Mohon tunggu...
Lilik Fatimah Azzahra
Lilik Fatimah Azzahra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seorang ibu yang suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Seblak Maut Tari Remo

26 September 2017   18:29 Diperbarui: 26 September 2017   18:33 3740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Tari Remo ( Remo Dance)- Indonesia / www.nusantara-cultures.blogspot.com

Dalam balutan busana tari lengkap, juga kencringdi pergelangan kaki kanannya, Yudi siap tampil di atas panggung. Alis menjangan ranggah, perona pipi merah menyala dan celak hitam di bawah mata mempertegas riasannya malam itu.

Penonton berjubel saling dorong di bawah panggung, tidak sabar menunggu. Mereka ingin segera melihat Yudi tampil membawakan tari Remo, tari tradisional dari Jawa Timur itu.

Yudi tersenyum. Dengan tenang kakinya melangkah menaiki anak tangga dan berhenti tepat di tengah arena panggung. Usai memberi hormat dengan anggukan kecil kepada penonton, ia berbalik, berdiri membelakangi.

Penonton pun riuh bersuit-suit.

Gamelan mulai ditabuh, mengalun rampak siap mengiringi Yudi sang primadona panggung. Yudi menggerakkan kaki kanannya. Bunyi gemerincing terdengar nyaring saat ia menghentak berulang. Lalu perlahan ia berbalik, menghadap ke arah penonton kembali. Kedua posisi kakinya sigeg---siap memperagakan tarian yang sejak kecil dikuasainya itu.

Ada satu gerakan yang selalu ditunggu-tunggu oleh para penonton. Seblak. Ini gerakan paling favorit dalam seni tari Remo. Penonton sangat menyukainya. Apalagi Yudi begitu mahir memainkannya. Acapkali usai melakukan gerakan seblak, suitan disertai tepuk tangan membahana cukup lama. Membuat dada Yudi muntab, melambung tinggi.

Selalu begitu.    

Yudi sungguh sangat beruntung bisa mewarisi tarian tradisional asli Jawa Timur itu. Kakeknya-lah yang mengajari. Kakek memperkenalkan tari Remo padanya sejak ia masih kanak-kanak. Akung, begitu Yudi memanggil kakeknya, selalu meluangkan waktu untuk menggemblengnya. Menjadikan ia penari seperti halnya dirinya. Dan mereka biasanya berlatih di luar rumah pada siang hari, di bawah pohon ceri yang rindang hingga senja menggelincir datang.

"Berdiri dengan sigeg, Yud!" Akung tak segan memukulkan sebatang penjalin pada kedua lututnya setiap kali ia berdiri dengan posisi kurang sempurna.

"Gerakan dasar tari Remo adalah berdiri dengan posisi kuda-kuda yang benar. Busungkan dada sedikit. Angkat dagumu!" Berulang kali kakek mengatakan hal itu. Pada mulanya Yudi merasa tertekan. Begitu berat latihan yang diberikan oleh kakek. Ia pernah nyaris menyerah. Tapi kakek tidak membiarkannya. Didampingi terus cucunya itu sampai ia benar-benar menguasai tehnik menari dengan benar. Dan usaha lelaki tua itu tidak sia-sia. Yudi sudah bisa berdiri dengan kuda-kuda yang kokoh, melentang kedua tangan sejajar bahu dengan baik.

"Ingat Yud, saat melakukan seblak  jangan lupa pasang mimik sumringah. Sorot mata juga harus hidup. Coba perhatikan Akung!"

Yudi mengangguk, menyimak dengan seksama setiap gerakan yang diperagakan oleh kakeknya. Dari cara kakek berdiri, merentang kedua tangan sampai pada gerak tangan turun ke pinggul, mengungkung. Saat kakek secara tiba-tiba mengibas sampur, Yudi terkesima. Kakek baru saja  melakukan gerak seblak sedemikian menawan dan sangat sempurna.

Sejak itu Yudi semakin ingin terus belajar. Tentu saja kakeknya merasa sangat gembira.

Kini Kakek sudah tiada. Tapi ingatan Yudi tentang lelaki sepuh itu tak akan pernah hilang. Bahkan semakin bertambah manakala ia berada di atas panggung. Ia merasa seolah Kakek berada di sampingnya, menemaninya menari hingga pertunjukan usai.

Yudi mengakhiri tari Remo dengan tangan terbuka dan gedhik kepala ke arah samping. Musik gamelan pun berhenti. Gelang krincing di kakinya pun tak lagi bergemerincing.

Pagelaran tari Remo malam itu berakhir memuaskan. Tepuk tangan masih terdengar riuh saat ia turun dari panggung. Di balik panggung langkahnya terhenti sejenak. Ia harus menyeka peluh yang  berjatuhan, yang meleleh membasahi ujung hidung dan dagunya.

***

"Kau melakukannya lagi dengan bagus, Yud! Seblak maut," Firman, salah satu kru dekorasi panggung menepuk pundaknya. Yudi tidak menyahut. Buru-buru ia masuk ke dalam ruang ganti. Melepas semua atribut menari yang dikenakannya.

"Kita tunggu akan ada peristiwa apa lagi usai kau---" belum juga Firman menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara ribut-ribut di luar. Ada jerit histeris dan entah apa lagi. Yudi gegas meninggalkan ruangan. Ia tak ingin melihat dan mendengar apa yang terjadi.

Ia mempercepat lagkah ingin segera sampai di rumah.

Di sepanjang perjalanan hati pemuda itu tak henti mengeluh, "Akung...sampai kapan seblak  maut ini akan membawa korban? Selalu, setiap kali usai menari, ada saja perempuan yang mati akibat berkelahi menggilaiku, memperebutkan diriku. Seperti yang pernah terjadi pada diri Akung---dulu saat masih menjadi penari Remo sepertiku."

***

Malang, 26 September 2017

Lilik Fatimah Azzahra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun