Mohon tunggu...
Ayu Diahastuti
Ayu Diahastuti Mohon Tunggu... Lainnya - an ordinary people

ordinary people

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Represifme Rezim dan Dunia Pendidikan Indonesia

24 September 2019   08:23 Diperbarui: 25 September 2019   11:57 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : pixabay.com

"di sini negri kami, tempat padi terhampar, samudra ya kaya raya, tanah kami subur,tuan. 
"di negri permai ini, berjuta rakyat bersimbah luka, anak kurus tak sekolah, pemuda desa tak kerja 
"mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juang kami, tuk membebaskan rakyat 
"mereka dirampas haknya, tergusur dan lapar. Bunda relakan darah juan kami, padamu kami mengabdi, padamu kami berbakti."

Saya masih ingat dengan lagu Darah Juang ini yang seringkali kami nyanyikan saat meneriakkan perlawanan kami menumbangkan represifisme rezim Orde Baru, Mei 1998 yang lalu.

Berdiri bersama dengan teman-teman di bawah kibaran Sang Saka Merah Putih saat itu saya ikut dalam arus perubahan gerakan kemahasiswaan di seluruh pelosok tanah air, bersatu dalam satu suara yang sama melawan rezim Orba yang kala itu berkuasa selama 32 tahun. 

Dan, masa telah berlalu. Orde telah berganti. Harapan untuk mempunyai kehidupan demokrasi dan kebebasan berpendapat kini telah tercapai, meski masih ada tindakan represifisme di sana sini. 

Teringat saya pada sebuah kabar yang sempat riuh di dunia maya pada beberapa waktu yang lalu yang sempat diramaikan dengan tagar yang cukup menarik perhatian saya, karena berkaitan dengan edukasi negeri bagi generasi muda kita.

#savehikmasanggala #hikmasanggala

Satu kasus kelam telah kembali tertoreh di langit dunia edukasi negeri yang datang dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kendari.

Kasus yang menyangkut dikeluarkannya salah satu mahasiswa berprestasi dari kampus tersebut dikarenakan adanya tuduhan terhadapnya dianggap sebagai sebuah beshicking tanpa bukti.

Adalah seorang Hikma Sanggala mahasiswa IAIN Kendari pada tanggal 27/08/2019 yang lalu telah menerima dua surat edaran dari pihak rektorat kampus terkait, yang mengesahkan bahwa statusnya sebagai mahasiswa IAIN Kendari telah usai. Karena lulus dengan predikat terbaikkah? Ternyata bukan.

Seperti dikutip dari Tribun-Timur.com (5/09/2019), keputusan rektorat kampus dalam hal ini Prof. Dr. Faizah Binti Awad, M.Pd memberhentikan Hikma Sanggala  secara tidak terhormat dikarenakan Hikma Sanggala dituding telah "berafiliasi dengan ajaran sesat dan paham radikalisme yang bertentangan dengan ajaran Islam dengan nilai-nilai kebangsaan, dan terbukti sebagai anggota, pengurus, dan/ atau kader organisasi terlarang oleh Pemerintah."

Hikma Sanggala sendiri sebenarnya bukanlah seorang aktivis kampus tanpa prestasi. Ia bahkan pernah mendapatkan Piagam Sertifikat Penghargaan Sebagai Mahasiswa dengan IPK terbaik se-fakultas.

Suara vokalnya yang mengkritisi kebijakan kampus tentang pelarangan pemakaian cadar di sebuah kampus sebesar IAIN dianggap sebagai sebuah afiliasi dengan aliran sesat dan faham radikalisme.

Tuduhan yang menurut berbagai pihak merupakan tindakan represif elit kampus yang telah mengebiri kemampuan seorang generasi muda untuk bersikap kritis terhadap lingkungannya. Menyampaikan aspirasi adalah hak bagi setiap insan warga negara yang mendiami negri Indonesia. 

Pemberhentian sepihak ini pun mendadak viral, karena dinilai sangat tidak mendidik generasi bangsa, dengan mematikan aspirasi generasi muda bagi tumbuhnya asas demokrasi bangsa.

Satu hal yang terbayang dalam benak saya saat pertama kali membaca berita ini adalah bak seorang siswa yang indisipliner lalu diminta keluar ruangan kelas, dan tidak diperbolehkan mengikuti pelajaran. Hak untuk mendapatkan pengajaran yang layak bagi setiap warga negara telah dikebiri, bukan?

Apakah tindakan yang sedemikian ini merupakan langkah bijak dari pelaku dan praktisi pendidikan di Indonesia? Akan menjadi apakah wajah pendidikan Indonesia bila peristiwa rezim orde baru yang membatasi hak warga negara untuk menyampaikan pendapatnya terulang kembali?

Ya, tentu saja. Kampus sebagai tempat mengolah ide dan kreatifitas generasi muda seakan kembali dimatikan fungsinya. Citra sebagai civitas akademika yang mampu berpijak pada prinsip ilmu dan kaum terpelajar sebagai penggerak roda kemajuan bangsa pun akan semakin pupus, bukankah seperti itu?

Kemudian, bagaimana dengan dasar tuduhan yang dipakai? Sebagai penganut paham radikalisme? Wow...sangat dalam.

Lantas dengan demikian masih pantaskah ranah kampus disebut sebagai ranah penikmat pengetahuan? Habitat tumbuhnya postulat kebenaran? 

Dengan apatah lagi biji postulat kebenaran itu mampu teruji pasti kualitasnya, jika hanya demi menghilangkan keraguan dan keburaman ketidakbenaran di dalamnya, sikap kritis pun digilas habis oleh sebuah santun represif pembuatnya?Demi apakah kebenaran itu harus kembali menjadi samar kemurniannya?

Hikma Sanggala hanyalah sebuah kasus kelam dalam dimensi edukasi negeri ini. Mungkin masih banyak rezim represifisme lain yang tak pernah terkuak, menjadikan luka bagi nurani kita.

Tuntutan bagi pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal ini Surat Edaran Putusan Rektorat Kampus IAIN Kendari, yang mengesahkan penonaktifan Hikma Sanggala sebagai seorang mahasiswa dalam kampus tersebut semakin menggema.

Meski kisah ini makin tenggelam, tak terdengar lagi kabar berita kelanjutannya, namun kasus ini telah menorehkan noda kelam bagi dunia edukasi Indonesia.

 Apakah tindakan drop out tersebut adalah pilihan terakhir dan terbaik, ataukah lepas tangan adalah alasan terkuat bagi manifestasi rezim represifisme tumbuh di kalangan kampus?

We never know, we never know....

Edukasi yang matang akan mendukung sikap patriotik yang tangguh

Beralih dari kasus tersebut, kini sekelompok anak-anak muda yang mengatasnamakan dirinya sebagai kaum intelektual bangsa, mahasiswa, kembali turun ke jalan untuk meneriakkan tuntutan yang akhir-akhir ini sempat mengelayuti dan menggelisahkan bangsa dan negri ini.

Apakah perjuangan mahasiswa kali ini bisa disamakan dengan perjuangan mahasiswa di era 1998?

Mungkin cara dan metode yang diambil memang sama. Akan tetapi pola pergerakan mahasiswa sendiri pun tak sama.

Era telah berganti. Isu yang diusung pun telah mengalami pergeseran. Masyarakat telah begitu banyak mengalami kemajuan mulai dari cara berpikir dan perolehan serta responsif massa terhadap segala informasi yang didapatkan pun berbeda.

Mahasiswa sebagai salah satu alat penguji sebuah postulat dan dalam suatu tatanan sistem sosial telah bergerak. Meskipun pergerakan ini agak berbeda, namun ternyata muatannya pun tetap sama. Regulasi dan kekuasaan.

Di beberapa daerah di Indonesia mulai bergerak maju para mahasiswa dengan satu visi yang sama. Dibandingkan dengan tahun 1998, people power kali ini meskipun sama, namun berbeda dalam hal kausalnya.

Dulu saat Mei 1998 mahasiswa bergerak disebabkan oleh rasa frustasi massa yang telah terakumulasi selama bertahun-tahun atau bahkan berpuluh-puluh tahun, atas rezim yang pada saat itu berkuasa.

Sedangkan people power saat ini disebabkan oleh keinginan masyarakat yang telah mengolah informasi dengan cermat, menimbang dengan hebat, dan memandang bahwa inilah cara membangunkan nurani para penguasa negri untuk kembali menjadi wakil rakyat yang berdaulat.

Sempat terbersit rasa penasaran dalam benak saya saat melihat beberapa orang tua yang begitu nyata dan penuh ketegasan mendukung setiap aksi putra-putri mereka untuk turun ke jalan menyalurkan aspirasinya bagi negri ini.

Terbayang dalam pikiran saya bagaimana jika anak saya sendiri atau paling tidak murid saya sendiri terlibat dalam aksi tersebut, apa yang akan saya lakukan? Mendukung aksi mereka atau melarang mereka? Mengingat dahulu pun saya sempat turun ke jalan saat penumbangan rezim Orde Baru.

Ya, mahasiswa bukanlah anak-anak sekolah dalam strata setingkat Sekolah Menengah Atas. Mereka mempunyai mentalitas yang berbeda (seharusnya).

Jika beberapa pihak mengatakan bahwa kaum civitas akademika adalah salah satu alat penguji postulat kebenaran, saya sepakat. Namun ada satu hal yang perlu dicermati, adalah apakah seorang mahasiswa benar-benar paham mengenai issue yang sedang diangkat dalam sebuah aksi massa.

Hal ini dikarenakan pesatnya kemajuan teknologi informasi masa sekarang ini, diharapkan mahasiswa mampu memfilter segala informasi yang diterima agar perjuangan yang sedang mereka lakukan adalah murni adanya.

Edukasi terhadap respon sosial memang perlu ditanamkan. Jiwa patriotik perlu ditumbuhkan. Tapi santun ilmu pengetahuan pun harus dikedepankan. Agar kredibilitas instrumen penguji dari sebuah postulat itu benar-benar terpercaya.

*Salam edukasi anak negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun