Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ia Raja Pesisir, Aku Raja Pedalaman [Part 11: End]

9 Februari 2020   10:10 Diperbarui: 9 Februari 2020   10:11 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak kudengar suara lain, selain desir angin menerbangkan debu dan bau mayat yang mulai membusuk, serta menggurat sepi yang aku rasakan selama mataku Tak mampu lagi untuk kubuka. 

Samar, aku mendengar Boone berteriak pada Cornicus, "Aku tak peduli seberapa kuat kau, makhluk bertanduk!! Aku akan melawanmu !"

Medan pertempuran tiba-tiba senyap. Tak ada gesekan dan gerakan menyerang satu dengan yang lain atau denting perisai beradu dengan pedang.

Semua pergi, menjauhi tempat tubuhku tergeletak dengan Boone yang berdiri dengan gusar. Segala amarahnya tertumpah saat itu. Mata teduh yang dulu selalu kujumpai, kini berubah penuh kegarangan.

Naga yang ditunggangi Cornicus terbang merendah. Makhluk bengis yang telah mencacah habis setiap mereka yang bertempur melawannya, kini ia mulai menjejakkan kakinya di atas pasir pesisir Saverian.

Dihampirinya Boone, hanya dengan satu gerakan tangan, dengan cepat, direnggutnya jantung Boone lalu dibawanya terbang di udara. Darah mengucur deras bak air yang mengalir dari pegunu gan kastil Alvar.

"Lihat....kekuatan kalian telah musnah, bangsa peri...ha ha ha....,"dengan pongahnya dipandanginya jantung Boone dalam genggaman tangannya. Tiba-tiba jantung itu melesat masuk ke dalam tubuh Cornicus.

Tawanya menggelegar, serasa seluruh samudera raya tergoncang. Naga merah semerah api yang menyala telah membawanya pergi. Melesat terbang tinggi di angkasa yang senada mencitrakan warna jingga berbalut darah, layaknya bau anyir para ksatria yang terbengkalai di area medan laga.

Tubuhku penuh darah. Aku berada pada ambang batas kesadaranku. Tenggelam dalam kesuraman yang menjadikan pandang mataku makin legam. Nanar, kering, tak mampu menghasilkan sebutir air matapun yang seharusnya menetes, karena darah Boone mengalir deras di atas tubuhku yang lunglai ditopang tanah.

Tak ada setetes air mata pun. Tak ada. Dadaku terlalu sesak menahan kenyataan dihadapan mata. Tubuh hangat yang dahulu kupeluk, kini berkalang darah, yang tiada henti memandikanku dengan bau anyir, merasuki dalamnya kenangan yang telah terhempas, dirampas keinginan sang egois yang kini bertahta sebagai jawara.

Ayah segera datang menghampiriku, diangkatnya tubuh Boone dari tubuhku. Ayah memelukku, air matanya yang hangat menetes membasahi kedua kelopak mataku. Lalu mataku terpejam. Dan, entah apakah yang ada padaku saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun