Mohon tunggu...
Zikri Ichwanul muqsid
Zikri Ichwanul muqsid Mohon Tunggu... Mahasiswa

Hobi berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tasawuf sebelum dan sesudah Imam Al-Ghozali: Dari zaman klasik hingga zaman modern

14 September 2025   12:10 Diperbarui: 14 September 2025   12:13 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Apabila kita dengar kata “tasawuf”, biasanya langsung terpikirkan ke hal-hal yang berbau dzikir, wirid, atau mungkin orang-orang yang hidup sederhana jauh dari dunia ramai. Memang, itulah gambaran awal tasawuf, terutama sebelum muncul tokoh besar bernama Imam Al-Ghazali. Tapi ternyata, perjalanan tasawuf itu sangan panjang. Ada masa ketika tasawuf lebih mirip pelarian dari dunia, dan ada masa ketika tasawuf justru jadi jalan untuk menata hidup lebih seimbang.

Sebelum Imam Al-Ghazali, para sufi terkenal dengan kehidupan yang sangat sederhana. Mereka zuhud, artinya menjauhkan diri dari urusan dunia. Ada yang memilih hidup miskin, memakai pakaian lusuh, tinggal di tempat kecil yang sederhana, dan menghabiskan waktu hanya untuk ibadah. Contohnya tokoh-tokoh seperti Hasan Al-Bashri dan Rabi’ah al-Adawiyah, yang mana mereka lebih menekankan hubungan pribadi dengan Allah melalui rasa takut (khauf) dan cinta (mahabbah).

Kelebihannya jelas, mereka berhasil menjaga hati tetap bersih, bebas dari keserakahan, iri, dan cinta dunia. Tapi kekurangannya juga ada. Tasawuf model ini membuat orang cenderung menjauh dari kehidupan sosial. Bahkan ada anggapan, semakin jauh dari dunia, semakin dekat dengan Tuhan.

Coba bayangkan kalau cara pandang seperti itu kita terapkan di zaman sekarang. Misalnya ada orang yang bilang “Saya mau jadi sufi, jadi saya nggak mau kerja, nggak mau sekolah, cukup ibadah dan dzikir saja.” Mungkin kelihatan mulia, tapi bagaimana dengan keluarga, anak-anak, atau kewajiban sosialnya? Di sinilah muncul pertanyaan: apakah benar jalan menuju Allah harus dengan meninggalkan dunia sepenuhnya?

Nah, Imam Al-Ghazali datang membawa angin segar. Beliau melihat kalau tasawuf harus dihubungkan dengan syariat. Tasawuf jangan sampai hanya jadi pengalaman pribadi yang terlepas dari ajaran agama. Dalam bukunya yang terkenal Ihya’ Ulum al-Din, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa ibadah lahiriah (seperti shalat, zakat, dan puasa) harus sejalan dengan ibadah batiniah (membersihkan hati, melawan hawa nafsu, dan mendekatkan diri kepada Allah).

Jadi, menurut Al-Ghazali, tasawuf bukan berarti sepenuhnya meninggalkan dunia, tapi bagaimana kita bisa hidup di dunia tanpa diperbudak oleh dunia. Kehidupan dunia tetap kita Jalani seperti bekerja, menikah, sembari berusaha berusaha agar hati tidak terlalu bergantung dengan dunia. Dengan cara ini, tasawuf jadi lebih membumi, realistis, dan bisa dijalani oleh semua orang, bukan hanya para sufi yang tinggal di gunung atau padang pasir.

Nah, yang menarik adalah bagaimana ajaran Imam Al-Ghazali ini ternyata relevan banget untuk zaman modern seperti sekarang. Kita hidup di era serba cepat, penuh persaingan, banyak distraksi, dan banjir informasi. Di satu sisi kita butuh kerja keras untuk hidup, tapi di sisi lain kalau nggak hati-hati, kita bisa hanyut oleh ambisi, materi, dan popularitas.

Di sinilah tasawuf ala Imam Al-Ghazali memberi penyeimbang. Beberapa contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari:

  • Di dunia kerjaa
    Tasawuf mengajarkan kita untuk hidup jujur, adil, dan tidak rakus. Di tengah banyaknya orang menghalalkan segala  macam cara untuk bisa mendapatkan jabatan, kita diajarkan bahwa rezeki itu datang hanya dari pemberian dari Allah, jadi tidak perlu sampai menjatuhkan orang lain. Bekerja dengan mencari hanya yang halal, profesional, dan penuh tanggung jawab adalah bentuk ibadah yang juga tasawuf.
  1. Dalam keluarga.
    Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya melawan hawa nafsu. Itu bisa kita praktikkan dalam rumah tangga, misalnya dengan sabar menghadapi perbedaan karakter pasangan, atau dengan penuh kasih sayang membimbing anak. Semua itu bentuk mujahadah (perjuangan melawan diri sendiri).
  2. Di media sosial.
    Ini menarik, karena medsos sering jadi tempat ujian hati. Sering kali kita tergoda untuk pamer, ikut-ikutan debat kusir, atau menyebarkan informasi yang belum jelas. Dengan tasawuf, kita belajar menahan diri. Kalau tidak ada manfaat, lebih baik diam. Kalau bisa memberi manfaat, maka sebarkan dengan niat yang ikhlas.
  3. Menghadapi tekanan hidup.
    Hidup modern penuh stres: target kerja, biaya hidup, tuntutan sosial. Tasawuf mengajarkan ketenangan batin. Dzikir dan doa bisa jadi terapi jiwa, mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati bukan dari harta atau status, tapi dari hati yang dekat dengan Allah.

Kesimpulan

Dari sini kita bisa lihat, tasawuf sebelum Imam Al-Ghazali memang lebih fokus pada dunia batin, kadang sampai melupakan dunia nyata. Setelah Imam Al-Ghazali, tasawuf jadi lebih seimbang antara syariat, akal, dan hati. Dan ternyata, model tasawuf inilah yang justru paling pas untuk kita jalani sekarang.

Hidup modern membuat kita sibuk bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Tapi dengan tasawuf, kita diingatkan untuk tetap menjaga hati, menata niat, dan tidak diperbudak oleh dunia. Jadi, intinya bukan “lari dari dunia”, tapi “hidup di dunia dengan hati yang tetap bersama Allah”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun