Mohon tunggu...
Anisa Qotrunnada
Anisa Qotrunnada Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Airlangga 2021

Kecintaannya terhadap literasi mendorongnya untuk menuangkan isi pikirannya dalam berbagai artikel. Dengan berbagai perspektif yang ia miliki, penulis berusaha memberikan pemahaman yang lebih luas tentang kehidupan sosial, serta bagaimana hal tersebut mempengaruhi keseharian kita.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pola Perfeksionisme yang Tidak Disadari

27 Juli 2025   18:33 Diperbarui: 27 Juli 2025   18:33 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam banyak keluarga, anak-anak diajarkan untuk menjadi kuat, mandiri, dan melakukan segala sesuatu dengan benar. Harapan ini terdengar wajar, bahkan baik. Namun di balik tuntutan untuk "harus bisa" dan "tidak boleh salah", sering kali tumbuh benih perfeksionisme yang diam-diam membentuk cara seorang anak memandang dunia dan dirinya sendiri. Anak belajar untuk hidup dalam jadwal yang rapi, keputusan yang terstruktur, dan perencanaan yang nyaris tanpa celah. Ia terbiasa mengatur segalanya agar tak ada masalah yang muncul---atau setidaknya, agar bisa dihindari sejak awal.

Namun, justru di sanalah letak tantangannya. Anak yang tumbuh dalam keteraturan mutlak ini sering kali tak siap menghadapi hal-hal yang di luar rencana. Situasi yang kacau, keputusan impulsif, atau ketidakteraturan orang lain bisa terasa seperti ancaman langsung bagi rasa aman dirinya. Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi spontanitas, apalagi ketidakpastian. Dan saat berhadapan dengan orang lain yang hidupnya tak se-teratur dirinya, ia akan terdorong untuk "membantu"---bukan semata-mata karena peduli, tapi karena ia merasa terancam jika membiarkan hal itu berlangsung.

Inilah pola tak terlihat yang sering dianggap sebagai kebaikan, padahal berakar dari kecemasan. Ketika seseorang terbiasa menolong orang lain demi menjaga stabilitas dirinya sendiri, ia tanpa sadar mencuri proses bertumbuh dari orang tersebut. Ia memotong jalan orang lain menuju pemahaman diri. Ia tidak memberi ruang bagi yang lain untuk merasa gagal, salah, bingung, atau bahkan kacau. Karena baginya, semua itu berbahaya. Padahal sesungguhnya, di situlah ruang-ruang pembelajaran manusia terbentuk.

Tanpa ruang itu, seseorang bisa tumbuh menjadi pribadi yang kaku, perfeksionis, dan rapuh terhadap tekanan. Ia mungkin terbiasa menyelesaikan masalah sebelum muncul, tapi menjadi terancam saat dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai rencana. Lebih jauh lagi, jika ia terbiasa "menyelamatkan" orang lain demi menghindari ancaman terhadap dirinya sendiri, itu bisa berujung pada sikap egois yang tidak ia sadari. Ia tidak memberi ruang bagi orang lain untuk belajar dari kesalahan dan membentuk dirinya sendiri. Maka, memberikan ruang untuk merasa kacau bukan berarti membiarkan seseorang tersesat, tapi mempercayainya untuk menemukan jalan pulang dengan cara dan waktunya sendiri. Itulah cinta dan dukungan yang sesungguhnya.

Hal ini menjadi semakin rumit ketika si anak---yang kini mungkin sudah dewasa---merasa bahwa caranya adalah hal yang benar. Ia tidak merasa sedang mengontrol, melainkan sedang membantu. Padahal di balik "kepeduliannya", tersembunyi rasa tidak percaya pada kemampuan orang lain. Ia tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk belajar mengambil tanggung jawab, membuat keputusan, atau bangkit dari kesalahan. Semua itu terjadi karena satu hal yang sederhana tapi dalam: ia merasa tidak aman jika tidak ikut campur.

Inilah sisi egoisme yang tak kentara---membantu bukan karena benar-benar ingin menolong, tetapi karena tidak tahan melihat dunia berjalan di luar kendalinya. Jika tidak disadari dan direfleksikan, pola ini akan terus membentuk relasi yang timpang: di mana satu pihak merasa harus selalu "membetulkan" dan pihak lain kehilangan ruang menjadi dirinya sendiri.

Maka, memahami motif di balik dorongan untuk "membantu" adalah bentuk tanggung jawab emosional yang penting. Tidak semua hal harus dibenahi. Tidak semua kekacauan harus diselamatkan. Kadang, mencintai berarti percaya. Kadang, peduli berarti mundur satu langkah agar orang lain bisa maju dengan cara dan kecepatannya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun