Mohon tunggu...
Adlan Pradana
Adlan Pradana Mohon Tunggu... Dosen - Guru Sekolah Kejuruan

Guru Sekolah Kejuruan UGM, Pengamat Pendidikan dan Ketenagakerjaan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenapa Harus Nadiem?

24 Oktober 2019   13:26 Diperbarui: 24 Oktober 2019   14:51 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Terjawab sudah sosok yang akan menjadi Menteri Pendidikan 2019-2024. Dialah Nadiem makarim, driver pendiri Gojek yang sukses membawa perusahaan tersebut menjadi decacorn (perusahaan bernilai 1 milliar dollar) pertama indonesia. 

Hal ini tentu mengejutkan, karena perkiraannya saat dipanggil Presiden Jokowi memakai kemeja putih, Nadiem akan menduduki jabatan Menkominfo yang bersinggungan dengan latar belakangnya di dunia IT atau Menpora sebagai simbol milenial. Lazimnya menteri pendidikan berlatar belakang pendidik. Sebut saja menteri sebelumnya Prof Muhadjir Effendy dan Anies Baswedan, PhD, bukan pengusaha sebagaimana Nadiem.

Dikutip dari detik.com, saat perkenalan ke publik 23.10.2019 Presiden Jokowi memberi pesan khusus kepada Nadiem untuk: (1) membuat terobosan signifikan dalam pengembangan SDM, (2) menyiapkan SDM-SDM yang siap kerja/berusaha, (3) me-link and match antara pendidikan dan industri. Jika ditilik dari pesan ini, pesan Jokowi menitikberatkan peran kementerian pendidikan sebagai pabrik SDM.

Sedikit mundur ke belakang, ada 2 kutub yang betentangan dalam memandang tujuan pendidikan. Kutub pertama adalah kutub idealis yang memandang tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh pengetahuan itu sendiri, tanpa terlalu peduli dengan manfaat dari ilmu yang dipelajari. 

Kutub ini percaya bahwa entah bagaimana caranya ilmu tersebut pasti akan dapat menciptakan nilai ekonomis. Kutub ini banyak dihuni oleh para pendidik dan akademisi. Kutub yang kedua adalah kutub pragmatis yang memandang tujuan pendidikan adalah untuk memperoleh kemampuan yang bisa menciptakan nilai ekonomis. Ilmu2 yang kurang memiliki nilai ekonomis kurang mendapat perhatian. Kutub ini banyak dihuni oleh kalangan praktisi dan pengusaha.

Nadiem (dan juga Pak Jokowi) sepertinya lebih condong ke kutub yang terakhir disebutkan. Selain latar belakang mereka yang sama-sama pengusaha, hal ini juga tercermin dari pidato Presiden Jokowi pada saat pelantikan. Jika dianalisa arah dari pidato Presiden Jokowi adalah cita2 untuk lepas dari jebakan kelas menengah menuju kelas atas pada 2045. Caranya adalah dengan memanfaatkan SDM Indonesia untuk produktif (menghasilkan nilai ekonomis tinggi). Agar dapat produktif, maka SDM Indonesia harus memiliki (1) karakter pekerja keras, (2) dinamis. (3) terampil, (4) menguasai iptek.

Pandangan pragmatis Presiden Jokowi mendapat tentangan dari kalangan idealis. di antaranya adalah Ketum Ikatan guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim. Dikutip dari jpnn.com. Beliau meragukan pengetahuan Nadiem mengenai pendidikan Indonesia, mengingat beliau mengenyam pendidikannya di luar negeri sejak SMA.

Nadiem memang bukan pendidik, namun sebagai pengusaha, selama ini Nadiem adalah pengguna dari SDM Indonesia. Beliau pasti mengerti tuntutan pengusaha terhadap SDM Indonesia. Tuntutan inilah yang agaknya diharapkan Presiden dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang kementeriannya akan dipimpin oleh Nadiem.

Hal ini megingatkan kita pada protes pilot di suatu perusahaan penerbangan sewaktu seorang non-pilot diangkat menjadi direktur utama (dirut) perusahaan tersebut. Hal ini di luar kebiasaan dimana biasanya dirut adalah pilot pesawat. Ketika ditanya apa pengetahuannya tentang menerbangkan pesawat, pilot tersebut menjawab, "Saya memang punya pengalaman menjadi pilot, tapi saya punya pengalaman menjadi penumpang yang bisa menilai baik buruknya pelayanan maskapai ini". Para pilot yang protespun terdiam seketika.

Nampaknya setelah pada periode yang lalu Presiden Jokowi mempercayakan kementerian pendidikan ke "pilot", sekarang beliau mempercayakan kementerian ini kepada "penumpang". Sudah bukan rahasia kalau pendidikan Indonesia terkadang punya semesta yang berbeda dengan semesta nyata. 

Dari kurikulum yang ketinggalan zaman, pengajar yang kurang kompeten dan ego yang menganggap bahwa pendidikan adalah untuk ilmu itu sendiri, bukan untuk menghasilkan nilai ekonomi. Semoga di tangan Nadiem, pendidikan Indonesia bisa lebih membumi dan Indonesia benar2 masuk kelas atas pada 2045. Semua pasti pingin pendapatannya 27 juta per kapita per bulan kan?

*Penulis adalah Dosen di UGM dan pemerhati masalah pendidikan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun