Lebih jauh, pembenaran Adaro, bahwa "aluminium impor dari China juga masih berbasis batubara", memperlihatkan deflection strategy, atau pengalihan moral, di mana perusahaan membenarkan tindakannya dengan membandingkan diri pada praktik yang lebih buruk. Secara komunikatif, ini memperkuat fungsi simbolik dari citra hijau: bukan untuk memperbaiki realitas, tetapi untuk mengontrol persepsi publik agar tetap menerima keberlanjutan semu.
Permasalahan greenwashing di sektor tambang tidak berhenti di level korporasi, tetapi juga dilembagakan secara struktural melalui kebijakan publik. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam Taksonomi Keuangan Berkelanjutan (2024) memperluas definisi proyek hijau menjadi "sustainable finance," yang mencakup pula pembiayaan transisi energi berbasis batubara. Dengan pendekatan "inclusive taxonomy," industri intensif karbon tetap bisa dikategorikan hijau selama memiliki roadmap pengurangan emisi. Dalam praktiknya, hal ini membuka ruang luas bagi legitimasi proyek-proyek grey energy, pembangunan PLTU "efisien", tambang dengan program CSR reboisasi, atau smelter "transisi", semuanya bisa dibiayai atas nama keberlanjutan. Secara teoretis, ini menggambarkan symbolic alignment antara negara dan korporasi: regulasi menciptakan bahasa moral yang memperhalus wajah eksploitasi.
Di tingkat global, kebijakan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang mampu mempercepat coal phase out juga mengandung kontradiksi serupa. Dokumen Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP) JETP menargetkan penurunan emisi energi hingga 250 juta ton CO2 pada 2030, namun implementasinya masih longgar dan tidak mengikat secara hukum. Banyak investasi JETP diarahkan pada retrofitting PLTU dan coal to chemical projects, bukan pada energi terbarukan murni. Hal ini menjadikan transisi energi di Indonesia lebih mirip rhetorical transition ketimbang perubahan struktural yang nyata.
Sementara itu, di lapangan, laporan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (2023) menunjukkan sisi yang jauh berbeda dari narasi hijau korporasi dan negara. Dalam laporan tersebut, WALHI mencatat lebih dari 190 ribu hektar lahan rusak di Jambi akibat tambang batubara, diikuti dengan peningkatan banjir, longsor, dan konflik sosial di wilayah konsesi. WALHI menyoroti bahwa pemerintah bahkan menggunakan istilah "pemberdayaan masyarakat tambang rakyat" untuk melegalkan aktivitas tambang destruktif, sebuah bentuk institusional greenwashing di mana legitimasi sosial dibangun di atas kerusakan ekologis.
Dari keseluruhan data dan teori yang digunakan, terlihat jelas bahwa praktik greenwashing dalam industri tambang Indonesia bukan sekadar penyimpangan komunikasi, tetapi mekanisme kekuasaan simbolik. Ini berjalan melalui tiga lapisan: (1) perusahaan yang menampilkan citra hijau tanpa transformasi substantif, (2) regulasi yang memberi payung moral bagi eksploitasi bertahap, dan (3) negara yang mengemas degradasi sebagai "keadilan energi". Seperti pohon yang berasap, transisi energi Indonesia tampak hijau di permukaan, namun di akar dan daunnya, masih terselip jelaga batubara yang menghitamkan langit.
Kesimpulan & Rekomendasi
Fenomena greenwashing dalam sektor pertambangan Indonesia, seperti yang terjadi pada kasus PT Adaro Minerals Indonesia Tbk, mencerminkan adanya kesenjangan antara komitmen kebijakan transisi energi nasional dan implementasi korporasi di lapangan. Meskipun perusahaan mengklaim tengah menjalani masa "transisi" menuju green aluminium dengan energi PLTA, fakta bahwa operasional smelter tetap bergantung pada PLTU berbahan bakar batubara hingga 2030 menunjukkan adanya distorsi makna keberlanjutan. Kementerian ESDM dalam Laporan Kinerja 2024 menegaskan pentingnya pembangunan energi berkelanjutan, konservasi energi, dan pengembangan industri hijau untuk mendukung agenda pembangunan rendah karbon
Namun, laporan tersebut juga mengakui tantangan besar dalam transisi energi, terutama terkait hilirisasi berbasis batubara, pembiayaan energi baru terbarukan, dan penegakan tata kelola lingkungan. Ketidaksinkronan antara visi kebijakan dan praktik perusahaan menjadi indikasi lemahnya regulasi dan sistem pengawasan lintas lembaga.
Dari hasil analisis teori Greenwashing Theory dan Legitimacy Theory, dapat disimpulkan bahwa narasi "transisi bertahap" yang dibangun oleh korporasi seperti Adaro berfungsi sebagai strategi legitimasi untuk mempertahankan citra positif di tengah tekanan investor dan publik, tanpa melakukan transformasi substantif terhadap praktik produksinya.
Rekomendasi: