Selama dalam perjalanan, wajah Bu Maryam nampak letih sekali. Tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Rina tahu bahwa Ibunya kini sedang menanggung beban psikologis yang berat. Sebagai seorang ibu, pasti merasa sedih dan prihatin atas kejadian yang menimpa anaknya. Mulutnya komat-kamit, mengucapkan wirid yang biasa dilafalkan, agar dapat menenteramkan hati.
Malam yang sepi saat jam dinding  di ruang tengah berdentang tiga kali, menjadi saksi bisu ketika  Bu Maryam bermunajat pada Sang Khalik. Tetesan air mata sebagai bukti akan kesungguhan hati Bu Maryam memohonkan ampun kesalahan diri, keluarga dan anaknya.
Di atas sajadah warna biru  bergambar masjid itu,  Bu Maryam mengadukan segala keluh kesahnya pada Allah.
"Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengatur segalanya. Kaulah yang paling tahu rencana terbaik untuk hamba-Mu yang penuh dosa. Ampunilah segala kesalahan, dosa, dan perbuatan kami. Ya Allah, aku memohon dengan segala kuasa-Mu, berikanlah umur yang panjang, berkah, bermanfaat, jadikanlah anak-anak kami, generasi yang salih dan salihah, tunjukkanlah jalan yang benar, jauhkanlah dari segala dosa. Berikanlah hidayah untuk anakku, Solihin, agar menjauhi barang haram yang akan mencelakakannya. Ya, Allah, Kaulah yang Maha Mengetahui segala permohonan ini, kabulkanlah doa ini, aamiin."
Usai salat malam, Bu Maryam segera membangunkan Rina, untuk salat tahajud.
"Pukul berapa ini, Bu?"
"Hampir setengah empat. Ayo cepat salat dulu, jangan lupa doakan kakakmu juga, agar bertaubat dan menjauhi barang haram yang dapat membawanya ke neraka."
Bulan berikutnya, Bu Maryam kembali menjenguk Solihin. Kali ini, wajah Bu Maryam lebih terlihat sumringah, mungkin hatinya lebih tertata, dan sudah mampu menerima kenyataan tentang nasib anaknya.
"Gimana kabarmu, Hin?"
"Alhamdulillah, baik, Bu. Ibu sendiri gimana? Sehat kan, Bu?"
"Ya, Ibu dan adikmu juga sehat, Hin, Ibu ingin bicara serius denganmu."