Sudah kusiapkan sepasang baju untuk keduanya, tak lupa oleh-oleh seadanya untuk sanak kerabat, hasil tabunganku setahun ini.
Liku jalanan yang berhiaskan hijaunya permadani dari pesawahan yang terhampar menambah bergeloranya hati ini menyambut pertemuan yang pelik.
***
"Arsyaaaa ....!" pekik Ibu, pelukan dan air mata menyambut putra yang telah lama pergi.
"Abah ... abahmu, dia ... koma."
 Kami terkesiap, Arsya berlari ke ruang tengah yang telah dipenuhi tetangga.
"Bu, maafin, Rida ...," isakku tak tertahan, Ibu memelukku dan juga Rangga, pelukannya begitu hangat.
"Ibu yang salah. Maafin, Ibu." Mata yang cekung itu kini tergenang luruhan air mata pilu.
Kami berkumpul mengelilingi Abah, Arsya berusaha tegar, aku berusaha menguatkannya. Dika tampak sembap, Rangga hanya menatap tak mengerti apa yang terjadi.
"Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun."
 Suara Ustaz Afif menggema menutup kedua kelopak keriput Abah. Arsya terkulai lemah mencium tangan itu terakhir kalinya, aku merasakan sesal tiada tara, karena aku Arsya harus berpisah dengan keluarganya, dan bertemu hanya di saat kematian menjemput Abah.
Tamat