Dalam konteks greenwashing, teori ini membantu menjelaskan fungsi strategis simbol "hijau":
Simbol hijau sebagai alat legitimasi untuk meredam kritik publik dan aktivis lingkungan.
Komunikasi korporat bukan untuk mengubah perilaku, tapi mengontrol persepsi sosial.
-
Perusahaan menciptakan "teater keberlanjutan", ritual penanaman pohon, kampanye CSR, atau iklan "planet hijau" yang sebenarnya tidak menyentuh akar masalah ekologis.
Teori ini cocok untuk artikel karena fenomena "transisi energi hijau" di Indonesia bukan hanya persoalan teknis, tapi juga narasi ideologis yang digunakan untuk menenangkan pasar, investor, dan opini publik. Melalui symbolic management, perusahaan tambang mampu menampilkan wajah hijau tanpa harus meninggalkan batu bara.
Dengan memakai kedua teori ini, penulis berupaya menelusuri kenapa praktik greenwashing bisa terus terjadi(karena struktur legitimasi sosial yang permisif dan literasi publik yang lemah), serta bagaimana narasi hijau dipakai sebagai alat untuk membungkus praktik ekstraktif dengan citra keberlanjutan.
Analisis Kasus
Fenomena greenwashing di industri tambang Indonesia adalah sebuah paradoks besar dalam perjalanan transisi energi nasional. Di tengah tekanan global untuk ngurangin emisi, sejumlah perusahaan besar mengubah strategi komunikasinya tanpa mengubah struktur bisnisnya. Kasus PT Adaro Energy Indonesia Tbk (kini berganti nama PT Alamtri Resources Indonesia Tbk) menjadi potret paling gamblang dari bagaimana citra hijau dibangun melalui simbol dan retorika, bukan melalui tindakan substantif.
Dalam laporan keberlanjutan tahun 2023, Adaro klaim telah menempuh jalur menuju net-zero emission pada 2060 dan menargetkan 50 persen pendapatan dari sektor non batubara pada 2030. Namun data operasional menunjukkan realitas sebaliknya, produksi batubara mereka justru meningkat hingga 65 juta ton, dengan kenaikan emisi karbon sebesar 8,5 persen dari tahun sebelumnya. Klaim "sustainable transformation" dan penghargaan lingkungan yang mereka dapatkan dari berbagai lembaga nasional hanya memperkuat paradoks ini; bahwa perusahaan dapat tampil hijau di atas kertas, namun tetap hitam di lapangan.
Perubahan nama dari Adaro Energy menjadi Alamtri Resources pada 2024 menambah dimensi simbolik dari fenomena ini. Pergeseran identitas korporasi tersebut dikemas sebagai "strategi keberlanjutan jangka panjang," padahal aktivitas utama perusahaan tetap berpusat pada ekstraksi batubara. Dalam konteks ini, teori Symbolic Management (Ashforth & Gibbs, 1990) menjelaskan bahwa perusahaan melakukan legitimasi simbolik, yaitu upaya mempertahankan penerimaan sosial melalui bahasa dan simbol yang seolah-olah mencerminkan kepatuhan moral. Dengan mengganti nama, menciptakan jargon hijau, dan menunjukan laporan keberlanjutan berdesain ekologis, Adaro sedang menciptakan teater keberlanjutan; sebuah ritual komunikasi yang memproduksi persepsi etis tanpa perubahan struktural di dalamnya.
Fenomena ini mencapai puncaknya lewat pernyataan publik Presiden Direktur Adaro Minerals, Christian Ariano Rachmat, dalam konferensi pers yang dikutip Tempo (2023). Ia menegaskan bahwa Adaro "tidak melakukan greenwashing" karena secara terbuka mengakui penggunaan batubara dalam proyek smelter aluminium senilai USD 2 miliar di Kalimantan Utara. Rachmat menjelaskan bahwa PLTU hanya akan digunakan "sementara" sampai Pembangkit Listrik Tenaga Air Mentarang rampung pada 2030. Pernyataan ini adalah contoh klasik dari apa yang disebut Delmas & Burbano (2011) sebagai forward-looking vagueness, perusahaan menggunakan narasi masa depan untuk menutupi dampak lingkungan yang terjadi. Dalam logika ini, transparansi bukan alat akuntabilitas, melainkan instrumen justifikasi.