Mohon tunggu...
Alief El_Ichwan
Alief El_Ichwan Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis

mantan wartawanI Penulis LepasI Menulis artikel-cerpen-puisi-perjalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nin dan Pohon Asem

24 April 2017   06:36 Diperbarui: 24 April 2017   17:00 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masih pagi. Tapi di rumah Bu Beta, sudah terdengar teriakan,"Aduh, Gusti!" jeritnya sambiil meraup ikan koi-nya; yang telah mengambang di kolam.

Kemarahanya langsung meledak. "Pasti ini gara-gara pohon asem sialan ini!"tuding Bu Beta. Ia mengira: ikan kesayangannya mati akibat dedaunan pohon asem; yang berguguran. Kemudian memenuhi kolam ikannya. "Buat apa sih dibiarkan terus. Mendingan kalau berbuah. Ini malah merugikan. Mana bikin kotor halaman orang lain lagi! Lha, malahan membikin ikan-ikan koi saya mati. Mendingan kalau mau mengganti! Huh, siapa bilang pohon ini ada penunggunya. Orang yang nggak waras, setiap malam Jum'at, memberi suguhan macam-macam. Pake bakar kemenyan segala!" perempuan setengah baya itu, meludah jijik.

"Eh, siapa yang salah, Bu Beta? Kolam ikan itu kan baru dibikin, lha, pohon asem ini kan sudah tumbuh sedari saya kanak-kanak?" Nin1 mendadak menimpali. Agak kaget Bu Beta, saat melihat ke arah bawah pohon asem. Seperti biasa, Nin selalu menyapu halaman rumah. Selain membersihkan dedaunan di halaman, juga di gang kecil. Yang memisahkan antara rumah kami dan rumah Bu Beta. Persis di sudut halaman kami, di gerbang masuk gang itulah tumbuhnya pohon asem. Makanya gang itu, dinamai: Gg. Asem.

"Asal tahu saja, Jeng," Nin menyambungnya, padahal keterkejutan Bu Beta belum reda."Sebelum Jeng ke siini, malahan jauh sebelum Jeng membangun rumah, sebab rumah Jeng dulu itu masih berupa kolam ikan kepunyaan kami, nah, pohon asem ini sudah ada. Dan waktu itu tak seekor ikan pun yang mati."

"Ya, pantas saja! Ikannya ikan biasa, lain dengan milik saya ini. Ini ikan koi, lho. Ikan peliharaan bangsawan di Jepang," tukasnya sambil mengacungkan ikan koi yang telah mati. "Lha, pasti beda dong."

Ah, entah sejak kapan pohon asem ini jadi pangkal pertengkaran. Nin benar! Pohon asem ini sudah ada sejak Nin anak-anak. Sejak Bapak masih anak-anak, pohon sudah tumbuh besar. Malahan bagi Nin, pohon asem ini punya kenangan sendiri. Saat Ngki2 masih hidup, saat masih anak-anak berkumpul. Mereka selalu bermain di bawah pohon asem. Sambil memanciing ikan. Jika berbuah pohon asem ini, jadi rebutan. Sebagai tambahan yang enak buat bumbu rujak.

Sekarang ini,pohon asem bak kakek renta. Tak ada lagi dahan rindang. Tak ada lagi buahnya. Meski daunya tumbuh, tapi tak seteduh dulu. BagiNin sendiri, pohon asem ini seperti pengganti Ngki.

Tapi bagi Bu Beta sebaliknya. Sering menjadi omelannya. Setiap hari menyuruh Mang Daim untuk menyapu halaman. Atau menjaring dedaunan yang memenuhi permukaan kolam ikan koi-nya. Bahkan telah pula menyuruh Mang Daim untuk menemui Bapak. Meminta agar menebang pohon itu. Meski harus memberi upah cukup besar. Namun sat rencana ini didengar Nin, malah ditantangnya. "Silahkan saja kalau berani…!"

Adapun mang Daim  pesuruh serabutan Bu Beta itu, mendengar tantangan begitu, malah hatinya ciut. Sebab Mang Daim pernah mendengar: pohon asem itu ada penunggunya. Katanya, Mbah Jambrong.

Cuh! Musyrik! "Kata siapa pohon itu ada penunggunya?!" Wak Haji Manan juga membenci pohon asem itu. Sering dia meludah ke arah pohon manakala pergi ke masjid; yangletaknya persis di belakang rumah. Terlebih apabila tercium bau kemenyan. Nin memang sering nyuguh. Memberii sesaji tiap malam Selasa dan Jum'at. Aneka kembang, surutu, telur, air kopi, dan kemenyan yang dibakar di parupuyan3. Sesaji itu ditampung pada tampah kecil.

"Aneh, jaman modern begini, masih ada yang percaya pada karuhun! Sama Mbah Jambrong! Pake disuguhi segala. Apa itu?" Wak Haji Manan tak sungkan menyelipkan sindirannya dalam khutbah Jum'at. Begitu juga pada tausiah pada hari Selasa dan Sabtu bakda salat subuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun