Mohon tunggu...
Een Nuraeni
Een Nuraeni Mohon Tunggu... Administrasi - pekerja sosial

"Orang yang tidak menulis, tidak punya sejarah"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada Apa dengan Rumput Tetangga?

17 Februari 2020   00:06 Diperbarui: 16 Februari 2020   23:59 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Kita sudah sama-sama paham dan sering mendengar tentang 'rumput tetangga' ini ya. 'Kehidupan' dianalogikan dengan 'Rumput' dan 'Orang lain' dianalogikan sebagai 'Tetangga'. 

Sangat cerdas orang yang pertama kali mencetuskan analogi atau istilah ini, karena sangat sesuai dengan apa yang terjadi dalam kehidupan keseharian, yaitu kita yang sangat sering melihat 'rumput tetangga'(kita? Lo aja...hehe).

Ada pepatah kan yang bilang kalau 'Rumput tetangga terlihat lebih hijau daripada rumput sendiri' yang artinya kehidupan yang dimiliki oleh orang lain, biasanya terlihat lebih indah, lebih baik, lebih sempurna, lebik enak dari pada kehidupan yang kita miliki. Bahkan 'kok tetangga, rumput aja ditata sedemikian rupa dan berbunga ya.'

Kebiasaan kita membandingkan diri dengan kehidupan orang lain, menilai kondisi orang lain lebih baik, sebenarnya lebih banyak dampak  negatif daripada dampak positifnya. 

Selain bisa menghilangkan rasa syukur atas nikmat yang telah Allah beri (kufur nikmat), lebih parahnya lagi dapat menyebabkan seseorang tidak rela dengan takdir nya, menyalahkan Allah atas kehidupannya.

Lalu apa dampak positifnya sehingga kita sangat sering melihat 'rumput tetangga' ini? (Coba kasih tau aku ya... kalau ada manfaatnya).

Tidak ada manusia hidup tanpa ujian. Tidak ada keluarga sempurna yang hidup tanpa kesulitan. Cuma memang berbeda-beda ujiannya, beda-beda respon menghadapi ujian yang dihadapi. Ada yang diuji dengan kesendirian, ada yang diuji dengan keluarganya, istrinya, anaknya, hartanya, pekerjaannya, kesehatannya. Macam-macam dan sangat beragam.

'Kenapa aku kayak gini Ya Allah, padahal aku sudah berusaha taat'....Hmmm, mulai deh. Padahal belum tentu juga 'taat' kita lebih banyak dari 'maksiat dan dosa' yang dilakukan. Jangan terlalu percaya diri. Hihihii

Ada sebuah filosofi jawa yang senada dengan analogi rumput tetanga yaitu sawang sianwang yang artinya saling melihat (kurang lebih begitu artinya..he).

Seseorang cenderung "melihat" atau menganggap kehidupan orang lain lebih baik dan lebih berutung daripada kehidupan yang dijalaninya. Contohnya, seseorang yang belum menikah menganggap kehidupan pernikahan sangat sempurna, dan beranggapan kalau mereka yang sudah menikah sangat bahagia. Anggapan itu tidak dibarengi dengan bayangan ujian dan juga kesulitan yang dialami oleh pasangan yang sudah menikah.

Padahal orang yang sudah menikah juga sering berfikir sebaliknya saat sedang diuji atau lelah.

'Enak ya jadi single, bebas, ga harus ngurus rumah dan anak tiap hari, bisa jalan-jalan dan belanja sesuka hati tanpa harus memikirkan anak-anak' (begitu kira-kira menurut cerita beberapa teman).

Contoh lainnya, saat kita bertemu dengan teman kuliah atau teman sekolah.

 'Wah, sempurna banget ya hidup lo bro.... udah enak sekarang'

'Hebat ya...'.

Melihat seorang sudah punya keluarga, rumah dan kendaraan membuat kita meliat betapa bahagianya hidupnya. Padahal dibalik itu semua pasti banyak ujian dan kesulitan yang dialami.

Saya pernah mengalami hal ini, bahkan sering. Pada saat pertama kali bertemu seorang teman kuliah dulu, minder karena dia sudah terlihat sangat mapan dan sudah berkeluarga. Hati kecil spontan tuh "kok aku gini-gini aja ya", dia enak banget hidupnya. Wkwkwk.... 

Setelah itu, kami mendapat kesempatan ngobrol lebih banyak di pertemuan berikutnya. Ngobrol banyak tentang perjalanan hidupnya, juga apa yang sedang dialaminya saat ini yang dan akhirnya saya bisa memetik banyak sekali hikmah. 

Ternyata 'kesempurnaan kehidupan' hanya bisa dilihat oleh orang lain, sedangkan yang menjalani begitu tertatih untuk tetap bertahan. Dibalik rumah nyaman dan kendaraan yang ditunggai, ada cicilan tiap bulan yang menguras hampir sebagin besar penghasilan bulanan dan harus memutar otak untuk bisa mencukupi kebutuhan lainnya.

Dibalik kebebasan finansial keluarga, ada kerja keras bertahun-tahun, lembur, sampai sering tidak peduli dengan kesehatan. Lelah? Pasti lelah dan kadang ada batas lelah yang sudah sangat memuncak menyebabkan sesorang bisa mengalami depresi. 

Semua dilakukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga, memberikan rumah dan kendaraan yang nyaman, bisa mengajak liburan bahkan keluar negeri, membeli banyak barang yang diinginkan diluar kebutuhan (keinginan). Tidak ada habisnya mengejar dunia.

Apa salah bekerja keras untuk menghidupi keluarga dengan baik? Tentu tidak, hal tersebut merupakan ekspresi cinta seorang ayah kepada keluarganya. Yang salah adalah ketika kita menyandarkan kebahagiaan keluarga pada materi atau dunia. 

Kita pasti lelah. Tidak ada habisnya mengejar dunia. Makanya sangat penting memberi pemahaman ke keluarga tentang hal ini, tetang hakikat kebahagiaan. 

Tentang bedanya kesenangan dan kebahagiaan. Jangan sampai keluarga atau anak-anak hanya bisa 'senang' jika kemauan atau keinginan mereka dipenuhi, hanya bisa 'senang' kalau diajak liburan dan membeli mainan. 

Ajarkan keluarga untuk bisa bahagia dengan hal-hal kecil, seperti kebersamaan dalam keluarga yang tidak semua orang memilikinya. Ajarkan untuk menyukuri apa yang mereka makan dengan benar, bahwa tidak semua orang bisa menikmati lezatnya makan malam bersama-sama. 

Banyak orang lain yang tidak mampu untuk sekedar beli makan. Jangan malah bilang, 'bosen ya makan di rumah terus' atau menanyakan keinginan anak yang sebenarnya malah mengajarkan hal tidak benar.

Beda antara kebahagiaan dan kesenangan itu tipis, tapi sangat jauh berbeda. Kebahagiaan adalah sesuatu yang membuat hati tenang,sedangkan kesenangan adalah sesuatu yang hanya sesaat tapi tidak menimbulkan ketenangan bahkan bisa jadi malah kegelisahan yang didapat.

Contoh kebahagiaan: memiliki keluarga harmonis, tidak memiliki hutang, punya anak soleh solehah, istri/suami baik, sehat, kebutuhan tercukupi. Hal-hal yang bukan material semata dan menimbulkan rasa tenang di hati.

Contoh kesenangan: Belanja, jalan-jalan, makan enak, nonton porno, nongkrong, rumah mewah, mobil mewah. Hal-hal yang 'duniawi' yang biasanya bukan kebutuhan (dorongan nafsu saja) dan tidak akan bertahan lama kesenangannya, malah sering menimbulkan penyesalan dan kegelisahan.

Dunia ini hubungannya dengan kesenangan saja, sedangkan kebahagiaan adalah tentang ketenangan hati. Banyak orang kaya raya terkenal yang malah hidupnya tidak bahagia, diliputi rasa cemas, insomnia, terkena kangker, anak yang nakal, diabet, cerai, selingkuh dan lainnya, padahal hartanya banyak. Beli apa saja mampu, membeli kesenangan dan semua keingiannya dia mampu tapi tidak mampu membeli kebahagiaan (ketenangan).

Bisa jadi mereka yang terlihat miskin hidupnya lebih bahagia. Makan dengan apa saja terasa nikmat, tidur diatas tikar saja pulas, anak-anaknya pandai mengaji dan berprestasi.

Jadi, tidak perlu membandingkah kehidupan kita dengan orang lain. Apalagi mengukur kebahagiaan dengan materi/fisik/wujud yang terlihat. Kebahagiaan adanya di hati, bukan diluar. Yang diluar hanya hiasan saja. Jangan sampai gara-gara sering melihat rumput tetangga, hilang rasa syukur dan ketenangan di hati kita ya.

Coba pikirikan ini: Yang kita lihat kan hanya rumputnya, bukan isi rumahnya.

Wallahu'alam bisawab, Itu mungkin keterbatasan kita, hanya mampu meliat satu sisi dan tidak mampu melihat sisi lainnya.

"Disaat kita tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dan tidak pernah puas dengan apa yang kita dapakan, kita cenderung akan menyakiti (diri sendiri dan) orang lain disekitar kita"- Rumput tetangga'

*Kepikiran nulis setelah nonton film Rumput Tetangga yang menceritakan tentang seorang Ibu rumah tangga yang tidak puas dengan kehidupannya, ingin seperti teman-temannya yang berkarir sampai lupa untuk memaksimalkan perannya sebagai seorang Ibu. Semoga bermanfaat, jika ada yang keliru mohon dikoreksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun