Mohon tunggu...
APOLLO_ apollo
APOLLO_ apollo Mohon Tunggu... Dosen - Lyceum, Tan keno kinoyo ngopo

Aku Manusia Soliter, Latihan Moksa

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mencari "Ada", Etnografi Petilasan Ibu Soekirah

30 Desember 2018   03:16 Diperbarui: 1 Januari 2019   15:37 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ide gagasan ini diperoleh saat saya napak tilas jalan kaki mencari manusia bijak atau satrio piningit di Jogja dan Jawa Tengah yang waktu dan tanggalnya tidak perlu saya sebutkan akhirnya saya terhenti disuatu senja jam 03.00 sore di Dusun Kemusuk, Jl. Nulis Puluhan, Srontakan, Argomulyo, Sedayu, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55752.

Kaki saya menemui suasana yang lain dan berbeda yakni tepatnya pada Museum Soeharto yang menyimpan memoar dan peninggalan Jendral Besar TNI Soeharto yang diresmikan pada tahun 2013.

Setelah berdiam diri beberapa waktu, mata batin saya tertumbuk pada suatu sudut sebelah kanan pintu masuk bagian belakang, yakni Petilasan Ibu Soekirah binti Atmosudiro. Ibu Soekirah adalah ibu kandung Presiden Soeharto bin Kertosoediro. Adalah ibu Soekirah yang menjadi ibu Bapak Presiden Indonesia ke 2 lahir tanggal 8 Juni 1921 atau rabu kliwon.

(dok. pribadi)
(dok. pribadi)
Lalu bagimana sebenarnya memahami secara tafsir filologi hermeneutika, dan semiotika yang memungkinkan makna ["petilasan"] khususnya Petilasan Ibu Soekirah memiliki nilai filsafat untuk melahirkan rehabilitasi pemahaman.

Secara umum maka kata ["petilasan"] umum dipakai dalam bahasa Indonesia sekalipun secara filologi bisa memiliki makna yang berbeda-beda. Saya kutip dari umum sederhana dulu misalnya pada Wikipedia disebutkan Petilasan adalah istilah yang diambil dari Bahasa Jawa (kata dasar "tilas" atau "bekas") menunjuk pada suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang penting.

Tempat yang layak di sebut petilasan biasanya adalah tempat tinggal, tempat beristirahat (dalam pengembaraan) yang relatif lama, tempat pertapaan, tempat terjadinya peristiwa penting, atau terkait dengan legenda atau tempat. Dalam bahasa lain disebutkan, petilasan disebut maqam (berarti "kedudukan" atau "tempat"). Istilah 'makam' dalam bahasa Indonesia tidak berarti sama dengan 'maqam' atau kuburan.

Tidak mudah memahami kata ini jika ingin melahirkan ulang "ontologis" nya. Maksud melahirkan kembali disini selalu saya kaitkan dengan fakta bagimana mungkin dalam kesederhanaan dan rumitnya hidup dimasa ibu Soekirah bisa menjalani hidup dipedesaan melahirkan seorang anak kemudian menjadi presiden hebat sukses dieranya. Tentang Pak Harto saya sudah pernah tulis dalam artikel Kompasiana.

Masalah pada tulisan ini adalah kekaguman saya pada ibunda Pak Harto. Sampai puluhan tahun lebih saya merenungkanya, dan mencari literature. Tetapi tidak memadai untuk menjawab hakekat ilmu Jawa Kuna dalam wujud paparan riset, khususnya menyangkut ibunda Pak Harto. Maka saya mencoba membuat sebagian hasil penelitian saya, tidak semuanya, dan mungkin memerlukan 10 tahun supaya penelitiannya lengkap dan memadai.

Kendala penelitian ini adalah saya tidak memiliki akses langsung dalam bentuk wawancara atau memberikan kuesioner untuk bertanyan pada Ibu Soekirah yang mengalami sendiri sejarah hidupnya supaya diperoleh lebih otentik argumentasi tulisan ini.

Tetapi secara episteme cara lain masih mungkin dengan menggunakan pemikiran kritis atau preposisi bahwa di alam semesta ini ada banyak monad-monad "substansi" di sebut sebagai ranah fisika dan metafisika. Monad disini bahwa alam ini mewariskan logika daya purba ("force primitive") yang bukan material tetapi bersifat spiritual" sehingga pelahiran makna kata ["petilsan"] dapat" direhabilitasikan kembali. Maka kata ["petilasan"} dapat diselidiki dengan metode ontologi, sebagai ilmu tentang ada (science of being).

Pada kutiban di Wikipedia menyatakan makna kata ["petilasan"] adalah "tempat tinggal" atau rumah. Atau tempat menghuni.

Maka dengan pinjakan sederhana ini saya dapat menjelaskan pengertian ["petilasan"] sebagai kata "menghuni".

Saya meminjam pemikiran filsafat Martin Heidegger (1889-1976) menyatakan "kebenaran itu keras kepala, dan suka menyembunyikan diri, dan kebenaran yang dipahami hanya sebatas kebenaran tidak tersembunyi". Heidegger menyebut alam semesta memiliki ketersembunyian ("Aletheia") pada kebenaran.

Maka Heidegger menyatakan saatnya kita mulai beralih pada episteme baru, melalui di sebut "stimung" melalui prosa atau melalui pusisi, dan membiarkan diri kita diinterpelasi apa yang mengenakan kita, merasakan suasana batin untuk menciptakan rumah ada (atau di sebut "menghuni dulu baru membangun").

Metode Heidegger menyebut diskursus tentang menampakkan diri, dengan "membiarkan apa yang memperlihatkan diri itu dilihat dari dirinya sendiri, cara dia memperlihatkan diri dari dirinya sendiri" (bukan aktivitas berpikir), melalui kecemasan eksistensial (Angst).

Hakekat pemahaman tingkat mendalam lagi saya transformasi menjadi pemahaman Ibu Soekirah diikat oleh dunia (world) dan kemudian Ibu Soekirah mampu memberikan makna bagi kehidupannya. Itulah Petilasan hakekat selanjutnya.

Maka dengan meminjam pemikiran Heidegger saya dapat membuat proposisi atau rehabilitasi arti ["petilasan"] artinya "menghuni dulu baru membangun". Dan Ibu Soekirah wujud representasi melampaui. Bisanya manusia pada umumnya membangun dulu baru menghuni. Maka Heidegger (pembuat ide gagasan), Ibu Soekirah yang "membuat pengalaman penghayatan atau Lakoni Jawa", dan saya sebagai peneliti yang "mempertemukan". Maka dapat dikemukakan arti ["petilasan"] adalah "menghuni dulu baru membangun".

Ibu Soekirah dalam identitas pada arti ["petilasan"] identic dengan membangun {"Ada"} atau {"Being"}. Maka Manusia dan dunia itulah {Ada} itu sendiri dan persis memiliki konsep fenomenologi ontologi atau metafisik. Atau ["petilasan"] sebagai refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai "Ada".

Artinya ["petilasan" atau "konsep Ada"] adalah seluruh realitas pada semua latar belakang tindakan keseharian manusia [Ibu Soekirah] yang dapat dipahami dengan dengan fakultas akal budi. Lalu bagimana hal ini dapat dijelaskan dengan memadai sehingga rehabilitasi Fenomena Ontologis-nya dapat dipahami.

Ibu Soekirah adalah {"Ada"}, karena menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta Bantul Jogjakarta. saya dapat memahami keuletan batiniah Ibu Soekirah sehingga memugkinkan dia memiliki dan mampu membuka ketersembunyian ("Aletheia") pada relasi antara dunia dan dirinya sendiri {Ibu Soekirah} dengan nama yang disebut subjektivitas bernama "sabar nrimo" atau "nrimo ing pandum".

Dengan subjektivitas bernama "sabar nrimo" atau "nrimo ing pandum" membuat Ibu Soekirah mampu memaknai dunianya, dan proses pemaknaan itu selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas.

Hebatnya lagi Ibu Soekirah mampu memberikakan makna dan praktik tindakan yang melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut untuk menghasilkan realitas. Itulah {"Ada"} pada hakekat arti ["petilasan"] adalah "menghuni dulu baru membangun".

Lalu saya sampai pada lapisan ketiga {"Ada"} pada hakekat arti ["petilasan"]. Maka ada dua ada yakni ada dari alam semesta (being of nature) buana agung, dan ada pada akal budi (being of reason) atau buana alit. Problemnya kebenaran pada buana alit, tidak otomatis sama dengan kebenaran di dalam alam semesta atau buana agung.

Maka dengan meminjam theoria Semiotika Ferdinand de Saussure pada (1) signifier (penanda), (2) signified (petanda), (3) form (bentuk) atau content (isi). Maka kesadaran atau pikiran atau rasa Jawa Kuna adalah (1) signifier (penanda). Sementara benda di alam atau buana agung adalah signified (petanda).

Korelasi atau dialektika antara Penanda dan petanda (buana alit dan buana agung) terciptalah {"Ada"} saling mengisi berhubungan, meskipun tidak selalu sama. Dan Ibu Soekirah berhasil mengkorelasikan antara Penanda dan petanda. Jadi {"Petilasan"} adalah wujud korelasi antara Penanda dan petanda (buana alit dan buana agung) terciptalah {"Ada"},atau diciptakan oleh pencipta tunggal. Ini adalah hakekat berupa wujud kemampuan menciptakan hubungan antara bahasa metafora alam, penafsiran, dan alam obyektif.

Maka Ibu Soekirah berhasil menjembatani oleh bahasa dalam kitab alam dan penafsiran yang tepat dalam kultural Jawa Kuna. Ibu Soekirah mampu meleburkan horizon keterpisahan subyek, yakni manusia, obyek atau buana agung yang dipersepsinya. Tidak ada artinya manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia (worldless). Maka manusia idial adalah selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup lainnya. Implikasinya adalah semua manusia wajar dan normal adalah manusia ada bersama (being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada.

Kesimpulan {"Petilasan"} adalah cara mengada (modes of being) pada manusia melalui (a) ada bersama dunia, (b) ada di dalam dunia, dan (c) sekaligus ada disana.

Demikian hasil diskursus hermeneutika, dan semiotika pada makna petilasan. Terima kasih dan mohon maaf jika masih salah atau jauh dari idial, karena saya belum pandai.tky

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun