Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Proklamasi Kemerdekaan 1945 dan Sakitnya Soekarno Saat Membacakannya

18 Agustus 2017   12:01 Diperbarui: 19 Agustus 2017   09:20 8490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah suasana tenang kembali, Soekarno menjelaskan bahwa di Saigon, ia telah memikirkan dan memilih memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Para muda itu bertanya, kenapa harus menunggu sampai tanggal 17, kenapa bukan hari ini juga, atau besoknya saja (tanggal 16).

Soekarno menjelaskan, ia seorang yang percaya mistik. Ia tidak dapat menjelaskan secara akal sehat kenapa tanggal 17 yang diapilih. Yang dirasakan adalah dua hari lagi itu adalah hari yang terbaik. Angka 17 adalah angka keramat dan suci. Karena, saat itu sedang berada dalam bulan Ramadhan, waktunya umat Islam berpuasa.

Soekarno menjelaskan, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 itu adalah Jumat Legi. Jumat yang berbahagia, yang suci. Al Qur'an diturunkan tanggal 17. Orang Islam sembahyang 17 raka'at dalam sehari. Mengapa Nabi Mohammad memerintahkan 17 raka'at, bukan 10 atau 20 raka'at? Oleh karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia.

Pertemuan dengan para pemuda pejuang itu berakhir.

Namun, keesokan harinya, dini hari tanggal 16 Agustus 1945, para pemuda berseragam dipimpin oleh Soekarni yang memegang pistol kembali menemui Soekarno di rumahnya itu. Mereka kembali memaksa Soekarno agar hari itu juga memimpin mereka melakukan gerakan pemberontakan bersenjata melawan Jepang, dan memproklamasikan kemerdekaan.

Kembali terjadi perdebatan sengit di antara Soekarno dengan para pemuda yang bersenjata pistol, pisau dan pedang itu. Tapi, Soekarno bersikeras tidak mau memenuhi permintaan para pemuda itu, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk "menculik" Soekarno, untuk diamankan dari incaran dan pengaruh Jepang, karena katanya, ribuan pejuang segera akan melakukan gerakan pemberontakan hari itu juga (yang belakangan tidak terbukti, tidak ada gerakan bersenjata apapun  untuk melawan militer Jepang).

Para pemuda itu lalu membawa Soekarno bersama istrinya, Fatmawati, dan bayi laki-lakinya, Guntur, meninggalkan rumahnya. Saat keluar rumah, ternyata sudah ada juga Mohammad Hatta di mobil. Kedua tokoh besar itu dibawa bersama-sama oleh para pemuda pejuang itu ke Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat.

Di Rengasdengklok, mereka menempatkan Soekarno dan Mohammad Hatta di sebuah rumah petani yang jauh dari jalan raya, di tepian sungai Citarum.

Soekarno menggambarkan rumah itu sebagai sebuah rumah petani Tionghoa yang jauh dari jalan raya, di tepian sungai, yang tidak menarik perhatian, tidak jauh  dari asrama PETA, pekarangannya penuh dengan babi. Anak pemiliknya adalah sahabat baik dari seorang Letnan. Letnan itu sudah berbicara dengannya, meminta agar meminjamkan rumah orangtuanya itu kepada para pemuda pejuang untuk dipakai bermalam tamu penting dari Jakarta.

Saat tiba di rumah itu, Letnan itu masuk ke dalam rumah, tak lama kemudian dengan patuh, pemilik rumah bersama seluruh keluarganya, yang terdiri dari tujuh orang, termasuk bayi-bayi, pindah ke rumah anak tertuanya yang tidak jauh dari situ.

Rumah tersebut milik seorang petani Tionghoa bernama Djiaw Kie Siong (wafat 1964).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun