Mohon tunggu...
Eddy Mesakh
Eddy Mesakh Mohon Tunggu... Wiraswasta - WNI cinta damai

Eddy Mesakh. Warga negara Republik Indonesia. Itu sa! Dapat ditemui di http://www.eddymesakh.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Serba Salah soal Beras dan Gula Impor (Ilegal) di Batam

19 September 2015   15:19 Diperbarui: 19 September 2015   17:39 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Beras, tusuk gigi, dan tusuk sate impor yang beredar di Pulau Batam, Kepulauan Riau. (Foto: Eddy Mesakh)"][/caption]

BEBERAPA waktu belakangan ini, nilai tukar rupiah melorot dan berkutat sekitar Rp 14 ribu sekian per dolar AS. Pelemahan rupiah diyakini akibat kita terlalu banyak mengimpor aneka produk dari luar negeri, dimana umumnya bertransaksi menggunakan mata uang Amerika Serikat itu. Dari produk hasil teknologi canggih seperti alat-alat elektronik, kendaraan bermotor, hingga hasil pertanian seperti beras, kedelai, jagung, gula, dan garam. Bahkan tusuk gigi dan tusuk sate berbahan bambu pun kita impor dari Cina. Luar biasa betul ketergantungan bangsa ini terhadap produk impor.

Mengapa harus impor? Pertama, bila sebuah produk sangat dibutuhkan tetapi tidak/belum diproduksi di dalam negeri. Kedua, produk dimaksud telah diproduksi di dalam negeri tetapi tidak/belum mampu memenuhi kebutuhan sehingga sisanya harus dipenuhi dengan memasok dari negara lain. Tetapi, tampaknya keputusan impor kita tak sepenuhnya karena dua alasan logis tersebut. Diduga ada kepentingan lain di balik kebijakan impor, seperti adanya pihak/kelompok tertentu yang memanfaatkan kegiatan impor untuk meraup keuntungan.

Maka jangan heran bila ada kelompok kepentingan tertentu berani membayar mahal kepada oknum penguasa/pengambil kebijakan agar tidak membuat (atau mencabut) peraturan/kebijakan yang bersifat menghambat kegiatan impor produk-produk yang mestinya bisa diproduksi sendiri di dalam negeri, seperti produk pangan. Misalnya kita tidak mengenakan bea masuk terhadap beras impor. Akibatnya beras impor murah meriah dari negara-negara surplus dengan mudah masuk kemudian merusak harga di dalam negeri. Petani pun enggan menanam padi karena tak menarik alias tak menjanjikan kesejahteraan. Pun upaya-upaya yang dilakukan secara sistematis untuk menghambat swasembada pangan. Siapa bermain selama ini? Entahlah!

Dampak dari tingginya ketergantungan terhadap produk impor, apalagi produk pangan (terutama beras), bukan sekadar melemahkan nilai tukar rupiah. Implikasinya bisa sangat luas, bahkan dapat mengganggu stabilitas nasional. Asal tahu, rata-rata konsumsi beras orang Indonesia mencapai 12 kilogram/orang/bulan. Jika dikalikan 200 juta perut saja, kebutuhan beras nasional kita mencapai 2,4 miliar kg/bulan! Silakan dibayangkan bila 50 juta orang saja tak kebagian beras, negeri ini bisa babak belur dibuatnya.

Tak heran ketika masih berkuasa, Presiden Soekarno maupun Soeharto memosisikan beras sebagai komoditas strategis. Tak lucu bila Indonesia yang memiliki lahan luas dan menyebut diri sebagai negara agraris justru didikte negara lain lantaran memenuhi kebutuhan 250 juta perut rakyatnya dari produk pangan impor.

Sayang, setelah kekuasaan Soeharto tumbang dan lima kali berganti presiden, Indonesia semakin bergantung pada pangan impor. Tak hanya produk pangan, seperti disebutkan di atas, tusuk gigi dan tusuk sate pun kita impor dari Cina. Lantaran itu, Presiden Jokowi ngotot Indonesia harus lepas dari ketergantungan impor bahan pangan. “Kita negara agraris, tapi faktanya semua impor. Mulai dari beras, gula, kedelai, jagung, dan lainnya. Apa lagi yang kita tak impor sekarang ini?" ujar Jokowi akhir 2014 silam dikutip detik.com.  

Presiden Jokowi menegaskan, pemerintah berkomitmen tak akan ada lagi impor pangan, dan hal ini akan dilakukan secara bertahap, dimulai dari beras. Dikutip dari Kompas.com, Jokowi menegaskan, Indonesia harus swasembada beras, kedelai, dan jagung dalam tiga tahun ke depan dan gula dalam lima tahun, sementara daging diperkirakan lebih dari lima tahun. Jokowi bertekad untuk stop impor pangan. Beban berat ini menjadi tanggungjawab Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Mudah-mudahan menteri kelahiran Bone, Sulawesi Selatan, ini mampu menjawab harapan presiden dan rakyat Indonesia.

Serba Salah di Batam

Di satu sisi kita gembira menyambut sikap pemerintahan Jokowi yang tampaknya akan ngebut mencapai swasembada pangan sekaligus berencana menutup keran impor produk pangan, khususnya beras. Tapi di sisi lain, khusus daerah-daerah perbatasan, beras yang didatangkan dari daerah penghasil di dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan beras impor dari negara tetangga. Contohnya di Pulau Batam dan Provinsi Kepulauan Riau secara keseluruhan yang bukan daerah penghasil beras, selama ini bergantung dari beras impor dari Thailand, Vietnam, dan India jauh lebih murah dibandingkan beras lokal.

Pengalaman Penulis (juga menjual beras), selisih harga beras lokal dan impor sangat mencolok. Beras lokal yang dipasok dari daratan Sumatera dan Pulau Jawa bisa mencapai Rp 10.000 – Rp 12.000 per kilogram, sementara beras impor dengan kualitas sama (atau malah lebih bagus) hanya berkisar Rp 7.000 – Rp 8.000 per kilogram. Bahkan beras impor jenis premium yang paling mahal hanya seharga Rp 12.000 per kilogram. Tentu saja masyarakat memilih membeli beras impor yang lebih murah, apalagi kualitasnya juga lebih bagus. Sementara dari sisi pedagang seperti Penulis, sebenarnya tak masalah menjual beras dari mana, lokal maupun impor. Toh persentasi keuntungan yang diambil sama saja. Tetapi, putaran modal menjadi lebih lambat bila menjual beras lokal lantaran kurang laris.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun