Melihat lukisan itu, nenek tersenyum. Tapi air matanya menganak sungai di pipinya.
"Sekarang aku hanya ingin satu hal, jangan pergi lagi. Jaga Bowo"
Itu kata-kata terakhir nenek, sebelum meninggal memeluk lukisan itu. Beban perasaan merusak jantungnya
Bowo kecil, ayahku, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Dia hanya tahu, karena melihat lukisan buatan ayahnya, sang ibu meninggal. Ayahku membenci lukisan itu
------------------------
Hari ini, seminggu setelah kematian kakek. Kulihat ayah memasang lukisan itu di tempatnya semula. Seorang teman ayah telah memperbaiki bingkainya yang rusak. Setelah membaca surat kakek, ayah menjadi sayang pada lukisan itu.
"Kemarilah, Nak" lambai ayah padaku.
Kami berdua berdiri memandangi lukisan yang terpasang di dinding
"Lukisan ini, jadikan pengingat. Untuk menjadi laki-laki, kau harus mampu memegang janji. Salah dan khilaf, bisa saja terjadi. Tapi bejuanglah, untuk selalu menepati semua ucapanmu."
"Kakekmu, laki-laki sejati. Kesalahannya memang telah menghancurkan hidup kami. Tapi dia berusaha memperbaikinya. Kini, lewat lukisan ini, gubuk itu milik kami selamanya"
Kulirik ayah, bibirnya membentuk seulas senyum. Setitik bulir bening, mengalir di pipinya.
------000--------
Dewi Maharani
 Tenggarong, 6 Juli 2018