Mohon tunggu...
Gus Noy
Gus Noy Mohon Tunggu... Administrasi - Penganggur

Warga Balikpapan, Kaltim sejak 2009, asalnya Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka, Babel, dan belasan tahun tinggal di Yogyakarta (Pengok/Langensari, dan Babarsari).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang Gagal

25 Oktober 2017   22:02 Diperbarui: 26 Oktober 2017   00:43 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami pun bubar. Sebagian besar pulang ke rumah masing-masing. Tinggallah aku, Arthur, Yadi, dan Ongen di kantor, termasuk Abe yang sedang mandi. Karena di kantor ada tiga kamar mandi, aku dan Yadi memilih untuk mandi juga. Arthur dan Ongen menunggu giliran.

***

Beberapa malam berikutnya aku bisa ngobrol berdua dengan Abe di ruang parkir motor. Dia datang pada saat aku hendak mengambil Koran Kompas di ruang tamu setelah diantar oleh seorang loper koran tadi sore. Kudekati dia di tempat parkir, maka ngobrollah kami.

Dia ingin menggandeng Garin Nugroho untuk mengadakan pelatihan atau workshop mengenai pembuatan film. Rencananya, kegiatan itu akan dilakukan secara rutin, bergilir ke sekolah-sekolah. Selain itu dia juga sedang menggarap sebuah film dokumenter berikutnya. Naskah sudah dibuat, dan sebagian kecil sudah direkamnya melalui gawai saja.

Para pelajar Kota Kupang harus cerdas menggunakan gawai mereka, kata Abe. Agar mereka paham bagaimana menggunakan gawai secara cerdas, sebuah film dokumenter itu sengaja disiapkannya untuk menjadi contoh sederhana.

Aku memuji rencana Abe. Ketika kutanya, apa nanti contoh film dokumenter itu, Abe belum siap menjawab. Masih perlu observasi, Kaka, katanya.

Orang muda kreatif semacam dia memang tidak akan sembarangan membuat film dokumenter. Beberapa kemenangan yang diraihnya di kancah internasional, tentu saja, sudah menjadi batasan tersendiri untuk semakin meningkatkan kreasinya.

Oleh sebab itu, aku pun lebih sering tidak berani mengusik kesibukannya memainkan gawai ketika dia datang dan duduk di dekatku di ruang bersama samping dapur. Ruang bersama memang ruang favoritku karena bisa segera membuat kopi untuk menemaniku mendesain bangunan milik Elcid. Abe pun selalu berada di situ jika datang, dan asyik sendiri memainkan gawainya.

Aku baru berani meladeni jika dia menanyakan apa saja yang aku ketahui. Kaka Elcid dan Ragil pernah cerita, Kaka ini suka menulis dan melukis, kata Abe. Dinding pagar kantor juga hasil lukisan Kaka. Kaka bikin puisi, cerpen, esai, dan kartun. Semuanya sudah abadi dalam buku. Benar ko, sonde?

Aku mengiyakan dengan sedikit bangga. Dengan sedikit bangga pula aku bercerita tentang diriku. Abe mendengarkan sambil sesekali memainkan gawainya. Tidak jarang dia sempatkan diri menyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Kebanggaanku naik sedikit lagi. Mungkin sedikit di bawah bintang yang bertaburan sana.

Malam itu aku memang boleh berbangga diri, meski hanya dalam perasaanku. Apalagi, Abe pun berubah menjadi pendengar yang selalu menatapku dengan mata berbinar-binar. O, jelas aku pun semakin leluasa mengeluarkan hal-hal yang pernah kuraih agar dia tidak memandangku sebelah mata hanya karena aku belum pernah meraih penghargaan yang paling membanggakan di kancah internasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun