Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang Gagal

25 Oktober 2017   22:02 Diperbarui: 26 Oktober 2017   00:43 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belum satu minggu di Kupang, aku bertemu Abe alias Manuel Alberto Maia. Siapa dia? Dia seorang sutradara muda yang sedang “naik lontar” dengan film dokumenter berjudul Nokas. Apa hebatnya film itu? Kau bisa mencarinya sendiri melalui mesin pencari di internet.

Aku datang ke Kota Kasih ini sudah ketiga kalinya. Dan, aku sama sekali tidak pernah berencana untuk datang ke Kupang. Kedatanganku selalu dikarenakan oleh permintaan Elcid – kawanku se-almamater, cuma beda angkatan dan jurusan. Permintaan pun tidak lain dari suatu pekerjaan yang benar-benar membutuhkan totalitasku, baik perencana, perancang, maupun pelaksana pembangunan.

Setiap datang ke Kupang, khususnya berada di kantor milik Elcid di daerah Kelapa Lima, aku selalu bertemu dengan orang-orang hebat. Pada kedatangan pertama, aku bertemu dengan Fanny Jonathan Poyk binti Gerson Poyk. Siapa Kaka Fanny atau Bapa Gerson Poyk? Ah, kau tidak perlu pura-pura sonde tahu.

Kedatangan kedua, aku berjumpa dengan Mario F. Lawi. Siapa pula Mario? Kalau kau suka puisi, dan mengenal nama-nama penyair muda-berbakat, nah, kau pasti mengetahui nama itu. Juga bertemu dengan Ragil Sukriwul, Dicky Senda, dan seterusnya.  Tidak ketinggalan, aku bertemu dengan Bona Beding, bahkan sekian malam bisa ngobrol dengan si Pemburu Paus Lamalera itu.

Kedatangan ketiga kali ini aku bertemu Abe bersama Ragil Sukriwul. Aku pun berkenalan dengan Abe. Rupanya Abe sering datang ke kantor Elcid, yang sekaligus menjadi tempat kerja dan penginapanku. Dia tipe orang muda yang terkesan biasa-biasa saja, dengan pakaian dan gaya umumnya orang muda merakyat, termasuk tato yang menghiasi sebagian lengannya.

***

Aku selalu merasa heran pada nasibku; sepertinya aku wajib mensyukuri misteri hidupku, yang tanpa rencana bisa bertemu dengan orang-orang hebat. Betapa mujurnya aku yang bukan siapa-siapa ini. Begitu pula bisa bertemu Abe.

Dan, besoknya Abe datang lagi. Bahkan, ternyata nyaris saban hari, terutama pada sore hari. Kalau aku dan rekan-rekan lainnya sedang bercanda sambil menyeruput kopi pada sore hari, lalu dia datang, candaan kami akan semakin menjadi-jadi. Apalagi belum lama ini dia baru pulang dari Jepang karena suatu undangan atas film dokumenternya yang masih terkenal itu.

Banyak ceritanya tentang keseharian selama berada di Negeri Sakura. Katanya, sake tidak senikmat sopi. Kalau di sana, mending minum bir daripada sake, katanya. Seandainya ke Jepang boleh membawa sopi, mungkin, dia akan membawa sederijen sopi, dan orang Jepang bisa beralih menenggak sopi, katanya. Nah, kalau orang-orang Jepang tergila-gila pada sopi, itu jelas peluang untuk ekspor sopi ke sana, kata Abe.

Kami tertawa ngakak. Entah bagaimana kalau Abe kemudian menjadi eksportir sopi. Tapi bagaimana dengan gadis-gadis Jepang, Abe? Kali ini Abe mendadak diam. Mungkin “ada sesuatu” yang tidak ingin dicandakannya.

Kemudian tiba-tiba dia menyanyikan lagu “Nona Kupang” sambil bergoyang khas orang muda NTT. Kami tertawa ngakak lagi. Dilanjut dengan aksinya membuka baju. Eh, apa-apaan, sih, pakai lepas baju begitu? Beta mo mandi, su sore, katanya sambil bergegas ke kamar mandi.

Kami pun bubar. Sebagian besar pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah aku, Arthur, Yadi, dan Ongen di kantor, termasuk Abe yang sedang mandi. Karena di kantor ada tiga kamar mandi, aku dan Yadi memilih untuk mandi juga. Arthur dan Ongen menunggu giliran.

***

Beberapa malam berikutnya aku bisa ngobrol berdua dengan Abe di ruang parkir motor. Dia datang pada saat aku hendak mengambil Koran Kompas di ruang tamu setelah diantar oleh seorang loper koran tadi sore. Kudekati dia di tempat parkir, maka ngobrollah kami.

Dia ingin menggandeng Garin Nugroho untuk mengadakan pelatihan atau workshop mengenai pembuatan film. Rencananya, kegiatan itu akan dilakukan secara rutin, bergilir ke sekolah-sekolah. Selain itu dia juga sedang menggarap sebuah film dokumenter berikutnya. Naskah sudah dibuat, dan sebagian kecil sudah direkamnya melalui gawai saja.

Para pelajar Kota Kupang harus cerdas menggunakan gawai mereka, kata Abe. Agar mereka paham bagaimana menggunakan gawai secara cerdas, sebuah film dokumenter itu sengaja disiapkannya untuk menjadi contoh sederhana.

Aku memuji rencana Abe. Ketika kutanya, apa nanti contoh film dokumenter itu, Abe belum siap menjawab. Masih perlu observasi, Kaka, katanya.

Orang muda kreatif semacam dia memang tidak akan sembarangan membuat film dokumenter. Beberapa kemenangan yang diraihnya di kancah internasional, tentu saja, sudah menjadi batasan tersendiri untuk semakin meningkatkan kreasinya.

Oleh sebab itu, aku pun lebih sering tidak berani mengusik kesibukannya memainkan gawai ketika dia datang dan duduk di dekatku di ruang bersama samping dapur. Ruang bersama memang ruang favoritku karena bisa segera membuat kopi untuk menemaniku mendesain bangunan milik Elcid. Abe pun selalu berada di situ jika datang, dan asyik sendiri memainkan gawainya.

Aku baru berani meladeni jika dia menanyakan apa saja yang aku ketahui. Kaka Elcid dan Ragil pernah cerita, Kaka ini suka menulis dan melukis, kata Abe. Dinding pagar kantor juga hasil lukisan Kaka. Kaka bikin puisi, cerpen, esai, dan kartun. Semuanya sudah abadi dalam buku. Benar ko, sonde?

Aku mengiyakan dengan sedikit bangga. Dengan sedikit bangga pula aku bercerita tentang diriku. Abe mendengarkan sambil sesekali memainkan gawainya. Tidak jarang dia sempatkan diri menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Kebanggaanku naik sedikit lagi. Mungkin sedikit di bawah bintang yang bertaburan sana.

Malam itu aku memang boleh berbangga diri, meski hanya dalam perasaanku. Apalagi, Abe pun berubah menjadi pendengar yang selalu menatapku dengan mata berbinar-binar. O, jelas aku pun semakin leluasa mengeluarkan hal-hal yang pernah kuraih agar dia tidak memandangku sebelah mata hanya karena aku belum pernah meraih penghargaan yang paling membanggakan di kancah internasional.

***

Pada suatu malam aku ngobrol berdua dengan dia. Yadi sedang berduet dengan rekannya di samping kantor melalui ponsel dan smule. Suaranya selalu membahana pada malam yang hening. Arthur sedang menulis kisah perjalanannya di Maumere karena, ya, memang Arthur selalu menulis tentang perjalanannya sekaligus pernah menjuarai lomba menulis bertema backpaking dalam bahasa Inggris. Sementara Ongen sedang belajar bahasa Rusia di kamarnya melalui internet.

Obrolan itu terhenti ketika Arthur datang, dan duduk di antara aku dan Abe. Jenuh, kata Arthur. Aku maklum saja, terutama udara malam yang hangat. Arthur tidak suka menggunakan kipas angin. Kalaupun tidur, Arthur memilih sebagian tubuh tambunnya berada di keramik lantai.

Aku ngobrol dengan Arthur. Abe sudah beralih dengan gawainya. Tubuh menyandar sepenuhnya pada kursi berbahan ban bekas. Suara Yadi masih mendayu-dayu dari samping kantor, dan biasanya menjadi hening menjelang subuh karena bersaing dengan suara ayam jantan berkokok. Ongen tidak kelihatan; terlalu serius belajar bahasa Rusia.

Besok beta mo beking pelatihan di SMP Satu, kata Abe tiba-tiba. Seketika aku dan Arthur menoleh ke arahnya. Katong su siap film dokumenter untuk contohnya, katanya lagi. Sangat sederhana. Judulnya “Orang Gagal”.

Aku dan Arthur segera menanyakan mengenai film dokumenter terbarunya. Abe langsung memberikan gawainya pada Arthur karena Arthur biasa menggunakan gawai juga. Aku, sih, tidak terlalu biasa dengan gawai karena lebih suka menggunakan komputer jinjing.

Gawai Abe sedang menayangkan film dokumenter terbarunya itu. Suaranya tidak terlalu nyaring karena kami tidak mau mengusik keasyikan Yadi yang sedang berduet dengan rekan di smule-nya.

Di layar itu tampak seorang pria dengan rambut agak botak di jidat. Lalu tokoh itu bertemu dengan seorang kawan lama, dan kawan lamanya menyebut nama : Oji. Lalu ceritanya…

Aku terkejut, dan tidak lupa memaki Abe. Sialan, lu beking film “Orang Gagal” itu ternyata aku, ya?!

Abe dan Arthur tertawa terpingkal-pingkal hingga Abe nyaris terjungkal dari kursinya.

*******

Kelapa Lima, Kupang, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun