Ada yang tidak pernah bisa kulupakan hingga kini, yakni saat-saat indah mendengar dongeng Ibu. Dongeng sederhana yang berkisah tentang kehidupan para nabi dan kerabatnya. Dongeng yang selalu dituturkan oleh Ibu setiap malam menjelang kami tidur.
Kuakui, Ibu memang sangat piawai bercerita. Ia mampu mengaduk-aduk emosi kami. Dari tutur katanya yang lembut, Ibu mampu menggiring kami---ketiga anaknya, terhanyut. Tak jarang kami ikut meneteskan air mata mana kala Ibu bercerita tentang kesedihan. Atau melepas gelak tawa penuh derai saat mendengar kisah-kisah yang lucu dan menyenangkan.
Ya, dengan dongeng-dongengnya Ibu membawa kami melupakan sejenak, alangkah susahnya kehidupan kami saat itu. Demi mengalihkan perut yang lapar, Ibu mesti menyiapkan banyak dongeng agar kami terslimurkan.
Padaku, anak perempuannya yang paling tua, Ibu tak bosan bercerita tentang kehidupan Fathimatuz Zahra, putri kesayangan Rasulullah. Sepertinya Ibu ingin aku mengambil hikmah dari kisah perempuan kesayangan itu.
“Fathimah adalah perempuan yang tangguh. Ia seorang istri sekaligus Ibu yang luar biasa. Ia tidak pernah mengeluh meski pekerjaan rumah tangganya sangat berat. Ia mesti menggiling tepung sendiri untuk bahan makanan suami dan anak-anaknya.” Ibu menatapku sejenak. Lalu melanjutkan ceritanya.
“Sebenarnya jika Fathimah mau, suaminya Sayyidina Ali bisa saja mencarikan seorang budak atau pembantu agar bisa meringankan pekerjaannya. Tapi Fathimah menolak. Kau tahu kenapa, Nduk?” kembali Ibu menatapku. Aku menggeleng.
“Sebab Rasulullah telah mengatakan pada putrinya itu, seorang istri atau seorang Ibu yang mau berlelah-lelah demi keluarganya, sesungguhnya ia telah menyegerakan kepahitan dunia di atas kemanisan akhirat.”
Aku terdiam. Ibu menyentuh kepalaku.
“Seorang istri atau Ibu yang mencucikan pakaian suami dan anak-anaknya, Allah sesunguhnya telah mencatat pahala baginya serupa ia memberi makanan kepada seribu orang yang kelaparan. Juga pahala serupa ia memberi pakaian kepada seribu orang yang bertelanjang. Subhanallah, begitu tinggi Allah memuliakan perempuan."
Sedang kepada kedua adik laki-lakiku, Ibu sering mengisahkan tentang hikayat tiga bersaudara yang hidup di zaman Nabi Khidir.
“Alkisah, tinggalah tiga bersaudara yang hidupnya sangat miskin. Mereka yatim piatu. Tapi meski begitu ketiganya hidup sangat rukun. Tidak pernah bertengkar. Saling menyayangi.” Berkata begitu tangan Ibu merengkuh kedua kepala adikku. Lalu mencium kening mereka bergantian.