Mohon tunggu...
Zulfikar
Zulfikar Mohon Tunggu... Orang Biasa

Menyukai hal-hal sederhana, dan tidak meyukai hal-hal rumit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hidup Seharga Semangkok Bakso

23 Februari 2025   11:30 Diperbarui: 23 Februari 2025   11:30 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Generative AI

Jakarta itu keras. Keras kayak tembok yang sering gue tidurin di bawah jembatan. Nggak ada yang empuk di sini, kecuali perut bos-bos besar yang kerjanya cuma duduk manis di kursi empuk. Sementara gue? Tidur beralas kardus dan berharap nggak diguyur hujan malam ini.

Nama gue Sarman. Orang-orang di sini manggil gue "Pak Kumis", mungkin karena kumis gue udah panjang kayak sapu ijuk. Tapi biarlah, daripada dipanggil "Pak Miskin".

Setiap pagi, gue bangun dengan badan pegal-pegal. Pagi ini pun sama. Langit masih gelap, tapi suara knalpot bus kota udah bikin telinga berdenging. Gue menggeliat, nyari-nyari sendal jepit yang semalam gue jadiin bantal. Ah, ketemu. Habis itu, gue langsung jalan ke warung dekat pasar, nyari sisa-sisa nasi bungkus yang mungkin masih bisa dimakan.

"Pak Kumis! Nih, sisa nasi kemarin," kata Mbok Yati, pemilik warung, sambil ngasih bungkusan kertas minyak yang udah lecek.
"Wah, makasih, Mbok. Panjang umur sehat selalu ya!" Gue senyum lebar, walau gigi tinggal separuh.

Hidup gue sederhana. Nasi sisa yang penting bisa kenyang. Tapi hari ini, di tengah kunyahan terakhir, gue ngelihat sesuatu yang nggak biasa. Seorang bocah kecil duduk di trotoar, matanya melotot ngelihatin abang bakso yang mangkal di seberang jalan. Air liurnya netes, perutnya keroncongan, kelihatan jelas dari bunyi kencang yang sampai ke kuping gue.

Gue liatin bocah itu. Bajunya lusuh, robek di bagian pundak. Persis kayak gue waktu kecil dulu. Gue jadi inget, dulu gue juga pernah ngiler ngelihatin abang bakso yang lewat depan rumah, tapi bokap gue nggak pernah bisa beli. Katanya, "Makan nasi aja udah untung, Man."

Gue elus-elus kantong. Isinya cuma beberapa receh hasil ngamen semalam. Cukup buat beli semangkok bakso, tapi itu artinya gue nggak makan siang nanti.

Gue pandangin bocah itu lagi. Matanya berkaca-kaca, mungkin saking laparnya. Gue ngelirik abang bakso yang lagi duduk santai di kursi plastik merah. Kayaknya dia juga lagi bosen nungguin pembeli.

Akhirnya, gue tarik napas panjang, terus nyebrang jalan.
"Bang, semangkok bakso!" suara gue agak serak.
"Siap, Pak Kumis!" Abang bakso senyum, keliatan giginya yang kuning karena rokok.

Gue bawa semangkok bakso itu ke trotoar dan jongkok di sebelah bocah kecil tadi. Matanya melotot ngeliatin bakso, kayak harimau ngeliatin daging segar.
"Makan, Dek. Abang traktir," kata gue sambil nyodorin mangkok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun