Mohon tunggu...
Zia ul Haramein
Zia ul Haramein Mohon Tunggu... Guru - Jangan mati sebelum menulis

Kutulis apa yang kubaca dan pahami, tak peduli engkau setuju atau murka

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pesan Nabi dan Hiruk Pikuk Dunia Maya

26 Februari 2021   23:01 Diperbarui: 26 Februari 2021   23:28 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kita sebagai umat manusia tentunya tidak dapat hidup tanpa keberadaan orang lain. Sudah menjadi perintah Allah pula bahwa umat manusia hendaknya saling mengenal satu sama lain. Lebih jauh dari itu, tugas utama manusia di hadapan Allah ialah menjadi yang paling bertakwa, bukan menilai bahkan menghalangi ketakwaan orang lain. Kita diminta untuk mempertebal tali silaturahim antar sesama manusia, bukan justru memutusnya dengan penilaian dikotomis yang justru merugikan. Seandainya Allah menghendaki, Ia mampu membuat semua manusia berada pada ketaatan yang seragam. Namun nyatanya kita diciptakan berbeda-beda.

Beranjak dari pemahaman primordial ini, sejatinya manusia menilai orang lain dari apa yang terlihat. Kita tidak dituntut untuk memahami apa yang terbesit dalam hati dan pikiran orang lain. Hal ini telah diamanahkan oleh Rasulullah ï·º sejak 14 abad yang lalu. Dalam hadis sahih riwayat Imam al-Bukhari dan Muslim, sahabat kesayangan Nabi ï·º dan juga panglima yang handal, Usamah bin Zaid, pernah membunuh seorang musuhnya yang baru saja masuk Islam. Ketika berita ini sampai ke telinga Baginda Nabi ï·º, sontak beliau marah. Usamah pun 'disidang' di hadapan Nabi ï·º.

"Wahai Usamah, apakah kau tetap membunuhnya setelah ia mengucap La Ilaha Illallah?"

"Tapi ia mengucapkan syahadat sebab takut pada pedangku, wahai Rasulullah".

"Mengapa tidak kau belah saja dadanya agar kau tahu apakah dia mengucapkannya (karena alasan itu) atau tidak?"

"Mintakanlah ampun pada Allah atas kesalahanku, wahai Nabi".

"Lantas bagaimana engkau akan menghadapi kalilmat Laa Ilaha Illallah jika datang hari kiamat?" Lalu Usamah menceritakan bahwa Nabi tidak mengatakan apapun kecuali mengulangi pertanyaan terakhir ini.

Kegeraman Nabi ﷺ bukanlah karena salah seorang muallaf telah gugur di tangan sesama muslim. Tapi Beliau marah sebab sahabat kesayangannya menilai dan menghukumi apa yang tidak seharusnya dinilai manusia. Kita tidak sepatutnya menghukumi seseorang hanya dari asumsi kita pada orang tersebut. Usamah dalam kisah ini menilai bahwa lelaki tersebut secara spontan bersyahadat karena sedang dalam kondisi terdesak dan takut dibunuh.

Kisah Usamah bukanlah satu-satunya. Hal semacam ini pun pernah terbesit di pikiran Miqdad bin al-Aswad. Ia pernah bertanya pendapat Nabi ﷺ mengenai hal serupa.

"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika aku bertemu seorang kafir lalu kami berselisih dan saling berperang. Lalu ia berhasil menebas salah satu tanganku, lantas ia bersembunyi di balik pohon. Dalam keadaan terdesak ia mengucap: 'Saya telah masuk Islam'. Apakah aku boleh membunuhnya, wahai Nabi?"

Nabi ﷺ menjawab, "Janganlah kamu membunuhnya".

"Tapi ia menyatakan masuk Islam setelah memotong tanganku, wahai Rasulullah!? Bolehkah dia kubunuh?"

"Janganlah kamu melakukannya. Jika kamu membunuhnya, maka sesungguhnya dia berada pada posisimu sebelum terbunuh, dan (setelah membunuhnya) kamu berada pada posisinya sebelum ia mengucapkan kalimat (syahadat) tadi".

Ada dua kemungkinan dari penafsiran kalimat terakhir Nabi ﷺ ini. Pertama, dalam aspek kezaliman. Jika Miqdad membunuh orang tadi, maka si muallaf menduduki posisi Miqdad sebelum membunuh, yaitu orang yang dizalimi (sebab tangannya ditebas), dan Miqdad sederajat dengan orang itu yaitu si zalim karena membunuh orang yang telah beriman. Kedua, dari sisi keimanan. Orang itu terbunuh dalam keadaan mukmin, sebagaimana keimanan Miqdad sebelum membunuh. Dan Miqdad berada pada posisi orang itu sebelum mengucapkan syahadat; yaitu kekufuran. Seakan-akan Rasulullah ﷺ ingin menyatakan, 'jika engkau membunuh seorang mukmin tanpa alasan legitimatif, maka engkau tak ubahnya seorang kafir'.

Sebagai manusia biasa yang hidup dalam pengharapan ridhoNya, kita dituntut untuk menilai dari apa yang terlihat, bukan dari apa yang tidak terlihat. Jika zahirnya para muallaf (karena terdesak) tadi ialah seorang mukmin, maka perlakukanlah mereka sebagai umat Nabi ﷺ yang haram darahnya. Meskipun kita tidak tahu apa yang ada dalam hatinya. Dalam menjelaskan hadis-hadis di atas, Imam al-Nawawi berpesan, "Sesungguhnya engkau diperintahkan untuk beramal sesuai kondisi zahir dan perkataan lisan. Sedangkan perkara hati, engkau tidak akan memahaminya. Maka dari itu Nabi ﷺ mengingkari dan menyindir Usamah mengapa tidak sekalian saja dibelah dadanya agar tahu apa yang ada dalam hatinya. Maksud Nabi ialah, 'jika engkau tidak mampu mengetahui isi hati orang itu, maka cukuplah dengan menerima apa yang diucapkan oleh lisannya'.

Perkara menilai orang lain pun pernah terjadi pada sahabat Abu Dzar al-Ghifari. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad-nya. Abu Dzar menceritakan,

"Aku pernah suatu hari bersama dengan Rasulullah ﷺ di dalam masjid. Lalu beliau berkata, 'Wahai Abu Dzar, angkatlah kepalamu. Lihatlah, mana di antara mereka yang paling tinggi derajat sosialnya?' Lalu aku menjawab, 'Yaitu lelaki yang mengenakan pakaian (bagus), yang itu orangnya'. Nabi ﷺ melanjutkan, 'Lalu manakah dari mereka yang derajat sosialnya paling rendah?' Aku mencarinya lalu kubilang, 'Yaitu lelaki lemah (miskin) namun ia memiliki akhlak'. Rasulullah ﷺ mengutarakan maksud pertanyaannya, 'Orang (yang rendah derajat sosialnya) ini kelak di hari kiamat lebih Allah sukai daripada orang pertama (yang derajat sosialnya tinggi) tadi meski memenuhi bumi". Hadis ini mengafirmasi bahwa kita tidak mampu menilai kualitas iman seseorang dari penampilan luarnya saja. Lelaki yang rendah derajat sosialnya namun kuat akhlaknya lebih Allah sukai daripada si kaya yang moralnya minimalis.

Namun realitas yang terjadi pada diri kita justru bertentangan dengan pesan-pesan Nabi ﷺ di atas. Lebih dari itu, dewasa ini kita berada pada resonansi negatif media sosial. Dunia virtual seringkali menyeret kita masuk ke dalam lubang 'ekstase' yang melenakan. Palung maya tanpa batas yang (sayangnya) kita selami dengan perangkat akhlak yang minimalis. Kita berlomba-lomba menilai dan menghukumi, bahkan menghujat objek yang tidak kita pahami substansinya. Apa yang kita komentari seringkali melewati batas zahir yang seharusnya. Melewati batas ilmu kita. Seakan-akan kita paling memahami situasi yang ada, hingga pada aspek-aspek yang tidak terlihat mata.

Tidak ada yang mampu menghentikan "kekuasaan" dunia maya selain kebijaksanaan para pengguna media sosial itu sendiri. Biarlah perkara abstrak nan metafisik menjadi urusan Allah Yang Maha Menilai. Ketahuilah, menahan diri dari komentar negatif, ghibah, hujatan, hoaks, dan sangkaan tanpa dasar ialah sebaik-baik cara bermedia sosial saat ini, di samping terus menebar kebaikan dan mengedukasi warga dunia maya dengan konten-konten positif.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun