Pernahkah anda memperhatikan bagaimana suasana kelas beberapa tahun ke belakang ini ? Kini, ketika guru sedang menjelaskan pelajaran, sebagian murid justru lebih sibuk bermain gawai daripada memperhatikan penjelasan dari guru. Bagi sebagian orang mungkin ini adalah fenomena hal lumrah di era digital saat ini, tetapi bila kita lihat lebih dalam ada yang berubah yaitu otoritas sosial di ruang kelas kini perlahan berpindah dari guru ke gawai.
Â
Peran seorang guru adalah mendidik, mengarahkan atau membimbing, seseorang yang mengelola pembelajaran, memberi petunjuk atau inisiator, menjadi fasilitator, pemberi nasehat dan dukungan atau motivasi, dan mengevaluasi pelajar guna membentuk minat dan bakat yang dimilikinya, serta menambah wawasan dan pengetahuan serta membangun karakter murid. Perkembangan teknologi membawa perubahan pada cara berpikir, bersikap dan berperilaku, dulu guru merupakan figur sentral atau pemegang otoritas moral dan intelektual, murid menghormati guru bukan karena sebagai pemberi ilmu saja, tetapi karena posisi sosialnya yang dianggap tinggi.
 Namun, di era digital sekarang telah mengubah peta kekuasaan tersebut, dimana murid lebih banyak mengakses informasi dari teknologi seperti AI daripada bertanya kepada guru. Hal tersebut sesuai dengan  hasil survei yang dilakukan oleh murid SMA  Indonesia yang mengemukakan bahwa sebanyak 91% murid menggunakan AI yang bertujuan untuk memahami konsep yang sulit dan mencari jawaban untuk soal, fenomena ini menggambarkan pergeseran otoritas sosial dari manusia ( guru) ke mesin (gawai).
Seorang Psikolog Pendidikan Anak Najeela Shihab juga mengatakan pola interaksi antara guru dan murid telah berubah. Hal itu dikarenakan zaman sekarang informasi ada dimana- mana, bukan hanya dari guru.
" Jadi pergeseran perilaku anak bukan hanya dari game atau televisi, tapi memang karena pola interaksi dunia berubah. Guru bukan lagi satu- satunya sumber informasi. Itu yang menyebabkan mengapa anak- anak sekarang berbeda dengan anak- anak zaman dulu," ujar Najeela.
Guru juga menyatakan bahwa murid yang menggunakan gawai berlebihan berpengaruh tehadap perilaku dan sikap murid, banyak murid yang tingkah lakunya kurang sopan, kurangnya menghormati, dan menghargai guru dan masyarakat sekitar, serta kurangnya rasa kepedulian terhadap sesama dan terhadap lingkungan.
Ketika peran guru sebagai pentransfer ilmu mulai mengalam pergeseran, lantas muncul pertanyaan: Apa peran guru saat ini?
Guru yang seharusnya menjadi pengarah moral dan pembentukan karakter murid sering terjebak dalam rutinitas administratif. Alih -- alih mendidik, mereka malah sering di sibukkan dengan laporan asesmen, dan dokumen lainnya. Akibatnya, interaksi aktif antara guru dan murid terhambat.
Padahal, Emile Durkheim telah mengungkapkan bahwa pendidikan berfungsi sebagai agen sosialisasi yang mengajarkan nilai- nilai sosial bersama dan norma- norma  yang diperlukan untuk menjaga integrasi sosial. Tapi keika guru kehilangan otoritas, integrasi itu pun melemah.
Kini, murid lebih mudah mengakses informasi, tapi kesulitan dalam membangun interaksi sosial, teknologi mempercepat pengetahuan, tapi memperlambat kedekatan murid dengan guru ataupun teman sebayanya.
Secara antropologis, hubungan antara guru dan murid dulunya sarat makna budaya yaitu seperti hormat dan bersikap sopan. Namun, budaya tersebut perlahan luntur karena adanya pengaruh dari gawai yang menyebabkan murid bersikap individualisme. Kecenderungan penggunaan gadget yang berlebihan menjadikan murid bersikap tidak peduli kepada guru, teman sebayanya, kurangnya kepedulian terhadap lingkungan masyarakat serta  lingkungan keluarga.
Fenomena ini sesuai dengan keadaan yang tejadi di ruang kelas saat ini, dimana murid lebih banyak mencari jawaban dari internet daripada berdiskusi dengan temannya. Di sisi lain, guru merasa tidak berdaya menghadapi perkembangan digital saat ini. Akibatnya, muncul kesenjangan digital dan emosional antara guru dan murid.
Lantas apakah gawai menjadi musuh guru? Jawabannya tentu tidak. Karena penyebab utamanya bagaimana kita menggunakan gawai tersebut, seharusnya gawai dipakai sebagai alat bantu belajar bukan sebagai pengganti hubungan sosial.
Dengan adanya kurikulum merdeka, sebenarnya memberi peluang besar untuk membangun kembali hubungan sosial antara guru dan murid. Dengan pendekatan Student -- Centered , para murid didorong untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran dengan mencari infrmasi secara mandiri, sementara guru berperan sebagai pendamping yang membantu mengarahkan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Kita hidup di zaman ketika otoritas sosial bergeser dari figur ke algoritma. Tapi sebesar apapun kecanggihan dan kemajuan teknologi mempengaruhi murid , tidak akan bisa mengajarkan nilai- nilai moral yang diajarkan oleh guru.
Guru senantiasa memiliki peran krusial sebagai pemandu moral, penggerak sosial, dan pelindung nilai- nilai budaya bangsa. Tugas kita adalah untuk memastikan bahwa guru tidak kehilangan  wibawa di tengah derasnya arus digitalilasi. Karena pada akhirnya, pendidikan bukan sekedar tentang siapa yang paling berpengetahuan, tetapi tentang siapa yang paling mampu membentuk  individu yang berilmu sekaligus berperasaan.
Â
DAFTAR REFERENSI
Almuarif, A., Hanani, S., & Devi, I. (2024). Solidaritas dan integrasi sosial dalam konteks manajemen pendidikan: Analisis berdasarkan teori mile Durkheim. Habitus: Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, 8(1), 13--29.
Hidayat, H., Nurfadilah, A., Khoerussaadah, E., & Fauziyyah, N. (2021). Meningkatkan kreativitas guru dalam pembelajaran anak usia dini di era digital. Jurnal Pendidikan Anak, 10(2), 97--103.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia. (n.d.). Pola interaksi guru dan siswa milenial harus dibenahi. KPAI. Diakses pada 15 Oktober 2025, dari https://www.kpai.go.id/publikasi/pola-interaksi-guru-dan-siswa-milenial-harus-dibenahi
Kurniahtunnisa, T., Agustina, T. P., Manuel, M. Y., Rukmana, M., & Lestari, K. (2024). Analisis penggunaan artificial intelligence (AI) dalam pembelajaran IPA di sekolah: Persepsi dan preferensi siswa SMA. SCIENING: Science Learning Journal, 5(2), 202--212. https://doi.org/10.53682/slj.v5i2.10431
Lubis, F. P., Siregar, N. B., Manurung, T. S., Muliyanti, A., Budianto, A., & Perangin-angin, L. M. (2025). Dampak beban administratif dalam penilaian autentik Kurikulum Merdeka terhadap efektivitas pengajaran guru. Jurnal Guru Kita: Jurnal Ilmu Pendidikan, 9(3), 951--962. https://doi.org/10.24114/jgk.v9i3.54652
Rahma, I. D., Rahmadania, R., Ningrum, T. R. S., Edwar, Y., Oktara, Y. R., Hidayat, T., & Rifa'i. (2025). Transformasi peran guru di era kecerdasan buatan: Dari pengajar menjadi fasilitator digital. Journal of Artificial Intelligence and Digital Business (RIGGS), 4(2), 6198--6203. https://journal.ilmudata.co.id/index.php/RIGGS
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI