Mohon tunggu...
Zuni Sukandar
Zuni Sukandar Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru SLB

Lahir di Magelang, 20 Mei 1971, SD-SMP di kota yang sama, S-1 di Jogjakarta, saat ini mengajar di SLB Maarif Muntilan sebagai guru tunanetra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sok Kenal Sok Dekat

30 September 2022   21:08 Diperbarui: 30 September 2022   21:13 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sampai di sini semua kalimatnya sudah sangat kupahami. Aku pun menimpali setiap senyum yang di sudut bibirnya terlihat palsu. Pastilah wanita ini ingin meminjam uang. Huh, kenapa selalu saja di saat yang kurang tepat.

Berkali-kali kulihat jam dinding yang seakan berjalan begitu cepat. Apalagi aku juga belum sempat mandi pagi. Duh, sabar, ya Allah, semoga tidak terlambat masuk kerja. Kembali wanita itu memohon maaf karena merasa salah waktu untuk bertamu. Ya pastilah memang dibuat semacam inilah teknik untuk melemahkan calon korbannya, juga memojokkannya agar tujuannya berhasil.

Rupanya Bu Rini memahami reaksiku yang berkali-kali melihat jam dinding. Dengan sedikit terbata, wanita itu akhirnya menyampaikan tujuan kedatangannya.

"Bu, saya mau pinjam uang lima ratus ribu rupiah untuk uang saku anak saat wisata nanti. Besok Sabtu depan saya kembalikan, Bu," pintanya dengan tangan memohon. Pergolakan batin pun tidak dapat dihindari. Pengalaman pahit beberapa kali aku harus kehilangan uang yang tidak sedikit jumlahnya membuat rasa percaya pada orang lain mulai tercabik. Saat ini, begitu sulit mencari sosok yang jujur dan kalimatnya dapat dipercaya. Saat meminjam kalimat yang keluar dari mulutnya manis, tetapi akhirnya ... bisa ditebak!

Pinjami ... tidak. Pinjami ... tidak. Pinjami ... tidak! Gumam batinku yang selalu menolak permintaannya pun kali ini terpaksa tidak kudengarkan lagi. Apalagi dia sudah berjanji jika seminggu lagi akan dikembalikan. Lunturlah iman dan nuraniku.

Ya Allah, semoga kali ini aku bertemu dengan orang yang jujur dan bertanggung jawab. Rasanya sakit sekali, ya Allah, memberikan kepercayaan pada orang lain, tetapi malah dikhianati!

Entah energi dari mana yang akhirnya menuntun langkahku untuk menuju kamar dan mengambil lima lembar uang berwarna merah yang berada di bawah kasur. Dengan mengucap bismillah, aku berharap Allah memberikan jalan yang benar padaku.

Kutemui Bu Rini yang kali ini wajahnya terlihat makin semringah seakan merasa menang, karena tujuannya hampir terwujud. Jujur, saat itu hati nurani juga masih tetap berontak untuk berpikir secara jernih. Pengalaman sekian tahun yang lalu seakan seperti  adegan film yang sedang diputar.

Apakah aku termasuk orang yang begitu mudah luluh hanya karena bujuk rayu dan rasa kasihan? Hingga mudah memberikan pinjaman sejumlah uang pada orang yang belum begitu kukenal baik? Jika tidak ingat akan nilai kebaikan yang harus dilakukan setiap saat, pada siapa pun, mungkin tanganku terasa berat untuk memberikan bantuan pada orang lain.

Kembali terjadi perang batin yang tidak pernah usai, antara memberikan pinjaman atau tidak. Sebodoh atau sedungu apa pun entah kata orang, aku harus melawan hati nurani, dan uang lima ratus ribu itu akhirnya pindah ke tangan Bu Rini.

Wanita itu tersenyum setelah menerima uang dariku. Tidak berapa lama kemudian, Bu Rini pun minta pamit. Kuantar wanita  itu sampai di teras rumah. Waktu merambat makin cepat. Jarum jam sekan tidak mau kompromi. Cukup sepuluh menit untuk mandi dan berdandan, agar tidak terlambat sampai di kantor. Untung saja sepeda bututku tidak rewel, sehingga semua berjalan lancar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun