Kalau kita membandingkan dengan budaya di Indonesia, mungkin fenomena Rent-A-Friend belum tentu bisa diterima luas. Budaya kita yang cenderung komunal dan suka bergaul membuat gagasan menyewa teman terasa janggal. Tapi bukan berarti mustahil. Di kota-kota besar, di mana kesibukan dan individualisme mulai terasa, konsep seperti ini mungkin akan menarik bagi sebagian orang yang merasa kesepian di keramaian.
Plus Minus Rent-A-Friend
Kalau dipikir dari sisi positif, Rent-A-Friend memberi ruang bagi orang-orang untuk merasakan kehangatan sosial tanpa harus terlibat dalam hubungan yang rumit. Ini juga membuka peluang pekerjaan bagi mereka yang punya kemampuan mendengar, empati, dan membuat orang nyaman.
Tapi di sisi lain, ada kekhawatiran, apakah dengan adanya layanan ini, kita semakin sulit membangun relasi yang nyata? Apakah kita makin terbiasa membayar untuk sesuatu yang seharusnya tumbuh secara alami?
Fenomena Rent-A-Friend memang terlihat sebagai solusi instan atas kesepian. Namun, ini juga cermin dari dunia modern yang serba individualis. Kita mungkin merasa punya banyak teman di media sosial, tapi pada akhirnya, yang kita cari adalah koneksi nyata, seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
Dan di Jepang, bahkan jika harus membayar, setidaknya ada yang bersedia menemani kita sejenak di tengah sepi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI