Seorang ayah hidup bersama putri kecilnya di sebuah perkampungan kumuh di pinggir kota. Ia, Pak Imam, berjuang seorang diri menghidupi buah hatinya setelah ditinggal sang istri pergi untuk selamanya. Hidup mereka serba kekurangan, namun di mata Pak Imam, Aisyah adalah cahaya kecil yang tak pernah padam. Gadis kecil yang penuh harapan meski dunia tak lagi memberinya banyak pilihan.
Setiap kali hujan turun, Aisyah selalu melakukan kebiasaan yang kini menjadi bagian dari hari-hari mereka. Dengan telaten, ia membuat perahu-perahu kecil dari kertas bekas, lalu melepaskannya ke atas genangan air yang terbentuk didepan rumah mereka. Mainan itu sederhana, tapi di mata Aisyah, perahu-perahu kertas itu seolah punya kehidupan sendiri, berlayar membawa harapan dan impian yang belum sempat diucapkan.
Pak Imam seringkali hanya bisa memandang dari balik pintu, dadanya sesak. Ada luka disana, bukan karena perahu itu, tapi karena kesadaran bahwa ia tak mampu memberikan lebih dari sekedar genangan dan kertas lusuh untuk anaknya bermain.
"Nak, ayo masuk.. hujan mulai deras," panggil Pak Imam lembut, menyadari air dari langit mulai turun semakin deras, membasahi setiap sudut kota Solo dan sekitarnya.
"Iya, Ayah," jawab Aisyah sambil melepaskan perahu kertas terakhir dari tangan mungil, membiarkannya mengalir perlahan diantara arus kecil dijalanan, seolah mengirimkan harapan kecil ke tempat yang jauh, tempat yang lebih baik.
Hari merambat gelap, langit merunduk kelam seolah menyimpan sesuatu yang tak sabar untuk ditumpahkan. Tak lama setelah adzan Maghrib berkumandang, badai besar datang menerjang, angin menderu, hujan menampar-nampar genteng dan pepohonan menari liar dalam kegilaan alam. Kilatan petir menyambar langit malam, dan tak berselang lama, jaringan listrik di beberapa perkampungan pun tumbang, meninggalkan kegelapan yang merayap cepat ke sudut rumah.
Malam itu terasa dingin dari biasanya, seakan hawa dari badai membawa serta kesunyian yang menusuk. Namun, dibalik gelap yang menggulung, cahaya-cahaya kecil mulai menyala; satu dua lilin berdiri tenang diatas meja kayu dan jendela tua, memancarkan cahaya temaram yang hangat. Bukan hanya karena nyala apinya, tapi karna suara-suara lembut yang mengisi ruang, tawa kecil, percakapan santai, dan keakraban yang perlahan mengusir dingin. Dalam gelap sunyi, keluarga-keluarga kembali menemukan cahaya.
Diruang tamu sederhana yang menyatu dengan kamar tanpa sekat, Pak Imam duduk diam, termangu dalam bayang pikirannya sendiri. Suasana malam yang hening hanya diisi oleh suara angin yang menyusup dari celah celah dinding kayu. Dari arah belakang, Aisyah datang mendekat dengan mukena kecil yang masih membungkus tubuh mungilnya. Wajahnya nampak polos namun penuh perhatian.
"Ayah, kenapa Ayah bersedih?" tanyanya lirih, matanya menatap penuh rasa ingin tahu.
Pak Imam tersentak ringan, lalu mengalihkan pandangan sambil buru-buru mengusap air mata yang jatuh perlahan membelah pipinya yang mulai menua. "Nggak apa-apa, Nak," jawabnya pelan, berusaha menyembunyikan gelombang lelah yang mendesak dadanya.
Aisyah mengerutkan kening, dengan polosnya ia berkata "Ayah pasti bohong, itu kelihatan air matanya."