menanyakan perihal mengumbar mantera itu. Baiklah, beri sedikit waktu untuk meruangkan aku mengungkapkannya agar kamu semakin memahami.

Aku percaya, kamu sudah beberapa kali mendengar mantera-mantera itu sejak setahun silam, meski sebenarnya kita masih menghidupkan kepurbaan. Mantera-mantera yang membangkitkan kedengkian dan kebencian dari kuburan-kuburan tidak seharusnya; kebencian dari ular melingkar di dahan pohon pengetahuan.

Bagaimana? Apakah kamu bisa mengingat peristiwa itu?

Ya, ingatlah pada sebutir buah khuldi yang diumpankan ular untuk menancapkan bisanya pada Ibu kita setelah ular itu nyaris bunuh diri karena selalu gagal memancing Bapak. Sejak bisa ular berhasil menancap pada betis Ibu dan bisep Bapak, seketika tercetus mantera-mantera itu. Diteruskan dalam mezbah antara berkenan dan tidak berkenan tetapi singa bertanduk siap menerkam.

Kain dan Habel mengungkapnya pertama kali, dan kubaca berulang kali. Doa Kain yang berjatuhan di batu-batu mezbah menjadi mantera-mantera kutukan. Boleh marah tapi dilarang berbuat dosa. Doa yang gagal tayang menumpuklah dengki menggunung bermagma dosa. Akhirnya Habel menjadi korban persembahan kepada pembinasa. Darah Habel membelit setiap doa dipohonkan dari dasar hati pendengki itu berteriak hingga kini.

Kuharap kamu bisa membedakan antara doa dan mantera, dan aku tidak akan mengguruimu seakan mengajari bebek berenang saja. Yang jelas, sejak itulah keluarga kita saling meluka dan saling membinasakan hingga kini.

Mungkin kamu tertawa ketika kusingkapkan jubah penuh darah bertuliskan mantera-mantera. Mungkin kamu semakin melebarkan mulut dengan bahak yang separau burung gagak ketika kamu anggap Kain dan Habel hanya dongeng pengantar tidur adik-kakak.

Aku tidak tahu apakah sejati tertawamu. Hanya saja setiap suara tawa dan bahakmu kudengar mantera-mantera tumpah ruah. Ah, apakah aku terlalu mengotori pikiranku dengan curiga membabi buta. Entahlah. Apakah memang sebenarnya kamu tanpa sengaja telah merekam mantera purba. Entah juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun