"Indonesia pakai sistem penanggalan ini, karena saat itu negara yang punya sistem penanggalan sendiri dipandang negara beradab," terang Pemandu Jakarta Good Guide, Candha dalam Menteng Walking Tour, Minggu (18/10/2015), sebagaimana dikutip Kompas.com.
Naskah Proklamasi tulisan tangan Soekarno, tidak mencantumkan nama dari "wakil-wakil bangsa Indonesia". Setelah diketik Sayuti Melik barulah nama itu: "Soekarno-Hatta" dicantumkan. Ini pun ada kisahnya.
Menurut Mohammad Hatta di dalam bukunya "Menuju Gerbang Kemerdekaan (Untuk Negeriku #3)", sebelum dicantumkan nama dan ditandatangani  Soekarno-Hatta itu, terjadi perdebatan antara para tokoh yang hadir di situ, yang seluruhnya ada 29 orang, tentang nama siapa yang harus ditulis mewakili bangsa Indonesia itu.
Hatta mengusulkan "atas nama bangsa Indonesia" itu disertai dengan nama dan tanda tangan dari semua nama tokoh yang hadir, yaitu nama 29 orang yang hadir ketika itu, tetapi para pemuda menghendaki lain, Soekarni menyatakan, tidak perlu seluruh nama dari mereka ditulis, tetapi cukup nama Soekarno dan Mohammad Hatta saja, sebab merekalah yang selama ini memimpin gerakan kemerdekaan Indonesia.
Soekarno, di dalam bukunya "Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" berkisah, saat perumusan naskah Proklamasi itu, mereka semua dalam kondisi yang sangat terburu-buru, karena pada tanggal 17 Agustus itu juga Proklamasi sudah harus dibacakan. Tidak ada waktu untuk mencari kata-kata yang pedih menggetarkan kalbu.
Bahkan lembaran yang ditulis tangan Soekarno itu pun sempat dibuang oleh Sayuti Melik, setelah selesai mengetik teks Proklamasi tersebut. Untungnya, BM Diah memungutnya kembali dan menyimpannya. Lembaran teks Proklamasi asli tulisan tangan Soekarno itu sempat hilang selama sekitar 46 tahun, yang baru ditemukan kembali dan diserahkan kepada negara pada 1992.
Di dalam buku biografinya itu Soekarno mennggambarkan tentang bagaimana suasana perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang sangat sederhana, apa adanya, seolah-olah itu bukan peristiwa penting.
Tidak ada iringan tiupan terompet yang megah, tidak ada orang yang mengenakan seragam yang megah, tidak ada doa dan upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira berpakaian seragam, tidak diabadikan oleh wartawan juru potret, dan sebagainya. Ruangannya pun  bukan di ruangan-mahkota dari Istana Juliana (Ratu Belanda ketika itu), melainkan hanya di sebuah kamar depan yang kecil di sebelah ruangan besar dari rumah seorang Laksamana Jepang.
Tidak ada juga acara "mengangkat gelas" untuk keselamatan. Minuman yang tersedia pun hanya berupa air soda panas untuk membangkitkan kembali kekuatan dari segelintir manusia yang sudah tidak keruan dan tidak tidur selama dua hari.
Soekarno mengaku, ketika itu, perumusan naskah Proklamasi itu tidak memberikan perasaan apa-apa terhadapnya, tidak ada perasaan kegirangan, atau kebanggaan. Yang adalah rasa lelah yang luar biasa. Saat naskah Proklamasi itu selesai diketik, jam di dinding menunjukkan angka 4 dini hari.